"Gue?" Mika menunjuk ujung hidungnya sendiri begitu dapat mengusai diri. Mulut Leo piawai merangkai kata, membuat Mika tadi sempat merasa bahwa dirinya berbeda, spesial di mata Leo hingga Leo ingin memulai petualangan barunya dengan Naranada dan dirinya.
Mika tentunya berusaha menepis perasaan gede rasa tersebut. Setahunya, yang spesial itu cuma Martabak. Kalaupun ada seseorang yang punya arti spesial bagi seseorang lain, kedua orang itu haruslah memiliki momen bersama yang mengesankan hingga terjalin satu ikatan emosional. Sedangkan Mika dan Leo jelas tidak masuk kategori 'orang spesial' tersebut.
Menurut Mika, bukankah sikap Leo agak berlebihan? Mereka hidup di abad 21, penjajah telah enyah dari negara ini. Lalu mengapa Leo berkata seolah-olah dia bukan manusia merdeka? Yang hidupnya serba terbatas dan telah diatur.
Leo masih menatap Mika.
"Gue nggak tahu mau anggap omongan lo barusan itu bercanda atau lo mungkin punya tujuan tertentu. Tapi Oke, gue akan coba menanggapi dengan serius karena lo ngomongnya juga kayak orang serius." Mika sengaja menjeda sejenak, keduanya kini berdiri di tengah-tengah koridor lantai tiga yang sepi. "Gue bisa mengerti kalau lo mau cari pengalaman baru dengan gabung Naranada, tapi kenapa ada gue-nya? Hal baru apa yang bisa lo dapat dari gue?
"Dan satu hal lagi yang gue nggak ngerti, Yo, memangnya ada gitu yang larang-larang lo melakukan hal-hal yang lo mau?" Untuk pertanyaan yang terakhir ini lah yang paling aneh menurut Mika, sebab sepanjang pengalaman hidupnya, justru orang-orang di sekitarnya selalu mendorong Mika untuk melakukan hal-hal yang Mika suka. Sejak kecil Mika telah menjajal banyak sekali kegiatan-kegiatan hingga Mika benar-benar tahu kegiatan apa yang mebuatnya paling bahagia. Iya, tentu saja Mika tahu dirinya mungkin hanya beruntung dan tak semua anak punya kesempatan sepertinya, Leo pasti punya masalahnya sendiri. Namun, sekali lagi, Mika hanya terbawa atmosfer serius yang Leo sebarkan.
"Nggak dilarang tapi nggak diberi pilihan, apa ada bedanya?"
"Hah?" Mika berdengung tak mengerti, lalu mendecakkan lidah malas. Mungkin memang sejak awal ia tidak perlu berusaha mengerti.
Leo tersenyum simpul. "Intinya, gue harap lo mandang gue sebagai Leo, cukup Leo. Bukan Leo pacarnya Icha. Jangan sampai karena Icha, kamu juga menganggap aku musuhmu."
Mika mendesahkan napas panjang. "Gue rasa, lo harusnya bilang itu ke Icha. Baru gabung di band yang sama dan jelas-jelas di band itu bukan cuma ada kita berdua aja dia nggak setuju. Gue senang punya banyak teman, tapi kalau gara-gara lo gue mendapat masalah, gue lebih ingin ngejalani hari dengan tenang tanpa masalah." Mika lalu melanjutkan langkahnya ke studio. Ia tak tahu apa kata-katanya barusan terdengar kejam, Mika hanya merasa memang itulah sikap yang harus ia tegaskan sejak awal.
Buat apa ia ribut-ribut demi seorang Leo?
"Minuman datang," seru Mika dengan suara yang dibuat-buat riang, takut Alvin akan mengomel seperti biasa jika Mika diminta melakukan sesuatu tapi lama.
"Cepet amat."
"Cepet apanya?" ulang Mika tak mengerti. "Orang tadi ada drama uang kurang segala, untung Leo buruan dateng." Mika sengaja tidak menyinggung bagian ia mengobrol dengan Leo.
"Nah justru karena Leo nyusul, gue kira kalian akan sengaja lama-lamain. Kan lo biasanya suka nyolong-nyolong waktu buat kabur."
Mika hanya menanggapi dengan gelengan pelan, antara aneh tapi tidak mau ambil pusing. Dia lalu mengambil minuman bagiannya, pun dengan Alvin dan Jodi yang berebutan padahal pasti kebagian.
Marco menjadi yang paling terakhir, dia mengambil satu-satunya cup ada di dalam plastik. Saat hendak kembali ke posisinya, Marco melirik Mika dengan lirikan yang tak dapat Mika artikan sekali liat hingga membuat kening Mika berkerut dalam.
"Lo nggak suka green tea?" tanya Mika, melihat Marco hanya menyesap minumannya sangat sedikit lalu menaruhnya lagi di lantai. Maklum saja, Avin tadi membeli minuman yang diskon sehingga dia tidak tanya mereka mau minum apa dan asal pilih mana yang diskon saja.
"Emang ada pilihan lain?" balas Marco. Pelan, tapi terasa sekali ketusnya.
Jujur saja, Mika yang sudah pusing, makin dibuat pusing dengan sikap Marco. Demi Tuhan, Mika tidak pernah seperti ini ke orang lain. Ia dengan sabar mendekati Marco, mengajaknya bicara, berusaha membuatnya merasa nyaman, tapi apa yang ia dapatkan? Tanggapan dingin seolah-olah Mika adalah gangguan. Padahal tadi Marco tidak sedingin ini. Lebih dingin dari cacahan es batu yang tengah Mika kunyah malah.
Lantaran kesal, Mika putuskan untuk duduk menjauh dari Marco. Biar saja, memang Marco yang tidak mau didekati, kok.
Satu hal yang paling Mika beli dari dirinya sendiri adalah hatinya yang begitu perasa dan otaknya yang tidak pernah bisa benar-benar masa bodoh terhadap sekitarnya, mudah sekali baginya overthinking terhadap segala hal. Entah ini hanya perasaan Mika atau memang yang sebenarnya. Perubahan sikap Marco adalah satu hal, hal lain contohnya adalah Leo. Sejak ucapan Leo beberapa saat lalu, Mika menyadari bahwa Leo tak lagi berusaha menghindarinya, seperti saat awal-awal di baru masuk sekolah.
***
Sesi latihan akhirnya selesai, Mika menunggu jemputan di depan gerbang karena Pak Mul, supirnya sudah dekat tapi terjebak kemacetan jam pulang kantor. Di sebelahnya ada Jodi yang tumben-tumbenan dijemput lantaran mobil yang biasa dia pakai dipinjam oleh kakaknya. Sebenarnya ada Leo juga, tapi dia sudah mau pergi karena ojeknya telah tiba.
"Duluan," pamit Leo pada Jodi dan Mika bergantuan, sesaat sebelum ojek online yang dipesannya berlalu pergi.
Mika dan Jodi membalas dengan lambaian tangan sampai motor yang ditumpangi Leo bergabung dengan kendaraan lain di bahan jalan.
"Leo bener udah punya pacar ya, Mik?"
"Iya, sebangku malah."
"Hmm... Sayang banget, ya?"
Sontak saja Mika menoleh dengan kernyitan tak habis pikir. "Hah? Nggak salah jomlo meyayangkan orang yang udah punya pacar. Kak, jangan bilang lo...."
Tudingan penuh curiga Mika dibalas jitakan oleh Jodi. "Bukan sayang di gue, gue jomlo bukan karena nggak ada cewek yang mau. Tapi karena gue mau fokus UN."
Mika mencebikkan bibir mencibir. "Halah, alasan klise. Dari jalan ayah bundaku anak kelas akhir pasti pakai alasan begitu."
"Terserah lo ngomong apa. Gue cuma merasa sayang aja dia udah ada yang punya, tadinya gue sama Jodi mau bantu ngedeketin kalian berdua."
"Hah?" pekik Mika kaget. "Siapa yang pertama punya ide gila itu?!"
"Ide gila apanya? Leo cowok baik, pintar, gue sebagai abang lo bisa tenang ninggal lo nanti kalau ada cowok kayak Leo yang bisa jaga lo."
"Ih emang aku anak kecil mau nyeberang apa, sampai mesti dijaga?!" rajuk Mika. Sekarang terang sudah. Jadi Alvin tadi tidak salah lihat angka bayar tapi memang sengaja kurang supaya bisa menyuruh Leo menyusulnya lantaran sebelumnya Mika menolak saat Alvin menyuruhnya tutun ditemani Leo tapi malah mengajak Marco.
"Cewek kayak lo itu memang mesti dijaga. Sekarang aja lo bikin orang khawatir, sadar nggak?"
"Lah? Emang aku kenapa?" Mika tidak merasa ada yang salah dari dirinya, tidak juga merasa sedang berada di bawah tekanan atau ancaman. Dirinya merasa sepenuhnya baik-baik saja.
Dengan sebal Jodi menunjuk-nujuk wajah Mika. "Ini nih ke apa gue bilang lo harus dijaga, lo beneran polos, Mik. Sekarang gue mau tanya, tapi lo harus jawab jujur."
Mika mendongakkan dagu, menantang. "Apa?"
"Lo suka sama Marco?"
"Siapa bilang?"
"Nggak usah sok siapa bilang-siapa bilang, di jidat lo udah kelihatan," omel Jodi. Mika tidak punya kakak, seandainya punya, mungkin kakaknya itu mirip seperti Jodi. "Dari cara lo ngebela dia biar masuk Naranada terus dia bilang mau gabung karena lo yang ajak, gue udah ngerasa ada sesuatu antara kalian, minimal salah satunya udah naksir duluan. Terus dari cara lo natap dia, dari cara lo selalu nyamperin dia. Lo beneran suka sama Marco kan, Mik?"
Mika mengetejap cepat, bingung tak tahu harus menjawab apa. Satu-satunya hal yang ada di kepalanya saat ini adalah, benarkah ia seperti yang Jodi bilang? Benarkah di jidatnya ada tulisan kalau ia naksir Marco? Benarkah sejelas itu?
