Mama Muda

1545 Kata
Sepertinya cacing di perut Milia memang tidak bisa dikompromi, suaranya mengalahkan suara ledakan bom hiroshima dan nagasaki. Cacing-cacing bilang, “Bunda …. kasih aku makan bunda!” Terus berkali-kali hingga yang bakal jadi calon ayahnya mendengar suara itu. “Bunda adik tak kuat ingin dikasih makanan, Bund.” Lagi dan lagi mereka meronta hingga Milia malu dan menekan-nekan perutnya dengan kedua tangan, berharap mereka bisa diam. Lama-lama di dalam selimut jadi gerah juga. Tadi kedinginan, abis ada abang jadi anget karena syok.  ‘Dasar cacing gak ada akhlak. Udah gue isi tadi sama bergedel, gorengan, roti dan teh anget, masih aja lu minta jatah lagi. Kurang ajar emang.’ Milia sewot sendiri. Sudah kepalang tanggung malunya nih, satu karena kecebur sumur dua karena cacing diperut, lalu apa lagi? O iya, dia ingat saat ini tidak bermake up, biar kata dimake up tiap hari tipis, tapi kalau sama abang ganteng kucel malu dong, makanya Milia tak mau menampakkan diri. Sayang banget dia gak bisa lihat Deon yang tampan maksimal.  “Ehm …..” Suara Deon menyadarkan Milia dari lamunannya.   “Ibu kamu sepertinya sedang masak.” Deon memiringkan sedikit kepalanya agar dia bisa melihat wajah Milia. Dia penasaran ini cewek apakah cantiknya cuma hasil editan atau asli hasil maha karya Tuhan. Sayang Milia malah terus sembunyi, jadi putri malu dulu mungkin. “Terus?” tanya Milia sambil membuka sedikit selimutnya agar dia bisa mengintip Deon. Putri malu juga terkadang mengintip sedikit lama-lama bintitan. “Ya makan dulu lah. Itu cacing di perut kamu minta diisi.” Deon bisa lihat mata Milia yang terlihat coklat, begitu indah dengan kelopaknya yang sipit. Waww …. Milia melebarkan matanya. Segar sekali pagi-pagi begini lihat yang bening-bening bagaikan embun pagi. Wajah abang glowing, rambutnya hitam lebat, hidung mancung, bibir keriting, mata sipit yang dihiasi dengan kacamata berbingkai tipis, dagunya belah sedikit jadi tambah manis. Kalau lihat malam-malam dengan lampu remang-remang saja sudah kelihatan uwu, apalagi sekarang saat cerah terang benderang seperti ini. Alamakkk …. Nikmat mana yang engkau dustakan. Beruntung sekali dapat calon suamik modelan begini.  “Ganteng banget …..” Dua kata ini tak sengaja terdengar meski sangat pelan. Milia benar-benar keceplosan saking mengagumi ciptaan Tuhan. Deon memang tampan dan menghipnotisnya hingga beberapa detik tak bisa berkedip. “Sudah dari sejak embrio saya ganteng!” Humor si abang ternyata receh juga. Masa dari embrio sudah ganteng, tapi iya juga sih, bagaimana bibit dan bobotnya dulu hingga menghasilkan buah yang unggul seperti ini. “Heh …..” Milia mendadak jadi undur-undur karena badannya mundur. Malu kepergok ngomongin Deon ganteng. “Jadi untuk apa kamu ngintip-ngintip seperti itu? Keluarlah dari selimut dan pergi ke ruang makan jika tidak sakit dan tidak mau dibawa ke rumah sakit.” Ancaman Deon bukan main demi ingin melihat wajah Milia. Tambah malu lagi Milia karena dikatai mengintip cowok ganteng. “Hmmm …. Sana keluar Bang. Biar nanti Milia minta enyak antar makanan kesini.” Jelas Deon bukan seseorang yang mudah diusir, orang yang mengundang dan menyuruh ke sini itu ibunya Milia. Deon dalam mode santuy, dia menyandarkan punggungnya ke kepala kursi sambil melihat ujung kukunya apa bersih atau tidak. “Dalam hitungan ke lima, jika kamu tidak ke ruangan makan dan makan sendiri, saya akan angkat dan bawa ke rumah sakit!” Dia bentangkan semua jarinya yang semula terlipat. “Kok gitu?” Milia langsung panik. Kalau di anamnesa dokter nanti jawabnya, “Saya habis kecebur sumur, Dok.” Pegawai UGD semuanya pasti tertawa renyah bagaikan menggigit ciki. Yang ada Milia bakal jadi pasien fenomenal. “Satuu ….. Duaaa ….. Tiga ….. E-” Baru saja mau hitungan ke empat, jurus Deon pun ternyata jitu. Tepat kena sasaran! “Iya, iya!” Milia langsung melepaskan selimut tebal dan berdiri. Eh dia lupa pakaian yang ia pakai kurang bahan plus seperti baju anak kecil. Cuma pakai blouse warna putih tulang dengan tali tipis di bagian pundak, panjang roknya juga di atas lutut. Pantas saja tiduran pakai selimut tebal. “Duhh …. Kek gembel banget gue.” Rambut Milia yang lumayan panjang itu tipikal yang ngembang, jadi mirip rambut singa kalau bangun tidur emm! “Jangan lihat!” Dia langsung memperingati Deon sambil menunjuknya. Aurat ini, gak boleh si abang lihat. Milia langsung buru-buru mencari apapun yang bisa menutupi d**a dan pundaknya. “Untung ada sweater di sini.” Dia langsung pakai sweater warna abu yang tergantung di kepala kursi.  ‘Bodo amat mau cantik atau burik lah, ya.’ Milia pun menyisir rambutnya dengan kelima jarinya lalu ia gulung-gulung dan sematkan alat penusuk seperti sumpit yang ujungnya ada gantungan bunga. Milia jadi mirip cece-cece cina. Daripada berambut singa lebih baik digelung saja.  Deon yang merasa Milia sudah menutupi bagian tubuhnya yang sangat terbuka pun tidak menutup matanya lagi. lucu juga sih, pemandangan seperti itu sering dia lihat, dia menutup matanya hanya karena menghormati Milia saja. Yang dia lihat kini adalah wanita mungil yang lucu seperti anak kecil. Badan mungil menggunakan sweater yang begitu longgar jadi terlihat lucu. Bedaaa banget, bener-bener beda. Jika biasanya dia bertemu wanita sexy yang memiliki beberapa tato di tubuhnya, rambut panjang dan disemir warna-warni, pakaian modis dan wajah tebal dengan make up, Milia ini imut-imut lucu seperti marmut. Giginya gingsul di kanan kiri serta gigi s**u depan yang imut seperti gigi kelinci. Wajah milia begitu babyface, tidak terlihat seperti gadis yang mau menginjak usia dua puluh tahun akhir bulan ini. Milia jadi malu karena Deon menatapnya dingin, beda dengan pria-pria lain di sekolahnya, palingan mereka senyum atau ngeledekin, yang ini dingin dan kaku hampir kayak batu atau patung pancoran. “Ayok Bang!” Deon pun mengedipkan matanya beberapa kali dan mengekori Milia yang sudah jalan lebih dulu darinya. Milia mendadak lupa akan kenyataan jika dia kedatangan calon suaminya. Dia malah duduk seperti biasa layaknya Milia pecicilan yang mau makan, kaki dilipat dan di angkat satu lalu kedua tangannya menyangga dagu. “Enyak lapar!” rengek Milia sambil menyodorkan piring kosong yang di atas meja. Endang pun menoleh dan langsung salah fokus. “Eh ….” Dia ketok kaki anaknya yang tidak sopan itu dengan spatula bekas mengaduk nasi goreng, malu ada Deon masa kakinya naik ke kursi, di mana attitudenya. Harus jaim kalau ada calon suami. “Aurat, Mil!” Belum lagi Milia ini pakai blouse, kalau kaki dilipat dan naik otomatis pahanya makin kelihatan karena roknya makin naik. “Duh …. Lupa.” Milia langsung tutup pahanya dengan memanjangkan sedikit baju tidur yang ia kenakan itu. Duduknya kini beralih ala nona manis yang dirapet-rapetin kaki kanan dan kirinya. Deon yang melihatnya langsung terkekeh. ‘Lucu juga ini anak ulet keket!’ Beda dari yang lain. “Kalian makan nasi goreng buatan Enyak dulu, ya!” Endang pun menyajikan tiga porsi nasi goreng kesukaan Milia.  “Kamu udah enakan belum badannya, Mil? Demam?” tanya Endang sambil menarik kursi. “Eng- enggak kok.” Milia jadi ketakutan dibawa ke RS. Agak sedikit tak enak badan sih, tapi masih bisa ia tahan. Deon yang duduk di sampingnya refleks menyentuh kening Milia menggunakan punggung tangannya. “Iya enggak demam, Bu. Berarti benar-benar tak usah dibawa ke rumah sakit.” “Gak usah, Nak. Palanya dia juga gak geger otak kok.” Endang jadi teringat momen saat dia lihat kepala Milia saja yang ngambang sedangkan badannya ketutup air sumur. Untung itu air sumur bersih, kalau musim hujan kan air sumurnya keruh. “Enyak ihhh ….” Milia makin malu, dia tutup saja wajahnya menggunakan kedua tangan. Gadis itu melirik Deon sekejap lantaran tadi kenapa bisa berani menyentuh keningnya. Milia merasa di tengah-tengah antara Deon dan Endang ini bakal kalah.  “Besok-besok marahin tetangga Enyak noh, nyuci motor bekasnya gak diberesin lagi. Mana itu motor astrea jadul olinya suka bocor dan netes kemana-mana. Kan bahaya Enyak kalo ada yang nginjek, ya contohnya berakhir kayak Mili. Kalau yang jatoh itu Enyak gimana?” Lebih ngeri lagi kalau anak kecil. “Ngeri-ngeri sedep. Kok elu kayak doain enyak aja yang kecebur ke dalem sumur, Mil?” Endang pura-pura emosi. “Eh eng- enggak.” Milia buru-buru menggelengkan kepalanya. “Besok udah mulai kuliah kan, Mil?” tanya Endang karena libur kelulusan sudah terlewatkan, kini anaknya bakal jadi mahasiswi kuliahan. “Iya, Nyak.” Kuat lah besok kalau mau kuliah. “Eh elu juga mau ulang tahun kan akhir bulan ini?” Endang melirik kalender yang terpasang di dinding dapurnya. “Iya. Masa Enyak gak inget.” Dia kebal karena dilupakan, giliran ulang tahun Munaf saja sampai buat syukuran. “Mau kado apa?” tanya Endang antusias. “Kadonya Enyak sehat dan bahagia plus jangan marah-marah mulu ke Mili aja dah.” Bisa tentram hidup Mili kalau ibunya kebanyakan diam. “Hemmm …. Kalau kado dari calon suami kamu mau apa?” tanya Endang menoleh ke arah Deon. “Nanti Deon belikan baju saja atau perhiasan.” Apalagi? Deon cuma tahunya itu, paling cewek gak jauh-jauh dari mempercantik keindahan diri. “Jangan itu Nak Deon. Kadonya status baru saja. Mmmm …. Jadi istri!” Tjakepp Nyak, ide enyak buat kawinin Milia pas ulang tahun bole juga. “Enyakk ….. Milia belum siap nikah.” Ya kali nikah baru masuk kuliah, kan dia belum kerja, belum jadi sarjana, belum juga berkarir dan merasakan rasanya cari uang sendiri. “Enyak dulu nikah seumuran kamu, Mil. Ntar jadi perawan tua mau? Mending jadi mama muda!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN