"Ya ya … maap. Lo sama Babang Rafka, 'kan emang pasangan pengantin nggak lazim, Na."
Aku melotot. Tak setuju dengan pendapat Sheila yang nyeleneh ini. Aku dan Mas Rafka dikatai sebagai pasangan pengantin tak lazim? Penilaian dari sudut pandang yang mana itu? Aku perempuan, cantik dan menarik. Mas Rafka laki-laki, tampan dan rupawan. Kemudian menikah. Apa yang salah?
"Nggak lazim bagaimana?" tanyaku, sedikit dongkol.
"Ya … nggak lazim aja, udah dua bulan menikah dikasih lihat tongkat sakti punya suami juga kagak. Jangankan dikasih lihat, ya, meraba-raba sedikit juga nggak boleh, kan, lo?" cibir Sheila lantas memecah tawa. Seperti menganggap nasib mengenaskan yang terjadi padaku adalah sebuah lelucon yang amat menghibur.
"Meng-sad pisan nasibmu, Liona. Punya suami ganteng nggak boleh pegang tongkatnya HAHAHA." Sheila tertawa lebih keras. Dan itu sangat meresahkan.
Aku melotot lebih tajam saat merasa tawa sahabatku kali ini menjadi pusat perhatian mahasiswa-mahasiswa lain yang di kantin ini.
Dasar! Sahabat nggak ada akhlak! Menyebalkan!
Bikin malu!
"Udah udah. Nggak usah bahas soal tongkat tongkat lagi. Ntar yang ada lo makin menjadi ketawanya. Bikin malu," desisku geram.
Sheila kemudian seperti memaksa diri untuk menghentikan tawa. Meskipun awalnya terlihat kesusahan, akhirnya tawa gadis yang duduk berhadapan denganku, reda juga.
"Iya, deh, iya. Maaf. Ya udah yok, ah. Makan. Ntar keburu masuk itu Pak Erwin, si dosen killer yang sok kecakepan itu."
"Jangan gitu … walaupun kata lo dia itu bujang lapuk, nyatanya di kelas kita banyak penggemarnya, loh."
Sheila bergidik ngeri.
"Nggak usah kek gitu, kalau kalian ditakdirkan berjodoh, lo bisa apa?"
"Yang bener aja, age gap kita sama Pak dosen itu terlalu jauh, Na."
"Halah, palingan cuma berapa, kan? Bukannya umur Pak Erwin baru 31 tahun ini?"
"Eh, udah-udah, ngapain juga bahas Pakdos gaje itu. Nggak penting banget."
Aku dan Sheila baru hendak melanjutkan makan mie goreng pedas yang terhidang di hadapan saat menyadari seorang gadis yang usianya sebaya denganku, datang bersama dua temannya yang sok cantik dan sok asyik.
Mau apa dia? Kenapa seperti ingin mencari musuh? Atau jangan-jangan … obatnya di rumah habis sampai kelihatan kusut begitu mukanya?
Eh! Ya ampun! Ngapain juga aku mikirin ekspresi gadis nggak penting itu, kayak kurang kerjaan aja.
Aku tak tertarik menatapnya ketika mendengarnya mendengkus kecil saat mungkin hendak mengatakan sesuatu. Seperti ingin menantang perang padaku yang sebenarnya sedang tidak berminat sama sekali.
Bagaimana tidak! Bukankah persoalan rumah tanggaku dan Mas Rafka jauh lebih rumit daripada mengurusi gadis tidak penting ini?
"Emang, ya, di mana-mana, tuh, kalau anak seorang pelakor emang bakat, ya, jadi pelakor."
What?!
Mendengar ucapannya, mau tak mau aku dan Sheila kompak menatap gadis bermulut pedas yang berdiri angkuh di hadapanku.
"Siapa yang lo maksud sebagai pelakor, ha?" tanya Sheila cepat dan tegas. Dalam beberapa waktu, seorang Sheila memang bisa diandalkan dan patut diacungi jempol rasa setia kawannya.
Gadis bernama Clarissa, yang sejak awal masih berstatus mahasiswa baru sudah terang-terangan membenciku, melirik padaku dengan ekspresi tak suka yang amat kentara.
"Lo nyebut Liona pelakor? Atas dasar apa, heh?" Sheila masih menjadi garda terdepan untuk membelaku.
Clarissa menatapku sinis.
"Bukannya … laki-laki yang nikahin dia itu sebenarnya udah jadi tunangan orang, kan, ya, sebelum nikahin dia?" sindir Clarissa lagi.
Aku diam. Malas meladeni gadis yang suka cari masalah denganku ini.
"And well, gue juga baru tahu kalau ternyata … mamanya Liona ini cerai dari suami pertamanya karena selingkuh dengan suami orang. Miris! Semurah itu dia. Ternyata … Emak dan Anak sama saja kelakuannya. Minus!"
Deg!
Dadaku mendadak seperti dihantam oleh batu besar saat Clarissa tiba-tiba mengingatkan aku akan kisah masa lalu mamaku yang sebenarnya tak ingin aku ingat-ingat lagi.
"Dan ternyata … anaknya yang kegatelan ini, ternyata punya bakat untuk meneruskan sikap 'terpuji' ibunya." Clarissa melerai tawa. Seperti puas karena berhasil membuat mentalku down saat ada yang membahas tentang perilaku ibuku yang tak pantas diteladani.
Ya, bahkan, aku sendiri saja sangat membencinya. Dan jika ada yang menyamakan aku dengan ibuku, aku memang tidak akan menerima begitu saja. Aku dan wanita lacur itu jelas berbeda. Sangat berbeda!
Clarissa lantas berdeham pelan.
"Rupanya … benar kata pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," cibirnya lagi, dan membuatku semakin muak.
Pada akhirnya, aku yang kehilangan kesabaran, bangkit dan menampar wajah gadis bermulut pedas yang sekali-kali memang harus diberi pelajaran.
Tak terima mendapatkan tamparan, Clarissa yang selalu merasa paling wow di kampus, balas menamparku.
Oke, aku layani saja. Kebetulan, aku memang sedang mencari pelampiasan untuk mencurahkan rasa kesalku pada semuanya. Tentang suami, Ibu, dan takdir yang tak pernah berpihak padaku.
Selesai dengan adegan saling tampar, adegan adu jambak pun terjadi. Aku dan Clarissa yang sama-sama dalam emosi tinggi, tak lagi peduli jika perkelahian antara aku dengannya menjadi bahan tontonan.
Peduli apa!
Gadis tak tahu diri yang selalu nyinyir dan julid seperti dirinya memang harus diberi pelajaran! Biar tidak TUMAN!
Tapi sial, gara-gara terlibat perkelahian di kawasan kampus, aku jadi kena sanksi kedisiplinan.
Ya, gara-gara tersulut emosi dengan mulut pedas Clarissa, aku diskorsing tak diperbolehkan mengikuti kegiatan kuliah selama dua minggu.
***
"Kesel boleh, tapi barbar jangan," ucap Sheila saat menemaniku pergi ke klinik, sekedar untuk mengompres luka lebam di mukaku.
"Ya habisnya gimana. Gue, kan, kesel, La. Dia ngungkit-ngungkit soal nyokap gue. Gue sama nyokap gue, 'kan beda. Gue cuma merebut calon suami orang. Bukan suami orang," ucapku ngotot. Masih tak terima jika aku disebut sebagai pelakor karena saat menikah denganku, Mas Rafka masih single dan belum resmi berstatus sebagai suami orang.
"Iya, gue paham. Tapi lain kali, lo harus lebih bisa mengontrol diri. Biar bagaimanapun, lo udah jadi seorang istri sekarang. Jadi, lo wajib menjaga nama baik suami lo."
Jujur, telingaku cukup panas mendengar Sheila yang mendadak ustadzah seperti sekarang ini.
"Percaya, deh, sama gue. Kalau lo masih terus-terusan barbar kek gini, pasti Babang Rafka lo itu makin ilfeel sama lo."
Aku tersentak.
Ah, benar juga, ya. Bukankah Mas Rafka memang sering menyebutku sebagai bocah ingusan barbar? Kenapa aku harus membenarkan tudingan itu?
"Please, belajar kalem, ya, Na. Ingat, lo udah jadi istri sekarang, jadi, jangan buat suami lo menyesal karena memperistri lo. Buat dia bersyukur karena memperistri seorang Liona Kaisara, oke?"
"Iya iya …."
"Nah! Gitu, dong!"
***
"Napa mukanya bisa sampai lebam begitu? Berantem sama siapa lagi, tuh?"
Mas Rafka yang hari ini pulang kerja agak telat, membuatku begitu salah tingkah dengan pertanyaannya.
"Heran! Masih barbar begini, kok pengen buru-buru dinikahi," sindirnya tajam.
Dia yang baru menyimpan tas kerja miliknya, menatapku dengan pandangan sengit sebelum mengambil handuk dan berlalu menuju kamar mandi. Namun, belum sempat lelaki bengis itu memutar knop pintu kamar mandi, terlihat dia membalik badan.
Mau apa dia?
Aku dibuat semakin penasaran saat menyadari dirinya mengambil lagi tas kerja miliknya yang sudah sempat disimpannya.
"Mbak Yuni nemuin ini pas ambil plastik sampah di kamar aku yang di rumah Mama. Bisa kau jelaskan padaku apa ini namanya, Liona?"
Mataku membelalak sempurna saat menyadari Mas Rafka menunjukkan botol perangsang sialan yang masih saja membuatku terkena masalah bahkan saat benda itu sudah masuk tong sampah.
Sial! Sial! Sial!
"Anu, Mas …. Anu …."
"Anu apa, hm?" tanya suamiku sambil bersedekap santai menunggu jawabanku.
"Anu, Mas, itu, anu …."
Ya ampun! Bisa-bisanya aku menjadi duta Anu gara-gara obat perangsang sialan itu!