"Udahin sebelum perasaan lo makin jauh, Mik," Jodi berkata lagi, di saat Mika masih sibuk dengan pikirannya sendiri. "Di sekolah ini semua orang tahu siapa Marco. Dia itu anak bermasalah, udahin perasaan lo sebelum lo juga dapat masalah."
"Bermasalah apa sih, Kak? Marco itu sama aja kayak kita-kita, cuma dia emang bodo amat anaknya." Tadinya Mika ingin menyanggah bahwa ia tidak ada perasaan apa-apa terhadap Marco, tapi malah berakhir seolah-olah dirinya menegaskan bahwa dugaan Jodi benar. Mika hanya ingin semua orang tidak salah paham terhadap Marco.
"Astaga, masih ngebela juga. Bodo amat sama nggak peduli aturan itu beda, Mika. Lo pasti nggak tahu kan dia itu anak geng motor, sering ikut-ikutan balapan liar?"
Mika memilih mengunci mulut. Jodi pasti sangat kaget jika Mika beri tahu kalau ia bahkan hampir diangkut polisi di tempat balapan itu dan ditraktir Marco es krim dengan uang hasil balapannya.
Untungnya mobil jemputan Mika tiba. Ia akhirnya bisa berhenti mendengar ocehan buruk Jodi tentang Marco. Mika paham, Jodi mungkin khawatir. Ia juga maklum karena ia pun dulu sebelum kenal Marco juga menilainya yang buruk-buruk.
Namun, alih-alih seperti menasehati, Jodi lebih terdengar seperti menghasut. Ditambah lagi dia dan Alvin berusaha menyomblangkannya dengan Leo. Menurut Mika, itu sudah hampir mencampuri kehidupan Mika.
“Eh lo marah?” Jodi menahan Mika saat Mika hendak pergi begitu saja.
“Nggak marah, orang aku mau pulang. Tuh, Pak Mul udah datang.”
“Lo nggak beneran cinta sama Marco, kan?”
Mika mendesah sambil menghentakkan kaki kesal. “Cinta-cinta apa sih, Kak. Enggak, gue nggak cinta sama Marco! Puas?!”
"Wah, kalau begitu parah lo, Mik. Ngaku nggak cinta, tapi kenyataannya lo bucin abis. Lo lihat aja, tinggal tunggu waktu sampai dia ketahuan makai n*****a. Setelah itu gue mau lihat apa lo masih bisa bela dia." Jodi berseru tepat saat Mika hendak masuk ke dalam mobil.
Mika melempar tas ransel ke jok samping sebagai pelampiasan rasa kesal. Ia sungguh heran dengan semua orang. Kata 'polos' tidak tepat, kesannya Mika bodoh sekali hingga penilaiannya dianggap tidak valid. Ditambah lagi Mika sungguh tidak tahu bagaimana cara membuktikan bahwa ia bisa menjaga diri, entah fisik maupun hati.
Jalanan macet memperburuk suasana hati Mika. Perjalanan yang mestinya hanya 40 menit, molor menjadi hampir satu jam setengah sendiri. Namun, kekesalan Mika agak teralihkan dengan rasa heran melihat tak biasanya komplek rumahnya seramai ini. Mika menegakkan badan, mendapati sebuah mobil ambulance terparkir di depan rumahnya, Mika paktis saja langsung mengecek ponsel, memastikan tidak ada oranh rumah yang mengabari sesuatu.
Lantaran terhalang oleh ambulance, mobil Pak Mul tidak bisa langsung masuk ke rumah. Mika melompat keluar dan berlari menyongsong bundanya yang juga ada di depan rumah dengan wajah sambil menggandeng tangan Sikka yang tengah mrnangis. "Bunda?" seru Mika sambil berlari. "Ada apa? Ayah mana?"
"Sttt... Jangan gaduh-gaduh," tegur Sadin.
"Ada ambulance di depan rumah kita, gimana aku nggak boleh gaduh coba. Ini lagi, Sikka ngapain nangis? Siapa yang sakit?"
"Mereka masuk ke sana," jawab Sadin, mengedikkan kepala ke arah rumah Icha. Bersamaan dengan segerombol petugas medis keluar dari rumah Icha sambil mendorong brangkar, disusul dengan Mama Icha yang menangis tersedu-sedu.
Dari tempat Mika berdiri, Mika sama sekali tidak kesulitan mengenali siapa yang berbaring di atas brangkar tersebut. Dia adalah Icha yang bahkan masih mengenakan seragam sekolahnya hari ini. Jadi dia betulan sakit? Bukankah tadi di sekolah dia terlihat sehat-sehat saja?
Deg! Mika baru berhenti bertanya-tanya saat matanya melihat pergelangan tangan kiri Icha yang dipegangi seorang petugas medis itu terbebat kain putih dan nampak ada warna merahnya. Otak Mika dan otak siapapun yang melihat pasti akan langsung berpikiran sama, bahwa Icha melakukan percobaan bunuh diri.
Seseorang lain muncul dari dalam rumah Icha dengan langkah lunglai dan tatapan begitu lemah, seseorang yang tak lain adalah Leo. Leo tampak sangat pucat dan kedua tangannya bersimba darah.