14 | Anak Haram

2453 Kata
"Oalah, pantesan." "Iya, katanya kan emang gitu kalau anak-anak hasil kecelakaan, biasanya nggak normal." "Stt... Udah, udah, jangan dibahas lagi. Ingat ya, kalian udah janji nggak akan bilang ke siapa-siapa. Ini aku cuma cerita ke kalian aja, jangan sampai aku dikira sengaja ngejelek-jelekin Mika," ujar Icha pada empat teman yang duduk bersamanya di salah satu meja kantin, tanpa sadar subjek yang mereka bicarakan mendengar semuanya. "Itu kan kenyataan, nggak bakal bisa ditutupi. Tenang aja, kita nggak akan bilang siapa-siapa. Kita cukup tahu kalau Mika ternyata adalah anak haram." Deg! Separuh energi Mika seolah ditarik keluar dari raganya ketika mendengar dua kata terakhir Frisca, teman yang duduk persis di depan bangku Mika. Mereka sering berbagi tugas bersama dan bercanda di sela-sela pelajaran, tidak pernah sekalipun Mika berpikir Frisca tega melabeli Mika dengan sebutan itu. Anak haram. "Setelah kalian tahu gue nggak normal dan anak haram, terus kalian mau apa?" Suara Mika menyentak lima kepala di meja itu serta beberapa kepala di meja terdekat. Frisca dan yang lain terlihat panik, tapi tidak dengan Icha yang masih bisa mengilangkan kaki di bawah meja dengan sangai. Mika mendekat dan menatap wajah itu satu persatu. "Yang membedakan gue sama kalian itu cuma waktu bikinnya aja, kita sama-sama dibikin dari pertemuan dua kelamin yang menjijikkan." "Ih, apaan sih lo datang-datang marah-marah nggak jelas." Frisca berlagak bodoh. Orang lain mungkin bisa, tapi Mika tidak. Mika tidak bisa dibilang diam saja mengetahui orang lain menggunjingkan dirinya. Mika tidak bisa menutup mulut orang-orang itu karena tangannya cuma dua, jadi sebelum Mika menggunakan kedua tangan itu untuk menutup telinga, biarkan Mika mengeluarkan emosinya. "Mika, kamu kayaknya salah paham, deh. Kita nggak ngomongin kamu, kok," ujar Icha dengan wajah sok polosnya. "Iya nih, GR banget. Aneh." "Sudah, Fris, namanya juga orang nggak tahu. Mika mungkin merasa, makanya dia langsung marah." Sontak kepala Mika tertoleh kepada Icha, terkutuklah mulut cewek itu. Bisa-bisanya dia mengatakan hal manis dan jahat di saat bersamaan. "Jangan kira gue nggak tahu kalau ini ulah lo." "Ulah apa? Orang kita beneran nggak lagi ngomongin kamu, kok." Mika memutar bola mata, ekspresi jengah sekaligus usaha untuk menghalau air mata. "Cuma karena aib lo nggak ada yang tahu bukan berarti lo sempurna, Cha. Terima kasih sudah ngasih tahu semua orang kalau gue anak haram, jadi gue nggak perlu capek berusaha nutup-nutupin lagi. Semoga nggak akan ada orang yang melakukan hal sama yang kayak lo lakukan ke gue barusan, menyebar aib orang." Mika sengaja mengatakannya lantang, dengan begitu semua orang bisa dengar lebih jelas. Biar mereka lebih puas bergosip karena telah mendapat konfirmasi langsung dari Mika. Bahwa ya, dirinya memang anak haram. Tepat saat Mika membalikkan badan untuk pergi, wajahnya bertubrukan dengan Leo yang ada di belakangnya. Leo refleks memegagi kedua bahu Mika karena Mika sempat oleng. Mika sontak mendorong Leo agar ia bisa lewat tanpa dicegah. Mika lari ke kelas. Hal yang Mika takutkan telah terjadi, semua orang akan memandangnya sebagai anak haram. Sementara itu, Icha hanya menghendikkan bahu bersama teman-temannya geleng-geleng seolah tak habis pikir dengan tingkah marah-marah Mika. "Hai, Bee—" "Ikut aku," ucap Leo dingin agar Icha mengikuti langkahnya. Leo sempat mendengar Icha pamit ke teman-temannya yang dibalas dengan seruan menggoda dan Icha tertawa-tawa. Leo membawa Icha ke pinggir lapangan basket gang sepi. "Kenapa Mika kayak tadi?" "Mika aneh, maksudmu?" tanya Icha berlagak tak paham. "Yang aneh Mika, kenapa kamu tanyanya ke aku? Ya, aku nggak tahu lah, Bee." "Oke, aku tanya Mika sendiri kalau begitu." "Eh, Bee, tunggu." Icha menahan lengan Leo, tepat saat cowok itu hendak bergeming pergi. Icha berdecak sebal. "Ngapain sih kamu peduli sama Mika? Pacar kamu itu aku." "Justru karena aku ingat kamu pacarku, makanya aku ingin memastikan kamu nggak membuat masalah sama orang lain." "Membuat masalah apa, sih?!" "Itu Mika marah dan bawa-bawa anak haram apa maksudnya?" geram Leo dengan emosi tertahan. "Nggak semua orang tahu tentang keluarga Mika. Jawab jujur, Cha, kamu cerita tentang Mika ke teman-temanmu?" "Enggak," jawab Icha tanpa berpikir. Leo mengangguk-anggukan kepala mengerti, ia punya penilaiannya sendiri. "Kamu lupa kamu janji apa kemarin? Kamu udah janji kamu nggak akan bikin masalah, terlebih sama Mika. Jangan coba-coba bohong, karena aku tahu kapan kamu bohong dan kapan kamu nggak bohong." "Aku begini karena salah Mika sendiri." Icha membuang napas kasar, barangkali sadar kalau percuma bohong di depan Leo. "Kamu diapain sama dia?" tanya Marco dengan suara menantang, sungguh ingin tahu. "Karena tadi pagi dia judes duluan, dan ... karena dia godain kamu makanya kamu nyamperin ke bangkunya." Leo memejam sesaat. Sama sekali tak terkejut mendengsr namanya terselip di alasan tiap apapun yang dilakukan Icha. "Cha, Mika nggak pernah godain aku. Dan yang kamu bilang dia judes itu, bukannya hubungan kalian dari dulu memang sudah kayak gitu? Dia mungkin aneh karena kamu tiba-tiba baik sama dia." "Bee, kenapa kamu selalu saja belain Mika? Jangan-jangan benar lagi kalau kamu sekolah di sini bukan biar satu sekolah sama saudara tirimu, tapi biar satu sekolah sama Mika. Iya, kan?" Leo menatap Icha tanpa bisa berkata-kata. Semakin hari Icha semakin posesif dan insecure tak jelas, lama-lama Leo semakin tidak tahan. Terlebih sekarang orang lain ikut terseret. "Minta maaf sama Mika searang." "Apa? Minta maaf sama Mika?" pekik Icha seakan itu adalah hal paling mustahil yang akan Icha lakukan, tidak peduli besok adalah hari sekalipun. "Enggak, nggak akan pernah. Orang aku nggak sengaja cerita, salahin tuh Frisca sama yang lain nggak tahu siapa namanya, mereka yang duluan tanya-tanya tentang Mika. Kenapa dia tadi pagi judesin aku." "Tetap saja, kamu nggak seharusnya nyebut dia anak haram." "Bukan aku, itu Frisca yang bilang!" bantah Icha dengan nada suara yang makin meninggi seiring dengan desakan Leo. "Lagipula itu kan fakta, dia memang anak yang lahir di luar nikah!" "Icha!" bentak Leo kehilangan kendali. Leo hampir tidak pernah begini, ketika mamanya dan mama Icha secara khusus mengajaknya bicara dan meminta Leo menjadi 'sahabat' Icha karena Icha butuh sahabat atas anjuran psikiater Icha, Leo tahu yang perlu dilakukannya hanya bersabar dan memberi Icha pengertian pelan-pelan jika Icha melakukan kesalahan. Tak cukup dengan hanya menjadi sahabat, kesediaan Leo setiap saat untuk Icha membuat Icha sangat bergantung dan takut kehilangan Leo. Napas Icha memberat, sejurus dengan ekspresi wajahnya mengeras. "Leo kamu itu pacar aku, kamu harusnya belain aku." "Benar, aku pacar kamu. Cuma pacar kamu, bukan tahan kacung kamu. Aku membela siapa yang menurut aku patut dibela." Bagi Leo yang selama ini sudah cukup. Ia tidak mau lagi mengalah jika Icha mulai menunjukkan tanda-tanda pemberontakan dan marah, sebab di sini bukan hanya peradaan Icha saja yang penting. Leo juga ingin memihak ke perasaannya sendiri, terlebih ada perasaan lain yang sedang terluka saat ini. Bagaimana jika label anak haram itu mempengaruhi pergaulan dan kepercayaan diri Mika nantinya? Masa depan seseorang terancam rusak hanya karena omongan yang tidak dijaga. "Jadi menurutmu aku nggak patut dibela? Kamu sebenarnya cinta nggak sih sama aku?" "Cha, kamu benar-benar akan kehilangan aku kalau kamu terus begini. Minta maaf sama Mika atau kita usahan aja," ancam Leo dengan suara dingin yang mempertegas ancamannya tersebut, cowok kemudian membalikkan badan dan meninggalkan Icha. "Leo!" Jeritan Icha mampu didengar oleh Leo, tapi Leo sama sekali tidak menghiraukannya. Icha benar-benar harus belajar sesuatu, bahwa perasaan orang lain juga penting. *** Gosip bahwa Mika adalah anak haram dengan cepat menyebar, Mika tahu itu hanya dari cara teman-temannya mencuri-curi lirikan lalu saling berbisik dengan orang di sebelahnya. Kendati pada Aninda Mika mengatakan kalau dirinya baik-baik saja, dalam lubuk hatinya, Mika sedih luar biasa. Haram barangkali adalah sebuah paling negatif di seluruh tatanan bahasa Indonesia. Umat agama tertentu memakai kata itu untuk sesuatu yang siapapun akan bedosa jika memasukkannya ke tubuh, disentuh, dan bahkan sebaiknya dijauhi. Umumnya itu adalah benda atau kegiatan yang kotor, menjijikkan, dan hanya membawa manfaat buruk. Sungguh Mika tidak pernah menyangka jika label haram juga bisa disematkan pada manusia. Pada dirinya. Begitu jam sekolah berakhir, Mika bergegas ingin langsung pulang. Ia sedang memasukkan buku terakhir ke dalam tasnya, ketika ia menyadari seseorang berdiri di sebelah bangkunya. "Maaf." Perlahan pandangan Mika menjalar naik mengikuti uluran sebuah tangan hingga menemukan wajah malas Icha. Mika menaikkan alis, mempertanyakan apa maksud dari kata 'maaf' Icha barusan karena dari ekspresinya, Icha tidak seperti seseoranh yang tengah menunjukkan rasa penyesalan. Siapa tahu mereka punya pemahaman berbeda tentang kata tersebut. "Leo suruh aku minta maaf," lanjut Icha. Mika mendengkus, inilah mengapa ia ragu sejak awal. Sebab Icha yang ia kenal tidak punya hati sebesar ini untuk mengulurkan tangan Minta permaafan dari orang lain. "Bilang sama Leo, gue nggak butuh," jawab Mika, tapi matanya melirik ke arah Leo mengawasi pacarnya melakukan suruhannya. Mika kemudian berlalu dari hadapan Icha yang uluran tangan kanannya masih menggantung. "Mika, aku beneran minta maaf. Tolong maafin aku, aku nggak bermaksud jahat. Maafin aku." Kedua kaki Mika yang baru melangkah dua langkah sontak terhenti. Jarak dirinya dengan Icha masih cukup dekat sehingga dia tidak perlu berteriak dan membuat seisi kelas kini menjadikan pusat perhatian, cukup dengan suara serendah sebelumnya saja seakan yang perlu dengar hanya dirinya dan Mika saja. Sebelah sudut bibir Mika tertarik ke atas. Apa yang Mika harapkan? Inilah keahlian Icha, dia pintar membuat Mika terlihat jahat dan tidak layak menjadi teman siapapun. Mika berani bertaruh, jika ia membalikkan badan, ia pasti akan melihat wajah sedih Icha karena penolakan Mika. Terserah, Mika tidak mau meladeni drama Icha. Mika melanjutkan langkah meski sadar itu membuatnya makin terkesan angkuh dan keras hati. "Apa kalian semua lihat-lihat?" seru Aninda di belakang Mika. Aninda mengejar Mika dan berusaha menghiburnya dengan mengajaknya mampir ke mal, tempat favorit Mika melepas stress, tapi Mika menolaknya dan sekali lagi meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Jika biasanya Mika menunggu jemputan Pak Mulyo di dalam sekolah, Mika kini memilih agak menjauh ke luar area sekolah. Bunyi klakson mengagetkan Mika saat Mika berjalan di atas trotoar, di mana sebuah motor tiba-tiba berhenti di sebelahnya. Mika hampir saja lari dan berteriak, takut pemotor itu jambret atau semacamnya, ketika untungnya pemotor itu menaikkan kaca helm yang dipakainya. "Ini gue, woy!" "Astaga, Marco!" Mika spontan memukul punggung Marco kencang. "Bikin jantungan orang aja," omel Mika. Pukulan Mika membuat Marco berjengit berlebihan. "Ini tangan apa gagang cangkul, sih, sakit amat." Marco mengusap-usap punggungnya sendiri. "Sini helmnya, gue ke sini mau ambil helm gue." "Eh—lo ke sini cuma mau ambil ini doang?" Dengan sigap Mika menjauhkan helm dipelukannya itu saat tangan Marco hendak meraihnya. "Iya lah, sebelum lo rongsokin beneran." Mika menghela napas dan belum memberikan apa yang Marco minta. "Lo kenapa sih nggak sekolah, Co? Kita udah kelas tiga, sayang kalau lo mau DO. Bu Cempaka lagi cariin lo tahu, nggak?" "Tahu, makanya sini buruan balikin helmnya biar gue bisa pergi sebelum ada guru lihat." Masih di atas motornya, Marco mencoba menggapai helmnya, tapi sialnya Mika malah makin mundur menjauh. Marco mendecakkan lidah sebal, terancam krisis kesabaran. "Jangan main-main, ya! Gue nggak ada waktu." Mika memutar bola mata meremehkan. "Ah elah, emang mau ngapain, sih? Itu di kepala lo kan juga helm, terus ini motor siapa yang lo pakai? Jangan bilang lo putus sekolah buat ngojek," tebak Mika asal. Kesabaran Marco habis, Marco turun dari motornya dan mendekati Mika, tapi lagi-lagi Mika lari menghindar. Marco menghela napas. "Balikin selagi gue masih minta baik-baik. Gue butuh helm itu sekarang, Mikayla." Mika selalu suka ketika ada yang menyebut nama panggilannya tanpa dipenggal, padahal Mika sendiri selalu setiap memperkenalkan diri selalu hanya pakai 'Mika'. "Jawab dulu, lo beneran mau ngojek sampai butuh dua helm segala?" "Iya. Puas, lo?!" sahut Marco galak dan sepertinya sama asal-asalannya dengan pertanyaaan Mika. "Jadi, sini balikin." Alih-alih menaruh helm itu di tangan kanan Marco yang terulur, Mika malah memakai helm yang sempat ia bilang kotor sampai kutu pun minder itu ke kepalanya. Mika tersenyum lebar. "Kalau gitu, antar gue pulang." Marco menatap Mika putus asa. "Gue beneran nggak ada waktu buat bercanda." "Lah, gue nggak bercanda. Gue punya uang banyak buat bayar ongkos ojek lo." "Emang jemputan lo ke mana?" "Ada, gue bisa suruh balik karena gue hari ini ingin naik motor karena kayaknya udah lama banget nggak baik motor. Ayok." Dengan santai Mika menarik tangan Marco ke dekat motor Marco terparkir, lalu naik begitu saja ke atas boncengan motor padahal Marco masih berdiri sambil menatap tingkah Mika keheranan. "Lho, eh eh eh." Motor yang tersandar samping itu oleng akibat tidak seimbang. Mika beruntung karena Marco sigap menahan motor sehingga Mika tidak jadi jatuh menyamping ke jalan raya dan besar kemungkinan kepalanya akan terlindas mobil lewat. "Motornya jelek banget, sih, masa nggak diapa-apain mau jatuh," omel Mika sebagai luapan syukur tidak jadi jatuh. "Heh! Nggak diapa-apain gimana, lo main naik aja ke boncengan padahal gue belum naik." "Kalau lo yang naik duluan, gue takut lo tinggal. Lagian gue pernah kok naik ke motor yang berhenti, dan aman-aman aja, malah gue mainin kayak jungkat-jungkit." "Itu motornya distandar tengah!" "Ya, maaf gue kan nggak tahu!" balas Mika membentak. Entah apa yang sebenarnya mereka lakukan di bawah terik sinar matahari menjelang sore yang menyengat ini. "Bisa pergi sekarang nggak sih? Panas." Sekali lagi Marco menghela napas. "Turun. Gue bukan mau ngojek, gue ada urusan lain." "Ikut." "Lo kira gue mau ke mana, Mikayla?" geram Marco. "Nggak peduli, pokoknya gue mau ikut." Mika bersikeras tak mau turun dan nekat ingin ikut bahkan tanpa tanpa urusan apa yang dimaksud Marco, di mana, dan di sana ada siapa saja. Mika pikir, mungkin ia butuh penyegaran sejenak daripada pulang ke rumah dalam keadaan mood buruk yang mungkin saja akan membuatnya keceplosan menyalahkan kedua orang tuanya mengapa mereka harus melahirkan ia di waktu dan cara yang haram. "Lo yakin?" Mika mengangguk kuat tanpa pikir-pikir. "Oke, gue punya syarat." "Siap." "Ck, dengerin dulu." Mika menyengir polos. "Maaf, apa?" "Pertama, gue nggak bisa pergi dari sana seenggaknya sampai jam 9 malam jadi kalau begitu sampai lo mau pulang, jangan merengek minta antar. Kedua, jangan ganggu kerjaan gue. Dan yang ketiga, jangan banyak komentar setelah nanti lo tahu apa yang gue kerjakan. Ngerti?" Kembali Mika menganggukkan kepala kuat dan bersemangat, air muka yang berbanding terbalik dengan Marco. Marco sebetulnya masih ragu mengajak Mika, tapi akan sepertinya lebih merepotkan berdebat dengan Mika. Yang penting Marco telah menjelaskan aturannya. Marco menaiki motor, Mika langsung memegang kedua sisi jaket Marco sebagai pegangan. "Pakai yang benar helmnya." "Udah bener kok di atas kepala, bukan di kaki." "Ck, talinya, Mikayla!" "Oh, hehe yang jelas makanya." Mika benar-benar tak sadar tali pengait helm belum terpasang. Mika mengalami kesulitan memasang tali itu, tak menemukan lubang pengaitnya. Sambil menggerutu kesal-kesal sendiri, Mika terus berusaha mengaitkan, ketika tahu-tahu Marco memutar pinggangnya ke belakang dan mengambil alih pekerjaan tangan Mika. Mika terkesiap, memandangi wajah Marco yang berada sejajar dan tepat berada di depannya. Kening Marco sedikit berkerut, berkonsentrasi memasangkan pengait di bawah dagu Mika. "Gitu aja nggak bisa," dengkus Marco sesaat setelah terdengar bunyi 'klik' lalu wajahnya kembali menghadap depan, tanpa sadar di belakangnya pipi Mika bersemu kemerahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN