18 | Kok Deg-degan, ya?

1211 Kata
Mikayla memulai hari dengan tidak bersemangat, selain karena kejadian kemarin, tepatnya saat Icha membeberkan ke semu orang bahwa Mika adalah anak hasil hubungan remaja di luar nikah yang pastinya akan mengubah pandangan dan mungkin juga perlakuan teman-teman terhadapnya. Terlebih kemarin banyak yang melihat saat Icha ‘mengemis maaf’ tapi Mika mengacuhkannya. Juga, karena hari ini ia dan teman-teman band-nya harus mendiskusikan masalah perekrutan member baru sebab Mika resmi gagal mengajak Marco bergabung. Mereka harus mendapat personil baru secepatnya agar mereka tetap bisa ikut festival. Sangat disayangkan memang, tetapi Mika tidak bisa memaksa Marco sebab Mika tidak tahu situasi apa yang tengah Marco hadapi, mungkin saja putus sekolah adalah solusi terbaik untuk situasi cowok itu. Benar saja, saat tadi Mika masuk ke dalam kelas, ia mendapati sekelompok temannya bicara bisik-bisik sambil sesekali melirik-lirik ke arah Mika. Mika berusaha tidak peduli. Mika berusaha menjaga kepercayaan dirinya dengan menanamkan sugesti bahwa tidak ada manusia yang benar-benar suci, orang-orang yang memandangnya rendah itu hanya beruntung karena aib mereka masih Tuhan tutupi. “Gue butuh penjelasan, ke mana lo kemarin sampai suruh gue bohong.” Aninda menyambut Mika dengan todongan pertanyaan. Mika menaruh tas ranselnya dari gencongan punggung sambil menyengir. “Lo akan kaget kalau tahu,” jawab Mika misterius. “Siapa? Astaga, jangan-jangan lo ngedate sama cowok?” pekik Aninda tertahan dengan tampang curiga tapi juga tak percaya di saat yang sama. “Ih, bukan ngedate, tapi emang sama cowok sih.” “Siapa?!” Aninda mencubit lengan Mika saking gemasnya. “Tunggu, jangan bilang kalau itu … Leo?” Aninda cukup tahu tempat, saat menyebutkan nama Leo, dia mendekatkan bibirnya ke telinga Mika. Mika sontak melotot kaget. “Ya enggak lah, gila aja!” Mika menampik tegas. “Masa gue jalan sama dia, setelah ceweknya mengumbar aib keluarga gue?” “Justru itu, siapa tahu, kan?” Mika mengernyit tak mengerti. “Siapa tahu dia merasa bersalah dan mewakili ceweknya buat minta maaf, terus kalian makan bareng. Secara lo kan pernah berharap—“ “Tolong, Nin, nggak usah sebut-sebut nama dia lagi. Bikin males tahu, nggak?” “Jadi, udah nggak naksir dia lagi?” Mika memutar bola mata malas. “Gue mau naksir cowok lain, di dunia ini masih banyak cowok jomlo." "Bener? Siapa yang waktu itu bilang, 'tapi maunya yang kayak Leo'." Aninda mengulangi kalimat yang pernah diucapkan Mika itu, lengkap dengan rengekan manjanya. "Terus siapa yang bilang kalau gue cuma terjebak nostalgia?" balas Mika, mengembalikan ucapan Aninda waktu itu. Mika menghela napas. "Kayaknya lo benar, gue nggak cocok sama cowok kayak Leo. Dia kan sebelas dua belas sama Pak RT Darren, terlalu lurus dan sok cool. Pasti ngebosenin abis." Aninda tertawa. "Terus cowok kayak gimana yang cocok sama lo?" "Yang kayak—" Ucapan Mika terjeda sebab mendengar suara ribut-ribut di depan kelas, Mika menoleh penasaran apa yang terjadi. "Marco." "Kayak Marco?!" pekik Aninda lepas kendali. Tersadar akan ucapan refleksnya, Mika memukul Aninda sambil melotot. "Bukan itu maksud gue, tapi gue kayak dengar suara ketawanya Marco." "Hah?" Sejurus kemudian segerombolan kecil siswa masuk, ada Vino dan Ryan masuk ke kelas, dan di tengah-tengah mereka ada Marco. Mika sampai mengedipkan mata beberapa kali, takut salah mengenali. Yakin tidak ada masalah dengan pandangannya, Mika sama sekali tidak sadsr kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman lebar. Tadinya ia pikir tidak akan ada yang menarik yang terjadi hari ini, tapi ternyata ia salah. Mika mendadak bersemangat hanya karena dapat melihat kembali Marco di kelas dan menggunakan seragam sekolah. Ekspresi Mika itu tak luput dari perhatian Leo. Dari bangkunya, Leo melihat ke arah Mika. Di antara semua orang, Mika terlihat menjadi yang paling bahagia melihat Marco kembali sekolah. *** "Lo sekolah lagi karena omongan gue?" tanya Mika percaya diri. Ia menghampiri Marco yang tengah istirahat di pinggir lapangan basket, usai bermain dengan teman-temannya yang lain. "Gue bahkan lupa lo kemarin ngomong apa," jawab Marco acuh tak acuh sambil mengibas-ngibas kerah bajunya, agar ada angin segar masuk ke kulit dadanya. Mika mebdecakkan remeh, tapi senyum bangga tak luput dari wajahnya. "Iya, sih, kalau gue jadi elo, gue juga pasti bakal gengsi mengakui." Mika duduk di sebelah Marco tanpa permisi. "Kembali sekolah adalah keputusan tepat, Co." Marco mendengkus dengan senyuman tertahan di bibir. "GR banget lo," cibir Marco. "Gue masuk lagi karena ini satu-satunya cara gue bisa tinggal sendiri tanpa direcoki dia lagi kayak gue ini buronan." "Maksudnya bokap lo?" Mika memastikan. Sejujurnya, agak tidak menyangka juga Marco akan menyinggung sedikit tentang gambaran kondisi keluarganya. Marco hanya menjawabnya dengan gumaman kecil. "Emang kenapa lo nggak mau tinggal di rumah?" tanya Mika lagi, berpikir mungkin Marco mulai mau membuka diri setelah kebersamaan-kebersamaan singkat yang mereka lewati bersama. Marco melirik Mika sesaat tanpa mengatakan apa-apa, lalu menghela napas panjang. "Karena gue bukan tuan putri kayak lo yang nggak bisa hidup sendirian di luar istana," jawab Marco asal-asalan. Giliran Mika yang menghela napas, apa yang ia harapkan dari seorang Marco? Dari perangainya saja sudah kelihatan dia bukan orang yang akan deep talk dengan sembarangan. "Ya udah lah, terserah. Jadi apa ini artinya lo mau gabung ke Naranada?" "Itu nama bandnya?" "Lah? Lo nggak tahu?" Mika tak habis pikir. Sekolah mereka hanya punya satu grup band, di mading-mading juga ada poster tentang Naranada. Bisa-bisanya Marco bereaksi seolah baru pertama kali mendengar nama grup band sekolahnya sendiri. "Oh, habisnya itu lebih mirip nama grup dangdut." "Apa?!" Mika melotot berlebihan. "Emang nggak ada yang bilang?" "Tapi ya nggak dangdut juga, Co." Mika mendengkus kesal, bagaimana ia harus mengatakannya? Ia akui nama bandnya memang agak ketinggalan jaman. Di saat band-band lain dinamai menggunakan bahasa asing, atau istilah-istilah yang memiliki nilai filosofis, bandnya harus memakai nama warisan dari angkatan-angkatan sebelumnya. Jika pada abad 22 sekolah ini masih berdiri, barangkai nama band sekolahnya tetap Naranada. Marco tertawa tanpa suara melihat ekspresi lucu di wajah Mika, saat itulah terdengar seruan dari tengah lapangan dan Marco mendapati sebuah bola basket melambung lurus ke arah Mika. Refleks, Marco bergerak membungkuk di depan Mika. Sedetik kemudian bola itu menghantam punggung Marco. Mika menganga dengan apa yang barusan terjadi. Suara hantaman bola mengani punggung Marco terdengar kencang, bisa dibayangkan bagaimana rasanya jika bola itu menghantam kepalanya. Tetapi, yang sebenarnya membuat Mika terpaku adalah gerak refleks Marco dan bagaimana wajahnya kini berhadapan lurus dengan wajah Marco dengan jarak cukup dekat. Mika merasakan jantungnya berdebar kencang dan tiba-tiba malu. Untungnya, Marco segera bergeming dari posisi itu. Dia melemparkan bola basket itu ke teman-temannya yang berseru melihat aksi heroiknya barusan. "Kalau mau nonton jangan di sini. Sana, gue mau main lagi," ujar Marco sesaat sebelum membalikkan badan untuk pergi. "Marco." Panggilan Mika menghentikan gerak Marco. Mika menelan ludah. Tadi ia tidak memperhatikannya, dan entah mengapa pula sekarang ia jadi memperhatikan penampilan Marco. Ujung kemeja seragamnya dikeluarkan dari celana, dua kancing atasnya terbuka, serta wajahnya yang berpeluh nembuat cowok itu terlihat menarik alih-alih jorok. Mika berdehem, usahanya untuk mengatasi perasaan aneh ini. "Lo mau kan gabung di Naranada?" Marco tampak berlagak berpikir sebentar. "Gue mau lihat penampilan kalian dulu sebelum mutusin," Marco menjawab sambil lari ke tengah lapangan. Mika mendesah dengan bahu terkulai lemas mengikuti tiap gerak Marco dengan matanya. Ada sekitar delapan cowok berseragam berantakan dan keringatan di tengah lapangan itu, tapi tatapan Mika terkunci hanya pada Marco seorang. Mika memegangi dadanya, dengan tatapan masih terkunci pada Marco. “Kok gue deg-degan, ya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN