Calon Imamku Episode Sepuluh
Dalam sebuah kantin sekolah, Tanvir membawa kakaknya dan memesankan semangkuk bakso. Sekali pun harganya murah, tapi memang adanya jenis makanan itu, kalau ingin makanan mewah maka harus keluar dari kampus dan kerestoran. Sebenarnya ia merasa sangat tidak enak hati, karena bagaimana pun juga sang kakak adalah Owner ZEM yang artinya Zein Ekky Maulana.
"Kak, maaf ya? Aku hanya memesankan semangkuk bakso dan es teh, hanya ada ini di kantin ini. Lainnya hanya makanan ringan," katanya tidak enak hati.
Zein tersenyum tipis, ia sama sekali tidak mempermasalahkan makanan yang ada di depannya, selagi itu halal maka baginya itu pantas untuk dikonsumsi.
"Surat Luqman Ayat 12 وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Apapun yang Allah berikan hendaklah kita selalu bersukur, makanan yang kamu berikan ini juga merupakan rizky dari Allah, hanya saja melalui perantaramu. Karena itu kamu jangan merasa tidak enak hati, karena kakak merasa ini lebih dari cukup," katanya lembut dan sabar.
Tanvir mengangguk."Kak Zein, apa yang kakak katakan memang benar, kita harus selalu bersukur dengan apapun rizky yang Allah berikan. Tapi … kenapa kakak mengenakan baju seperti ini? Kakak habis dari pengajian?" tanyanya penasaran.
"Bukan, aku dari rumah nenek dan langsung ke sini. Aku memang selalu mengenakan baju seperti ini kalau di sana, nenek bilang aku mirip Ayah. Dulu kalau sedang di rumah, Ayah jarang mengenakan jas atau kemeja, Ayah lebih suka menggunakan baju taqwa atau jubah seperti ini," jelas Zein memperhatikan penampilannya.
"Tapi … baju kakak mirip dengan jubah orang Arab zaman dulu, hanya saja baju luar kakak lebih tipis hingga mirip baju kerajaan orang mandarin zaman dulu." Tanvir ikut mengamati penampilan kakaknya, hanya saja baju pria itu tidak terlalu panjang hingga menyapu lantai, hanya di atas mata kaki saja.
Zein tersenyum tipis menanggapi ucapan adiknya, ia sama sekali tidak merasa emosi atau keberatan dengan tanggapan seperti itu, karena setiap manusia bebas untuk memberikan pendapat tentang orang lain hanya saja jangan terlalu mengatur.
"Sudalah, bagaimana ZEM? Kenapa seorang yang sudah tamat S3 masih menempuh kuliah sarjana? Apakah tidak malu dengan umur yang sudah tiga puluh tahun?"
"ZEM diurus Ayah, aku kan sudah bilang pada kakak. Ayah menyuruh ku mencarikan menantu untuknya, sepertinya Ayah tidak suka dengan pegawai kantoran. Ayah lebih suka kalau aku memiliki seorang istri seperti Ibu, yang hanya diam di rumah, mengaji, sholat, masak dan menyiapkan kebutuhan Ayah, sekaligus bawel dan suka dijahili," jawab Tanvir sambil mengaduk-ngaduk bakso yang ada di mangkuk, ekspresi kesal sudah tidak dapat lagi untuk dihindarkan.
"Tanvir, aku yakin niat Ayah itu baik. Karena memang kewajiban seorang suami memberikan nafkah untuk Istrinya, dan seorang Istri itu lebih baik di rumah dan menunggu suaminya pulang, menyambutnya dan melayaninya. Lagi pula … bukankah kamu tidak kekurangan uang sama sekali?" balas Zein menghibur adiknya, terkadang Ayah memang selalu berpikir apa yang terbaik untuk anaknya bukan apa yang diinginkan sang anak.
"Tapi kak, kalau nanti Istriku ingin kerja bagaimana?" balas Tanvir masih bingung dan tidak mengerti.
"Kamu izinkan saja, asal semua pekerjaan rumah sudah beres. Misalnya seperti menyiapkan makanan untuk mu, sekalipun kamu bisa menyewa PRT, tapi bukankah kepuasan seorang Suami ketika Istrinya yang menyiapkan semua kebutuhannya," jawab Zein.
"Benar juga, apa yang kakak katakan memang ada benarnya. Kalau memang dia ingin kerja, aku tidak akan masalah asalkan aku tetap menjadi yang utama, bukan pekerjaannya. Pantas saja Ibu selalu merasa bahagia sekali pun tidak kerja, Ibu bahkan punya kartu kredit sendiri, mana itu hitam dan isinya tak terbatas." Tanvir mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan oleh kakaknya tersebut.
##
Maulana melangkahkan kaki menuju lantai tiga, dia ada rapat dengan para dosen, ketikia melewati kantin, matanya tidak sengaja menangkap sosok pria berjubah putih bersyal merah tersenyum manis."Zein," katanya tanpa sadar. Pria bermata safir tersebut melangkahkan kaki menghampiri pria tersebut untuk memastikan apakah pria berjubah putih tersebut benar-benar adalah putra pertamanya.
"Zein," sebutnya.
Zein Ekky Maulana mendongakkan kepalanya, ia langsung bangkit dari tempat duduknya ketika melihat sosok pria paruh baya yang menjadi penutan hidupnya. Pria itu melangkahkan kaki mendekati Ayahnya, mengulurkan tangan mengambil tangan sang Ayah lalu diciumnya."Ayah, maafkan aku. Aku tidak memberitahu Ayah kalau aku di sini, aku bukan bermaksud untuk menyembunyikan kebenaran ini dari Ayah. Hanya saja …Nenek belum mengizinkan aku menghubungi Ayah," jelasnya.
Tanvir ikut bangkit dari tempat duduknya, ia dapat melihat raut haru dari paras tua tersebut, senang tapi juga tidak tahu harus berbuat apa."Ayah, harap Ayah tidak marah. Mungkin Ayah perlu bertanya pada Nenek, kenapa Nenek harus menyembunyikan diri dan menyembunyikan kak Zein."
"Tidak, Nenek mu bukanlah orang yang suka menyembunyikan cucunya, kecuali dia tidak tahu kalau Zein adalah cucu kandungnya. Ayah sangat tahu bagaimana Nenek mu, sudalah … yang terpenting sekarang Ayah sudah tahu kalau kamu baik-baik saja, nanti Ayah akan memberi tahu Ibumu agar tidak khawatir lagi, Insya Allah minggu depan kita akan berkunjung ke rumah Nenekmu," balas Maulana penuh pengertian.
"Ayah, Ayah selalu sabar dan pengertian. Aku senang memiliki seorang Ayah sepertimu," kata Zein, ia sangat merindukan hari-hari bersama kedua orang tuanya.
"Zein, kamu memang anak pengertian. Tahu saja kalau Ayah mu ini memang orang yang seperti ity," balas Maulana penuh percaya percaya diri. Tanvir jengkel setiap kali melihat ekspresi Ayahnya yang lebay seperti itu, padahal sudah tua tapi gayanya seperti ABG.
##
"Za, pak Maulana kok belum datang ya? Apa dia sakit?" tanya Nita menduga-duga, matanya terus memperhatikan pintu.
"Jangan sembarangan menduga, lagi pula Tanvir juga belum datang. Mungkin mereka masih ngobrol," balas Faeyza tidak perduli. Tak lama kemudian Maulna datang bersama Zein yang menggantikan Tanvir karena adiknya itu ada rapat penting di kantor hingga dia harus mengenakan baju yang tadi dipakai oleh sang adik.
"Assalamulaiakum," kata Maulana saat memasuki ruangan. Semua murid langsung diam di posisi masing-masing, pria paruh baya tersebut tersenyum mengingat pada zaman dulu dirinya mengajar sang istri, hampir mirip suasananya.
"Tanvir, menurut mu … apakah aku cocok dengan kakakmu?" tanya bisik Faeyza, bibirnya tersenyum manis seperti kucing minta di belai.
Zein menelan ludah sendiri karena tidak tahu harus menjawab apa, bagaimana mungkin gadis itu bertanya tentang pantas dan tidaknya sang gadis terhadap dirinya.