Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.
Ya Allah, Devit juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti, pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara.
"Maaf Juwi, Bu. Saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas.
"Pak Devit gak papa?" tanya Juwi keheranan.
"Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.
Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan.
"Ya Allah Wi, Ibu jadi ga enak sama Devit. Gara-gara kita, dia lupa ada urusan dengan calon istrinya."
Juwi tak tahu harus komentar apa, saat ini perasaannya pun menjadi tak enak dengan Devit. "Semoga calon Pak Devit gak marah ya, Bu. Juwi jadi takut," gumamnya pelan. Bu Nurmi mengaminkan dalam hati.
****
Devit sudah berada di depan sebuah rumah cukup besar, dalam komplek perumahan elit. Taksi menurunkannya tepat di depan rumah Sarah. Sambil mengucapkan salam, Devit bertemu dengan penjaga rumah lalu menyampaikan maksud kedatangannya.
Penjaga tersebut mempersilakan Devit masuk setelah mengonfirmasi ke dalam rumah melalui pesawat telepon.
"Assalamualaikum," ucap Devit berdiri di depan pintu rumah Sarah. Pintu tersebut sedikit terbuka, tak lama tampaklah seorang gadis cantik dengan gamis ungu dan kerudung panjangnya, membuka lebar pintu rumahnya untuk Devit.
"Wa'alaykumussalam," sahutnya dengan nada suara lemah. Devit semakin merasa bersalah.
"Masuk, Kak," jawab Sarah. Kemudian mempersilakan Devit duduk di sofa besar ruang tamu. Sarah duduk di seberang Devit sambil memilin ujung kerudungnya, raut wajahnya sedih juga kecewa.
"Maaf Sar, Kakak tadi..."
"Sebentar saya buatkan minum dulu," sela Sarah lalu berjalan ke arah dapur. Hati Devit semakin was-was. Sarah kembali dengan dua cangkir kopi dan kue brownis keju buatan Sarah, yang memang khusus ia buat untuk Devit.
" Silahkan, Kak."
Devit mengangguk canggung.
"Sekarang, Kakak bisa jelaskan kenapa kakak tidak menepati janji hari ini?" ucap Sarah tegas tanpa menatap wajah Devit. Setelah Devit menyeruput kopi buatan Sarah
"Begini, tetangga yang punya kontrakan saya, anaknya sakit panas, sampai kejang. Sehingga saya membantu mereka. Karena terburu-buru, saya juga melupakan ponsel. Jadi ini saya dari rumah sakit langsung ke sini, saya tahu kamu pasti kecewa, tapi semua diluar kendali saya, Sar.
Tetangga saya orangnya baik dan memang ekonominya pas-pasan. Jadi saya menolong mereka, tolong maafkan saya ya," terang Devit dengan menatap gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya dengan tatapan bersalah.
"Baiklah, Kak. Saya maafkan. Tolong hal seperti ini jangan diulangi lagi. Kecuali kakak memang tidak berniat meneruskan acara pernikahan kita," ucapan Sarah begitu menusuk ke hati Devit.
Iya dia tidak boleh lagi bermain-main dalam mempersiapkan pernikahan mereka.
"Baik, Sar. Insya Allah saya akan usahakan tidak gegabah lagi dalam hal apapun, dan memprioritaskan persiapan acara kita." ucap Devit penuh kelegaan saat raut wajah Sarah berubah teduh. Inilah salah satu yang membuat Devit menyukai Sarah. Gadis yang tidak suka berbasa-basi, tidak lebay dan apa adanya. Meskipun dari kalangan berada, namun Sarah tetap rendah hati.
"Mah...Kak Devit dan Sarah mau ke butik tante, ayo temani, Ma!" ucap Sarah ketika masuk ke dalam kamar mamanya.
"Emang Devit datang?" tanya mamanya heran. Sarah mengangguk. "Kak Devit membantu tetangganya dibawa kerumah sakit mah, dan ponselnya tertinggal. Jadi dia tidak sengaja lupa akan janjinya." terang Sarah pada mamanya.
"Oh, ya sudah. Tunggu sebentar Mama bersiap."
Kini Devit dan Sarah sudah berada disebuah butik langganan mama Sarah. Devit dan Sarah memilih beberapa model. Pakaian yang akan dipakai saat akad maupun resepsi. Sarah memutuskan untuk membuat gamis brukat putih tulang dengan hiasan swaroski. Devit juga sudah memilih jas dan beskap dengan warna senada.
Sarah melirik sekilas saat Devit mencoba pakaiannya. Sarah merona, betapa gagah calon suaminya. "Masya Allah," gumamnya di hati. Devit tahu Sarah memperhatikan dirinya, Devit menutupi senyumnya. Setelah selesai fitting baju, Devit mengajak Sarah dan calon mertuanya makan di sebuah warung lesehan di sebuah mall. Saat adzan magrib berkumandang, Devit pamit sholat di musholla yang berada dalam mall tersebut, dilanjutkan oleh Sarah dan calon mertuanya.
Selesai sholat, mereka makan malam bersama, sambil sedikit membicarakan perihal undangan yang sudah siap cetak, setelah beberapa hari lalu Devit menyetujui design undangan tersebut.
Teman-teman kampus, para dosen, keluarga, dan beberapa teman SMA Sarah diundang, begitu juga dengan teman-teman dari orangtua Sarah. Ada beberapa pejabat penting juga yang diundang. Mengingat papa Sarah adalah seorang camat.
Devit berpisah dengan Sarah di restoran, Devit naik taksi online, pulang ke kontrakannya. Sedangkan Sarah dan ibunya kembali ke rumah dengan mobil mereka. Devit memandang langit-langit kamarnya, bagaimana ia bisa ceroboh seperti ini melupakan janji dengan Sarah.
Beep..bep..
"Pak Devit baik-baik saja?"
"Maaf kalau saya dan ibu serta Caca sudah sangat merepotkan Pak Devit."
Devit membaca pesan WA yang dikirim oleh Juwi.
"Tidak apa-apa Juwi, bagaimana Salsa sudah sehat?"
"Sudah Pak, Alhamdulillah. Sekarang sedang menonton TV."
"Baiklah, saya mau istirahat dulu ya, besok saya ke rumah sakit."
"Iya Pak, terimakasih."
Selesai Devit membaca balasan terakhir dari Juwi Devit pun menutup matanya, rasanya hari ini begitu lelah.
Esok harinya Devit menjenguk Salsa, bersama dengan ibu-ibu tetangga lainnya. Juwi terlihat sangat gembira menyambut kedatangan tim mak mak rempong kampungnya. Aneka makanan dan buah dibawa oleh tetangga Juwi. Devit hanya mesem-mesem saja melihat ibu-ibu begitu heboh bercerita dengan Juwi.
"Wi, tau gak? si mamang jarpit ternyata udah punya istri lho." ucap Bu Fitri.
"Oh ya, kok mpok tahu?" tanya Juwi datar.
"Waktu malam minggu itu mamang jarpit ke warung lo, trus nanya-nanya sama Bu Nana. Beuh, udah rapi Wi. Pake kemeja kotak-kotak merah sama celana bahan warna coklat. Rambut belah pinggir, klimis, bau minyak kemiri," terang Bu Fitri sambil terbahak. Ibu-ibu yang lain tertawa
"Ha ha ha ...," begitu juga Devit yang dengan seksama mendengarkan.
"Mau ngapain ke rumah gue, Mpok?"
"Katanya mau ngapelin janda muda," sahut Bu Nana.
Juwi tertawa geli. "Udah gitu gak lama, datang perempuan hitam manis gemuk kayak saya, mamang Jarpit dia jewer kupingnya. Kata perempuan itu. "Bagus lu ya...pamitnya rapat RT, rupanya lu ke rumah si Juwi. Pulang ga lo!" terang Bu Fitei tidsk kalah seru. Menirukan omongan istri mamang jarpit. Semua tertawa begitu juga Devit.
"Untung saya ga di rumah ya Mpok, kalau gak mah, bisa berabe." Juwi terkekeh.
"Pak Devit dari tadi senyam senyum aja, lagi mikirin apa pak?" celetuk seorang ibu.
"Pak Devit lagi mikirin dikit lagi belah duren," ledek Bu Nana.
"Kapan Pak Devit?" tanya Bu Nur.
"Empat puluh lima hari lagi," ucap Devit dengan wajah bersemu merah. Juwi memperhatikannya sambil tersenyum hambar.
"Juwi patah hati deh," ledek Bu Nana sambil mencolek pundak Juwi.
"Dih, ngapa jadi saya?" Juwi menanggapi dengan sedikit kikuk.
"Permisi Ibu-ibu, waktu berkunjung habis!" ucap petugas keamanan lorong rumah sakit. Akhirnya ibu-ibu bubar setelah berpamitan pada Juwi dan Salsa. Devit masih menunggui Salsa saat Juwi mengantar ibu-ibu ke lobi rumah sakit.
"Emang Pak Gulu mau jadi penanten?" tanya Salsa dengan wajah polosnya.
"Hehehe ... iya Ca." Devit tersenyum mendengar ucapan Salsa. Namun seketika wajah Salsa murung.
"Caca kenapa?"
"Caca cedih."
"Kok sedih?" Devit memangku Salsa.
Caca menggelengkan kepala.
"Caca pengen punya papa tayak pak gulu, pinte naji tama catep." ucap Salsa sambil menatap wajah Devit penuh kekaguman.
"Aamiin," ucap Devit. Juwi masuk melihat pemandangan yang begitu indah. Salsa di pangku Devit dengan wajah gembira.
Cepat Juwi mengambil ponsel dari kantong celananya, lalu memotret Salsa dan Devit, tanpa diketahui keduanya.
****
Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, hari ini Salsa sudah diperbolehkan pulang. Tadi pagi Devit sudah menyelesaikan biaya pengobatan Salsa. Juwi membawa pulang Salsa dengan taksi online bersama dengan ibunya. Devit tak bisa menunggui sampai siang karena harus mengajar pagi.
Malam harinya, rumah Juwi kedatangan tamu membawa sebuah mobil sedan. Devit tak tahu siapa, ia hanya bisa mengintip dari jendela. Tak lama berselang Juwi dan Salsa berpakaian rapi, masuk ke dalam mobil tersebut bersama seorang pria tinggi tegap. Hanya saja Devit tak begitu jelas melihat wajahnya. Masih di depan jendela Devit memperhatikan mobil tersebut hingga hilang dari pandangannya. Tiba-tiba sudut hatinya resah, seperti merasa tak rela. Devit menggelengkan keras kepalanya. Tidak! ia bukan cemburu.
Sudah pukul sembilan, dua jam sudah Devit menunggu Salsa dan Juwi kembali. Namun belum juga orang yang ditunggu tiba. Devit kian resah, memegang ponselnya dengan gemetar. Memencet nomor Juwi. Dua kali Devit mencoba menghubungi Juwi namun tak diangkat. Devit keluar rumah duduk di kursi bambu kecil depan terasnya.
Padahal sedang gerimis membuat udara dingin. Namun bagi Devit hatinya terasa panas dan gerah. Saat menyaksikan Salsa turun dari mobil dalam gendongan pria tersebut. Diikuti Juwi di belakangnya. Tampak wajah bahagia ketiganya. Devit seakan tak terima.
"Astaghfirulloh ... jangan bilang saya cemburu," gumamnya dalam hati, hati yang panas.
Bersambung