03 | Senyumnya Bukan Untukku

2187 Kata
Lampu belajar berbentuk bunga matahari menerangi meja belajar Mika yang sedang dipakai. Mika sedang serius mengerjakan tugas-tugas sekolah yang harus dikumpulkam besok pagi. Meski pemalas dan suka seenaknya sendiri, Mika tak mau menjadi yang terbodoh di kelas. Mika pernah merasakannya sewaktu TK hingga SD, dan rasanya tidak enak sama sekali. Setiap hari Mika akan merasa deg-degan, cemas guru akan memberi pelajaran sulit, takut guru akan menunjuknya maju menjawab soal di papan tulis, dan malu karena hanya dia lah satu-satunya di kelas yang tidak mengerti mata pelajaran itu. Tawa, ejekkan, sudah sangat biasa bagi Mika. Mika hanya diam, atau langsung melabraknya kalau sudah keterlaluan. Mika tak takut. Mika tak mau berperan seperti Nikita Willy dalam setiap sinetronnya, lemah dan tak berdaya. Mika punya harga diri, harga dirinya terlalu mahal bahkan untuk langit dan seisinya sekalipun, karena itu Mika tak terima harga dirinya dijatuhkan apalagi sampai diinjak-injak oleh ketidaktahuan mereka. Ya, mereka hanya tahu Mika itu bodoh. Kebodohan Mika diukur dari kemampuannya membaca, kerapihan dalam menulis, dan menyelesaikan satu rumus matematika. Sebenarnya itu tidak adil, karena setiap manusia memiliki kemampuan berbeda. Ada yang sehat, dan ada yang kurang sempurna. Tak adil rasanya jika Mika dibandingkan dengan mereka yang tak memiliki masalah di diri mereka. Mika masih benar-benar menanggap dirinya bodoh sampai ketika kelas 4 SD, Bunda dan Ayahnya memberitahu bahwa ia menderita Disleksia. Yaitu sebuah gangguan pada syaraf yang membuat penderitanya kesulitan dalam hal linguistik atau perbahasaan. Lalu apa sekarang Mika sudah sembuh? Jawabannya belum, karena sampai saat ini Mika masih terus berusaha mengatasi masalahnya, meski tanpa bantuan psikolog seintens dulu lagi. Psikolog Mika merasa Mika sudah bisa mengenali dirinya sendiri, dan Mika telah menemukan cara belajar yang dirasa tepat sehingga kata-kata yang dibacanya sudah lebih jelas dan daya ingatnya menguat. Meskipun begitu Mika tak lantas menggunakan kelainannya sebagai alasan setiap kali orang mengatai tulisannya yang mirip cakar ayam. Mika tak ingin dikasihani, apalagi dianggap itu sebagai kekurangan. Seiring berjalannya waktu, Mika berhenti menyebut dirinya sebagai 'penderita' Disleksia, setelah Mika sadar ternyata dirinya cukup hebat karena mampu bersaing dengan orang-orang 'sempurna'. Seperti kata Bunda dan Ayah, Disleksia bukanlah penderitaan, melainkan keistimewaan. Mika berusaha menikmati setiap kata bodoh yang dilemparkan ke telinganya. Nikmat itu bukan hanya berupa senang, kan? Sakit juga ada nikmatnya. Cobalah tidak mengeluh dan menangis. Seperti kata ibu kita Kartini, habis gelap, terbitlah terang. Buktinya masa-masa terberat itu sudah berhasil Mika lewati. Jika diingat-ingat lagi, Leo dan Icha lah yang paling sering mengejeknya dulu. Bedanya pada Icha, Mika langsung membencinya, sementara Leo tidak, Mika malah selalu mendekat ingin jadi teman Leo. Mika merasa sangat konyol setiap kali memikirkannya. Ingat Leo, Mika jadi terlingat sebuah benda kenang-kenangannya sebelum Leo pindah ke Surabaya dulu. Ehm.. bukan kenang-kenangan dalam arti umum, yakni diberikan sendiri sebagai memori. Melainkan, Mika menyembunyikannya dan pura-pura tak tahu saat orang itu mencari. Apa itu masuk dalam kategori mencuri? Dan benda itu masih Mika simpan hingga saat ini. Mika melirik tempat pensilnya, memandangi isinya satu-satu. Tak sulit menemukannya, karena pensil itu paling menonjol. Sebenarnya itu hanya pensil 2B biasa berwarna biru hitam, berbeda karena Mika memberinya karet dengan boneka mini berbentuk kepala singa. Mika mengambil benda bersejarah itu, tersenyum memandanginya, lalu memeluknya erat-erat di d**a. Sejak menyembunyikan benda itu 11 tahun lalu, Mika tak pernah menggunakannya. Pernah suatu hari Sikka meminjamnya tanpa izin, Mika marah besar, lalu Ayahnya berbalik marah padanya karena ia marah - marah untuk sebuah benda sepele. Hah... Ayahnya tidak tahu saja sejarah dibalik benda sepele ini. Sementara itu di sebuah kamar lain, seorang pemuda tiduran terlentang di atas tempat tidurnya, kepalanya miring menoleh pada satu titik di dinding. Titik itu berupa sebuah bingkai yang membingkai sebuah gambar tanpa warna dan apa adanya. Berupa dua buah gunung dan matahari tersenyum diantaranya. Pemuda itu tersenyum. Jika bukan karena foto itu, Leo mungkin sudah melupakan Mika. *** "Harus begitu, ya?" Empat orang pemuda di depan Mika mengangguk. Mereka adalah teman satu band Mika. Yang memegang Bass masing-masing namanya Jodi dan Rendy, pada keyboard adalah Steven, sementara yang tak memegang alat musik apa-apa namnya Alvin, sang vokalis. "Itu namanya konsep, Mik. Bagian terpenting dari kontes." Alvin menjawab. "Bukannya yang terpenting adalah lagu dan aksi panggung kita?" "Ya enggak lah, konsep itu yang paling penting. Ini buat kontes, Mik. Kalau cuma buat manggung biasa ya terserah, kita harus mikirin semuanya kalau mau menang." "Cuma untuk kontes itu aja, Mik. Kita ngerti lo nggak suka dandan ala rocker-rocker, ini cuma menyesuaikan sama tema lagu." Steven bersuara sambil menekan tuts keyboardnya. Mika mengembuskan udara lewat mulut. Galau rasanya. Mika tak yakin dengan dandanan seperti itu ia bisa nyaman. Dan kalau Mika tidak nyaman di atas panggung, tidak mungkin Mika bisa melakukan yang terbaik. Suara tawa menyela, tawa mengiringi langkah dua orang anggota aktif ekskul yang diketuai oleh Alvin itu. Hari ini bukan jadwal mereka kumpul-kumpul. Sebagian yang disebut sedang rapat untuk membahas festival musik antar sekolah yang akan mereka ikuti pada 2 bulan yang akan datang. "Ada apa?" "Itu murid baru dari kelasnya Mika lagi upacara penyambutan." "Leo?" Otak Mika merespon cepat. Tanpa pamit dan alasan jelas, Mika berlari meninggalkan studio band mereka. Alvin sudah meneriakinya untuk kembali, tapi Mika tak peduli. Bodohnya Mika yang tadi tak bertanya dulu pada Alif dan Keenan di mana 'upacara' itu diadakan. Mika tidak mungkin berlari ke seluruh penjuru sekolah ini, luas banget, Mika masih sayang kakinya. Jadi Mika putuskan bertanya pada beberapa orang yang ditemuinya. "Oh, iya ... kayaknya tadi aku lihat rame-rame kantin." Mengucapkan kata terima kasih dengan cepat, Mika berlari menuju tempat yang dimaksud. Dan benar saja tampak kerumunan di salah satu meja. "Permisi... permisi.." Mika menyelip diantara tubuh teman-temannya yang tak mau mengalah. Setelah akhirnya melawan tubuh-tubuh itu Mika bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi. Tampak Leo sedang duduk sendirian, di hadapannya ada mie goreng beserta minuman, sementara Marco dan Kroco-kroconya duduk di atas meja, sok berkuasa. Leo tampak tenang menyuap makanannnya, seolah tak terganggu dengan semua orang yang mengelilinginya. Mika ingin berteriak agar Leo pergi dari situ. Tapi entah apa yang ada dipikirannya sampai tetap diam disana, memprovokasi Marco dengan sikap acuh tak acuhnya itu. "Wahh.. bener-bener songong nih bocah baru." "Udah, hajar langsung, Co." Marco tertawa miring seperti penjahat sok keren dalam film-film mafia. Menggunakan telunjuk tangan kirinya, pemuda itu membalikkan piring Leo hingga terbalik dan isinya tumpah. Mika menahan napas, Leo berhenti mengunyah sebentar, lalu melanjutkannya lagi. Leo tenang, terlampau tenang malah. Mika jadi gemas dibuatnya. Salah satu cecunguk Marco menumpahkan minuman Leo ke atas meja, barulah Leo bereaksi. Leo memutar mata menatap Marco. Anggap saja Leo tidak tahu siapa Marco di sekolah ini dan Leo tak tahu masalah apa yang akan didapatnya kalau sampai berani menantang Marco meskipun itu hanya balas menatapnya. Marco menggebrak meja, lalu bangkit berdiri. "Seret dia ke gudang belakang." "Hei!" Mika tidak bisa tinggal diam melihat orang lain ditindas, ehm... sebenarnya Mika tidak pernah ikut campur masalah orang lain. Tapi, kan, Leo tidak bisa dibilang orang lain. Maksud Mika, Leo adalah temannya. Pernah jadi temannya dulu saat TK. Sontak pusat perhatian tertuju padanya. "Mau apa lo?" Tantang Marco galak lantaran aksinya Mika interupsi. "Jangan ganggu dia." Marco tertawa. "Kenapa? lo naksir sama dia?" Mika menipiskan bibir geram. "Udah deh jangan ikut campur, kita nggak main sama cewek." "Iya, Co. Dicolek dikit, nanti nangis." "Terus ngadu sama emaknya." "Huahahaha.... " Tidak penting meladeni Mika, Marco menginstruksikan tiga temannya itu menarik kerah kemeja seragam Leo, namun Leo langsung menghempaskannya. Dia marah dan siap melayangkan tonjokan ke wajah Leo. Tetapi Leo dengan sigap menahan kepalan tangan yang tepat berada di depan wajahnya. Ekspresi wajah Leo masih sangat tenang, tapi matanya seolah berkata 'gue nggak takut sama siapapun', lalu Leo memelintir tangan itu ke belakang badan teman Marco itu. Semua orang membuka mulut tak menyangka ada murid baru yang berani melakukannya. Terlebih murid baru ini terlihat seperti murid teladan yang kerjaannya hanya belajar, sepertinya murid teladan ini tahu caranya berkelahi. Tidak semua orang memang takut pada Marco, tapi daripada melawan, mereka lebih memilih tidak punya urusan. Leo melepaskan Fendi, dan melangkah pergi. Marco menahan tangan di udara, melarang anak buahnya yang hendak mengejar Leo. Anak baru itu sudah keterlaluan, Marco sedang merancang rencana baru yang lebih 'menyenangkan'. Mika masih tertinggal disana, langsung pergi ketika Marco melihat ke arahnya. Mika berlari, antara takut dan ingin mengejar Leo. "Leo... Leo... Leo, tunggu." Mika akhirnya berhasil mencegat Leo dengan berdiri di hadapannya. Padahal Leo berjalan, dan ia berlari, tapi susah sekali mensejajari langkah Leo. Mika sedikit membungkuk, menormalkan napas. "Lo nggak papa?" "Aku masih lapar." "Ah... mereka itu benar - benar." Mika mengembuskan napas panjang. "Gue ada roti. Lo mau?" Mika mengeluarkan sebuah roti gepeng isi kacang merah dari saku kemejanya. Leo mengambilnya. "Thanks," awab Leo sambil mundur duduk di bangku dekat mereka. Mika mengikutinya. Mika memperhatikan Leo menghabiskan roti kecil itu dalam 3 kali gigitan, ketika Leo tiba-tiba bicara. "Heran ya, masih aja ada bully-bully-an kayak gitu di sekolah ini. Katanya sekolah swasta favorit, tapi ternyata isinya cuma berandal- berandal gang sok jagoan." "Nggak semua kayak Marco, kok." "Jadi namanya Marco?" Leo tersenyum separo. "Namanya saja kaya mafia-mafia hitam bertato yang pipinya bopeng bekas jahitan." Mika tertawa sambil memukul-mukul lengan Marco, kebiasaan tiap merasa lucu tapi bagi orang konon itu menganggu. Terlebih cara Leo menyampaikan nyinyiran itu masih dengan tampang lempengnya. "Kamu juga mikir begitu? Wah... kita kok bisa sepemikiran gini ya?" Tawa Mika langsung lenyap, merasa aneh tertawa-tawa heboh sendiri. "Dasar singa," gumam Mika, mencebikkan bibir sebal. "Apa kamu bilang?" "Singa," jawab Mika, penuh penekanan. Sengaja biar Leo tahu sejelek itulah tampangnya. "Pernah nggak lihat singa senyum? Enggak, kan? Sama. Gue juga nggak pernah lihat lo senyum, tuh." "Kita kan baru ketemu." "Lagi." Mika membenarkan. "Kita baru ketemu lagi. Dan selama dua tahun jadi teman TK, sama saja kan? Lo nggak pernah senyum." "Terus kenapa kamu marah-marah? Mau aku senyum apa enggak kan terserah aku." "Dan lo bangga dengan wajah sok cool lo itu?" "Kalau kamu suruh aku jadi orang lain, aku nggak bangga." Leo bangkit dari duduknya. "Ngomong-ngomong terima kasih rotinya dan sepertinya kamu masih harus beli lagi karena suara perut kamu berisik sekali." Sontak Mika memegangi perutnya, langsung merasakan perutnya bergolak minta diisi. "Gue nggak ngasih roti itu cuma-cuma, ya." Mika menyusul berdiri. "Ada Seblak enak di depan, pulang sekolah nanti lo harus traktir gue." "Kamu ngasih gue roti seharga tiga ribu, dan kamu minta ganti Seblak seharga 20 ribu?" Mika mendelikkan bahu tak peduli. Mika meninggalkkan senyum, sebelum melangkah pergi. Leo memandangi punggung Mika. Fisik gadis itu memang banyak berubah, tapi tidak dengan karakternya. Tetap ceria, polos, dan cenderung tidak tahu malu. Tanpa sadar Leo tersenyum tipis. Ponsel di saku celananya bergetar. Sebuah pesan masuk dan Leo tak menunggu waktu lama untuk segera membukanya. Nanti aku tunggu di depan sekolahmu. I miss you *** "Pulang sekarang, Non?" "Bapak jalan-jalan kemana gitu dulu, aku ada perlu sebentar. Nanti sekitar sejam Pak Mul balik lagi, atau enggak nanti aku telpon, deh." Supir yang ditugaskan Sadin mengawasi Mika menurut saja, karena kebetulan matanya sedang sepat akibat belum minum kopi. Ada warung kopi di dekat sini, ia akan menunggu disana saja. Dari pelataran sekolah, Mika berlari ke kelas, berharap Leo masih belum keluar dari sana. Mika tepat waktu, saat itu Leo baru saja keluar. "Lo nggak lupa hutang lo, kan?" "Hutang apa?" Mika mengeram kesal. Entah benar-benar tak tahu atau pura-pura tak tahu."Ganti roti gepeng gue. Seblak." "Aku nggak bisa." Leo mulai berjalan lagi. "Lagipula aku nggak pernah ngomong janji." "Hey, mana bisa seperti itu?" Mika mengikuti ritme jalan Leo yang cepat. "Leo..." Leo merasa risih jadinya. "Apaan sih, Mika. Besok aku ganti, jadi berhenti ngikutin aku." Mika berhenti, menatap punggung Leo hampa. Dulu sewaktu kecil sepertinya suara bentakan Leo terdengar menyenangkan, tapi kenapa sekarang jadi menyeramkan. Dadanya terasa... sakit. Sedikit. "Modusnya gagal ya?" Tanpa Mika sadari seorang pemuda berkulit kecokelatan berdiri di belakangnya dengan seringaian khas yang dimilikinya, perpaduan antara mengejek dan puas. Pemuda itu melangkah pelan-pelan ke hadapan Mika dengan tawanya yang mengejek. "Kasihan, padahal udah jatuhin harga diri supaya mau diajak makan Seblak." "Lo nguping?" "Kuping gue denger sendiri." "Minggir sana deh, muka lo bikin gue mules." Mika berjalan cepat meninggalkan Marco, sambil berusaha menghubungi sopirnya. Mika tak tahu dan sepertinya tak akan peduli kalau di seberang sana Pak Mulyo baru menghirup aroma kopi saset yang dibelinya, belum sempat meminum ketika sang Nona Muda menelpon. Pak Mulyo memang bekerja untuk Mika, tapi kalau perintah Mika tidak jelas, ya kan merepotkan. Tak lama Mika menunggu, Pak Mulyo datang. Mika segera masuk. "Langsung pulang, Pak. Cepat, saya capek." Mika menyandarkan punggung, kepalanya di tolehkan ke samping. Memasuki kompleks rumah, sebuah mobil lain juga masuk melewati portal pengamanan. Mobil itu berjalan di depan mobilnya. Dan, berhenti di rumah di seberang rumahnya. Mobil Icha, tentu saja Mika tahu meskipun Icha sering ganti mobil setiap 3 bulan sekali rasa-rasanya. Seketika Mika menenggakkan tubuhnya mengetahui siapa yang baru keluar dari sana. Bukan Icha dengan barang yang sama denganya, melainkan pemuda yang keluar bersamanya. Mika mengedipkan matanya, berkali-kali, bahkan sampai mengucek barangkali ada debu sebesar kepalan tangan yang mengganggu pandangannya. Tapi yang dilihatnya masih sama. "Leo?" Sumpah, Mika tak bisa percaya ini. Kenapa Leo bisa satu mobil dengan Icha? Kenapa Leo dan Icha gandengan tangan? Kenapa Leo tersenyum pada Icha?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN