BAB 3. BERTEMU KELUARGA RINDANG

1131 Kata
Semakin dekat dengan rumah Rindang, gadis itu semakin gelisah dalam duduknya. Diana yang membonceng gadis itu menyadari apa yang kini dirasakan oleh Rindang. "Tenanglah. Ini bukan salahmu," ucap Diana menenangkan, "nanti kakak bantu bicara." Sampailah keduanya di rumah Rindang. Halaman rumah tampak asri karena sekitar rumah ditanam beberapa sayur mayur dan juga aneka tanaman Palawija. Rumah Rindang memang tidak sebagus rumah di sekitarnya. Tapi bagi Diana yang hidupnya masih mengontrak punya rumah sendiri meski sederhana sudah luar biasa. "Rindang! Ke mana saja kamu? Pulang sekolah bukannya pulang malah kelayapan!" bentak seorang perempuan dengan daster lusuh dari dalam rumah. Wanita itu sepertinya belum melihat keberadaan Diana. Rindang hanya bisa menunduk sembari memeluk tubuhnya sendiri. "Maaf bu," sahut Rindang lirih. Terlihat sekali kalau dia tidak dalam kondisi baik-baik saja. "Maaf bu, bisa kita bicara di dalam," ucap Diana menyela sebelum wanita itu mengeluarkan bentakan lagi. Diana melihat jam tangannya. Dan dia tahu, dia sudah teramat terlambat untuk sampai di rumah. "Anak ini siapa?" tanyanya menyelidik. "Saya akan jelaskan di dalam," sahut Diana lagi. Dia risih karena beberapa tetangga sudah mulai keluar karena mendengar suara wanita itu yang tidak bisa pelan saat berbicara. Memalukan sekali. Wanita itu pun dengan wajah masih diliputi tanya akhirnya mempersilahkan Diana masuk ke dalam rumahnya. Rumahnya masih berdindingkan anyaman bambu. Di dalam ruang tamu terdapat meja kursi yang sederhana terbuat dari kayu. Diana dipersilakan untuk duduk. "Anak ini mau minum apa?" tanya Ibu itu ternyata masih bersikap sopan pada Diana dengan menawarinya minuman. "Air putih saja bu," sahut Diana tak mau merepotkan pemilik rumah. "Rindang, kamu ambil kan minuman buat tamunya," ucap ibu itu menatap Rindang dengan tatapan tajamnya. Tanpa berkata-kata Rindang langsung menuju ke dalam. Setelah kepergian Rindang, Diana mulai menceritakan kronologi bagaimana dia bertemu dengan Rindang dan apa yang dialami oleh Rindang. "Masya Allah, anakkuuu," tangis ibu Rindang menggema di seluruh rumah. Mungkin juga didengar oleh tetangga sebelah rumah. Diana berusaha acuh. "Ibu yang sabar ya, nanti kalau bertanya kepada Rindang tolong yang lembut ya bu. Saya takut Rindang gelap mata dan memutuskan bunuh diri kembali," ucap Diana lembut. "Saya harus bagaimana nak? Kami malu huuu," seru sang ibu yang katanya malu tapi kalau bicara tidak bisa pelan. Bukannya dia malah memalukan diri sendiri? "Bu ne, kamu kenapa? Nangis kedengeran dari jalanan. Bikin malu saja," gerutu seorang lelaki sekitar usia 40 an. Diana tebak kalau lelaki dengan kaos warna putih dengan celana pendek berwrna hitam itu suami wanita yang sampai saat ini masih saj menangis tergugu. "Lo, ada tamu to. Mbak apain istri saya?" tanya lelaki itu dengan tatapan menyelidik. Diana jengah dengan kedua orang tua Rindang. Apa karena hal itu yang membuat Rindang akhirnya memilih untuk menghilangkan nyawanya saja dari pada berkata jujur kepada kedua orang tuanya. "Maaf pak. Saya hanya menceritakan kepada ibu apa yang sudah dialami oleh putri kalian berdua," ucap Diana kembali melirik ke arah jam tangannya. Dia teramat terlambat. Niat hati ingin menolong orang malah dirinya sendiri yang masuk dalam masalah. Bisa saja suaminya kini kesulitan menghubungi-nya. Apalagi kalau keluarga suaminya mengetahui dirinya masih belum ada di kosan. Bisa terus-terusan dirinya di sindir berhari-hari. "Maaf pak, bukan tidak mau menjawab atau lari dari tanggung jawab. Bapak bisa tanyakan permasalahannya kepada ibu dan Rindang. Saya pamit dulu. Saya belum sempat mengabari suami saya. Dia pasti sedang menunggu saya. Tugas saya untuk mengantar Rindang sampai dengan selamat sudah saya laksanakan. Saya permisi dulu," ucap Diana berniat berlalu dari rumah Rindang. Tanpa menunggu persetujuan kedua orang tua Rindang, Diana berlalu menuju sepeda motornya. Hari sudah menjelang malam. Saat ini suaminya pasti sudah sampai rumah. ** Saat sampai di rumah benar saja, suaminya sudah berada di dalam rumah. Tampak sepeda motor suaminya sudah terparkir di halaman kosan. Diana memarkir sepeda motornya di samping sepeda motor suaminya. Diana mengucapkan salam dan segera membuka pintu. Tampak suaminya sudah selesai mandi dan duduk santai di ruang tamu sambil nonton tv. "Kamu kok baru pulang dek?" tanya suaminya sembari menerima tangan istrinya yang meminta tangannya untuk dicium. Hal noasa kalau satu baru tiba di rumah. "Iya nih mas, tadi itu ada remaja yang nekad mau bunuh diri. Makanya aku bantuin. Aku antar sekalian ke rumahnya," sahut Diana apa adanya. "MasyaAllah, istri aku ini memang spek bidadari," puji Bayu membuat Diana terbang ke awang-awang. "Oh ya mas. Kamu pasti lapar. Aku siapkan makanan dulu ya. Tadi aku mampir beli gudeg karena tahu nggak bakal keburu kalau masak dulu," ucap Diana sembari mengambil beberapa piring dan sendok. Dia lantas menatanya di meja makan. "Nih mas, makan dulu ya. Aku mau mandi dulu, keringetan," ucap Diana sebelum berlalu ke dalam kamar mandi. Tak lama setelah Diana masuk ke kamar mandi. Dari luar terdengar beberapa langkah memasuki rumah kontrakan Bayu dan Diana. Karena tidak dikunci merek masuk tanpa perlu permisi dahulu. "Wah, mas Bayu makan nggak ajak-ajak," ucap Mery adik kandung Bayu yang saat ini masih kuliah di universitas swasta Jogja. "Kalian ini masuk rumah kok nggak ngucap salam. Bikin kaget saja," ucap Bayu tak suka melihat kedatangan ibu dan saudara-saudaranya. Dia sudah menyadari apa arti kedatangan mereka ke sini. Apalagi kalau bukan urusan duit. Mereka hapal tanggal gajian dari Bayu. Jadi setiap tanggal gajian ketiganya pasti rajin datang menengoknya. Padahal kalau hari biasa meski Bayu sedang sakit sekalipun mana mau mereka menengok atau sekedar mencari tahu kondisinya. "Halah Yu. Kayak ke rumah siapa saja. La wong rumah anak sendiri. Emang nggak boleh apa kami nengok anak lanang satu-satunya," gerutu ibunya tak terima dengan ucapan Bayu yang sepertinya tidak suka dengan kehadirannya. Pasti ini akibat terpengaruh istrinya, batin bu Lastri ibunda Bayu tak suka. "Pasti Diana kan yang nyuruh ngusir kami kalau datang?" tanya Mawar, kakak tertuanya itu dengan wajah tak enak dipandang. "Kakak jangan fitnah. Diana mana pernah ngomong yang kayak gitu," ucap Bayu kesal. Mau makan tenang saja nggak bisa. "La ini buktinya, kami datang tapi kamu kayak nggak suka gitu," ucap bu Lastri kesal. "Aku kan cuma minta kalian kalau datang mbok ya pakai salam atau ketok pintu dulu. Jangan masuk gitu saja," ucap Bayu berusaha sabar. "Ya anpunm Yu. Gitu aja kok dimasalahin kayak sama siapa saja," gerutu bu Lastri lagi tak terima dengan ucapan anak lelakinya yang mulai berani menasehatinya. "Wah gudeg, kebetulan banget mas. Aku tadi belum makan. Buat aku ya," ucap Mery tanpa menunggu jawaban Bayu sudah mulai menyuap nasi punya Diana ke dalam mulutnya. "Lancang banget sih Mer. Itu punya kakak ipar kamu. Dia tadi nggak sempat masak. Sudah sana," cegah Bayu mengambil nasi gudeg yang sudah diobok-obok oleh adiknya. "Ya ampun Yu. Pelit banget sih sama adek sendiri," ucap Bu Lastri tak terima bungsunya dijahati kakaknya sendiri. "Bukan gitu buk. Kasihan Diana nanti nyari makanannya," ucap Bayu tak terima dibilang pelit. Kalau dia pelit sudah pasti gajiannya akan dia pakai untuk dirinya sendiri dan istrinya saja. Nggak bakal dia bagi kepada ibu dan saudaranya. >>BERSAMBUNG>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN