iparku

1295 Kata
Sebenarnya aku paham syariat agama dan bagaimana hukum yang mewajibkan tentang perkara ahli waris dan nafkah bagi anak-anak yatim yang sudah kehilangan ayahnya. Aku mendukung hal tersebut, tidak keberatan sama sekali karena apa yang sudah ditetapkan agama, pasti ada maslahatnya untuk keluarga besar kami serta anak-anak yang ditinggalkan. Sejak meninggalnya Mas Hilman, suamiku, Mas Arman, beliaulah yang bertanggung jawab untuk menafkahi janda kakaknya, Aruni. Wanita itu sepantaran denganku, umur dua puluh sembilan tahun, dan punya anak laki laki yang kini duduk di bangku TK, setara dengan anakku yang sulung. Tadinya kehidupan keluarga kami baik-baik saja, tapi perlahan semuanya berubah seiring dengan berjalannya waktu, seiring dengan bertambahnya beban dan tanggung jawab suamiku untuk menafkahi dua keluarga. Keluarga kami dan keluarga janda kakaknya. Sebenarnya aku ingin bertanya pada diriku sendiri, mengapakah harus suamiku saja yang menafkahi wanita itu, padahal dalam keluarga mertua kami ada 4 anak laki-laki dan 2 perempuan. Mengapa harus kami yang jadi penopang utama? mereka memang membantu tapi tidak serutin suamiku, yang selalu perhatian dan memberikan uang belanja setiap bulannya. Sejujurnya kami tidaklah begitukah kaya, mas Arman hanya pegawai kantoran dengan gaji standar, namun tanggung jawab yang begitu besarlah yang telah membuatnya tidak melupakan kewajibannya sebagai paman. * Semuanya bermula saat kutemukan chat obrolan mereka, sesaat setelah suamiku menjemput keponakannya dari sekolah. Dia murka karena wanita itu membiarkan anaknya pulang sendirian, sementara dia pergi entah ke mana. "Kemana kau?" "Lagi lamar kerjaan, kenapa?" "Dan kau biarkan anak itu sendirian!" "Aku bisa apa? toh rumahnya dekat juga!" "Anakmu sudah kehilangan bapaknya jadi jangan sampai dia kehilangan peran ibunya." "Jadi, apa aku harus duduk-duduk saja, sementara aku dan Gilang kelaparan?" "Aku adalah keluarga dari ayahnya. Jadi kami yang akan bertanggung jawab." "Emangnya apa yang bisa kau lakukan, aku juga punya keperluan sendiri, apa kau bisa mencukupinya?" Gaya hidup Aruni memang sedikit berbeda dari kami, hedon dan bergaya, kabarnya ia agak boros, hobi jalan-jalan dan pergi ke salon, seiring dengan kesukaannya, semuanya tercermin dalam diri wanita itu, baik dari penampilan, pakaian dan wajahnya, gaya hidupnya sangat mahal. "Tentu saja, setidaknya sampai anakmu tumbuh sedikit besar dan bisa mengurus dirinya sendiri!" "Oh ya, apa kau yakin bisa?" "Tentu! Allah pasti akan mencukupkan rezeki bagi keluargaku dan keluargamu!" "Jangan terlalu baik, istrimu bisa keberatan." Sepertinya dia menangkap perasaan seorang wanita terlebih aku memang sedikit tidak setuju, tapi di atas semua keberatanku itu, kami memiliki kewajiban yang disyariatkan agama. "Istriku wanita solehah yang selalu mendukung suaminya, kurasa untuk tanggung jawab dan kewajibanku dia tidak akan keberatan." "Apa kau bisa membayar harga skincare-ku?" "Berapa kau butuhkan, akan kukirimkan uangnya sekarang!" Dan setelah itu aku tidak membaca percakapannya, karena saat itu anakku memanggil dan aku harus segera mengantarnya ke sekolah. Meski aku menyimpan perasaan ragu bahwa Mas Arman bisa mencukupi kami semua tapi ada keyakinan dalam diriku bahwa suamiku mengerti batasan dan aturannya, aku yakin dia akan memprioritaskan keluarga dan anaknya sebelum ia melayani keluarga orang lain. * "Bagaimana menurutmu jika aku bantu aruni untuk membesarkan Gilang?" Malam itu, di atas tempat tidur kami Mas Arman langsung bicara padaku. "Tidak masalah Mas, itu memang kewajiban kita. Namun kau harus pastikan prioritasmu!" "Iya, Sayang, tentu saja aku mengerti tanggung jawab dengan prioritasku." "Kau juga harus menjaga jarak pada Kakak iparmu. Meski dia seumuran denganku tapi tetap saja kita harus beradab menghadapinya, kau harus jaga jarak karena ipar itu adalah maut!" Suamiku tertawa mendengar perkataanku, dia merengkul bahu dan menggenggam tangan ini lalu menciumnya. "Kalau untuk cemburu... kau tidak perlu khawatir, tidak ada yang bisa mengalahkanmu di hatiku. Dan meski Mbak aruni cantik, kau tetaplah yang tercantik di mataku. Jadi, aku mengerti adab dan aturannya." "Terima kasih kalau begitu Mas." "Jangan ada keraguan, Hanifah. satu-satunya yang harus kau letakkan di hatimu hanya keikhlasan. Semoga Allah mengganti apa yang kita berikan ke dalam rezeki yang lebih besar." "Aaamin." Menutup percakapan itu, aku dan dia saling memeluk lalu kami menghabiskan malam yang indah dengan penuh kedamaian cinta. ** Setahun berlalu, dan suamiku masih tetap pada tanggung jawabnya menafkahi anak kakaknya, juga menyantuni uang belanja untuk kakak iparnya yang cantik. Hubungan kami secara pribadi baik-baik saja, jika ada pertemuan keluarga aruni selalu datang membawa anaknya, karena anak itu adalah yatim, jadi keluarga besar selalu memprioritaskan dan memberikan kasih sayang lebih dibandingkan dari anak-anak saudara yang lainnya. Hubungan kami harmonis tidak ada rasa dengki, iri dan hasad, apapun jika menyangkut maslahat keluarga, maka kami keluarga besar selalu berembuk, saling bertukar pikiran dan setuju pada kesimpulan yang sama. Jadi semuanya baik-baik saja. * "Aku ada pengajian minggu depan dan itu butuh seragam baru, aku harus beli gamis dan jilbab yang sama dengan teman temanku, aku pinjam uangmu!" Itu adalah pesan yang terbaca tanpa sengaja saat aku membereskan handuk bekas mandi suamiku dan kebetulan di dekat handuk itu ada ponselnya. "Berapa yang kau butuhkan?" "Satu juta." Seketika darahku berdesir, jantungku berdegup kencang kaget tapi lebih banyak kesal karena sebagai istrinya saja aku tidak pernah minta gamis seharga satu jutaan. "Mengapa harus semahal itu? Kau tahu kan keadaanku? Skala prioritasmu juga harus kau pikirkan, jika itu tidak terlalu urgent, maka kau bisa skip dulu!" Itu adalah balasan suamiku untuk kakak iparnya, karena aruni lebih muda jadi mereka bicara dengan kasual saja. "Apa?! Jadi sekarang kau keberatan? Bukannya kau sendiri yang memintaku untuk lebih banyak menjaga anakku dan tidak bekerja apalagi meninggalkannya jauh-jauh! Sekarang saat aku minta sesuatu kau malah memarahiku!" Wanita itu balik memarahi suamiku, sikapnya seakan Mas Arman adalah suaminya sendiri, sampai dia tidak sungkan-sungkan minta sesuatu yang seharusnya itu adalah barang tersier. "Aku hanya mengingatkanmu." "Makanya aku sudah bilang kan biarkan aku bekerja dan kutitipkan anakku di daycare! Mereka akan mengurusnya dengan baik dan aku bisa membangun karir dan tidak membebani dirimu serta keluarga besar kalian!" "Jangan begitu perkataanmu seakan-akan kau ingin memutus hubungan dengan kami! Bagaimanapun Kami tetap bertanggung jawab." "Kalau begitu kirimkan saja aku uangnya Dan bila kau tak sanggup maka jangan cegah aku untuk bekerja!" Dan tak lama setelah itu ada bukti transfer sebanyak Rp.1.500.000 ke rekening wanita itu. Jujur dadaku langsung sesak melihat bukti transferan itu. Kesal bukan main geram tapi aku tidak makan menyalahkan suamiku. Malah yang pantas kubenci adalah wanita yang tidak tahu diri itu. Dan setelah aku baca percakapannya ke bawah, ada banyak hal-hal yang diminta pada suamiku, seperti biaya jalan-jalan bersama teman reuni, biaya jalan-jalan dia dan anaknya di akhir pekan, biaya listrik dan air, termasuk uang jajan dan skin care wanita itu yang nominalnya membuatku tersengal-senga. Astaghfirullah, aku yang berusaha berhemat dan mengerem kebutuhan rumah tangga, sementara dia yang lebih banyak menikmati hasil kerja dan keringat suamiku. Aku berjumpa aku harus menghentikan semua ini sampai di sini saja. "Mas ku rasa sudah waktunya membiarkan wanita itu bekerja kau sudah terlalu banyak membantunya sementara kita juga punya kebutuhan sendiri." "Apa maksudmu?" "Aku juga ingin membeli beberapa barang renovasi rumah dan mobil kita," balasku. "Aku mengerti keresahanmu, tapi aku bisa menanganinya." "Permintaan Wanita itu sudah keterlaluan Mas, bisakah seseorang yang berwibawa mengingatkannya agar tidak terlalu menekanmu. Bahkan aku sendiri sebagai istrimu tidak pernah meminta sesuatu yang memberatkan. Bisakah kau mengurangi sedikit saja?" "Iya, tentu saja." "Jangan sampai perhatian pada keluarga dan nafkah yang seharusnya untuk kami lebih banyak untuk mereka! Ingatlah Mas ada Istri dan anakmu yang lebih membutuhkan perhatianmu." "Aku tahu, Hani, aku mengerti." Tapi semakin berusaha untuk semakin mengingatkan wanita itu, semakin menjadi-jadi saja permintaannya, bahkan sekarang ia jadi lebih manja. Beberapa hari kemarin dia bahkan meminta suamiku untuk mengantarkannya keluar daerah demi bertemu dengan teman-teman reuninya yang sedang mengadakan acara di sebuah hotel di pinggir pantai. Suamiku terpaksa mengantarnya dan tidak jadi pergi jalan-jalan bersamaku dan anaknya. Oh, aku bener-bener sesak hati dan tidak tahu harus bicara apa. Bila aku menghubungi dan memarahi wanita itu tanpa izin suamiku, maka aku akan disebut ikut campur dan itu pasti akan menciptakan konflik di dalam rumah tangga kami. Tolonglah aku harus bagaimana??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN