"Kenzu?"
Emily menoleh dan mengerutkan keningnya kala sahabatnya—Katherine menebut nama pria yang tengah berargumen sengit dengannya itu.
"Katherine? What are you doing here?"
Dan di balas oleh tanya heran si pria yang semakin membuat dugaan Emily akurat.
"Kalian saling mengenal?" Tanyanya menatap dua manusia yang tengah saling menatap itu.
Apa sahabatnya ini mengenal pria kurang ajar ini!
"Apa yang dia lakukan padamu?" Katherine malah balik bertanya.
"Hai, what are you doing here? Ahh apa kau—" Kenzu yang merasa di hiraukan kembali bertanya menebak yang langsung di bekap tiba-tiba oleh tangan mungil Katherine sambil melototkan matanya—menyuruhnya diam.
Dan lelaki itu malah menarik pinggang Katherine kemudian berbisik di telinganya. “Kau dalam misi penyamaran?” bisiknya tersenyum mengejek.
Dan Emily yang melihat itu melebarkan matanya, lelaki itu benar-benar kurang ajar, tak akan Ia membiarkan lelaki itu berbuat macam-macam pada sahabatnya.
"Kenzu?" Suara bariton seorang pria terdengar di antara kegaduhan itu.
Kenzu menoleh dan mendapati Keniti -sang kakak tengah berjalan mendekatinya.
“Hai Brother.” Sahut Kenzu sambil mengangkat sekilas tangannya.
Emily yang ikut menoleh terpaku di tempat berdirinya—terpesona akan sosok pria di hadapannya.
Bagai melihat malaikat turun dari langit sosok di hadapannya ini sangat tampan sekali. Ohh Emily lebai sekali kau! Batin Emily menggerutu akan pikirannya.
Tapi Ia tidak naif, sosok di hadapannya ini benar-benar wow—Memiliki pahatan-pahatan sempurna di wajahnya—alis tebal hitamnya, mata biru mencoloknya yang tajam, hidung mancung teratur, bibir sedikit tebal di bawahnya yang terkesan sexy dan terakhir rahangnya yang kokoh.
Tuhan seakan tengah berbahagia saat membentuk fisik lelaki itu.
Emily yang tengah memperhatikan pria itu begitu intens langsung memalingkan wajah malu saat tatapan lelaki itu terarah padanya.
"Selamat datang tuan. " ucap Manajer menyambut sopan Keniti yang hanya mengangguk ringan.
Lalu manajer itu beralih kembali pada Kenzu. "Saya akan memecatnya bila anda merasa tak nyaman tuan."
Emily melotot tak percaya mendengar kata pecat yang di ucapkan manajernya itu.
"Eh kenapa saya di pecat? ini tak adil, apa salahku aku hanya membela diri!" ucapnya membela diri.
"Bos kenapa memecat Emily?" Katherine ikut menimpali.
Dari segala protesan yang saling menyahut, tiba-tiba suara bariton Keniti mengudara.
"Siapa namamu?"
"Kenapa kau menanyakan namaku?" Sahut Emily yang merasa terpanggil karena arah tatapan lelaki itu tertarik padanya.
"Hanya ingin tahu, salah kah?" ucap pria itu dengan senyum tipisnya.
"Tidak, hanya saja — " sesaat Emily terdiam kemudian menggelengkan kepalanya. "Ah sudahlah, Namaku Emily. "
Sedangkan Kenzu menatap pria yang merupakan kakaknya itu—Keniti Maxwell dan Emily bergantian dengan tatapan yang sulit di artikan.
***
Di sebuah ruangan yang tengah di pakai rapat.
Pada rapat tersebut, terdapat Keniti yang terlihat tidak fokus pada bahasan yang tengah di terangkan—Pikirannya terus berkelana pada sosok wanita cantik yang baru di temuinya beberapa jam yang lalu, dan merasa tidak bisa terus membiarkan pikirannya melalang buana Ia harus melakukan sesuatu.
"Kita lanjutkan besok. " Kent tiba-tiba berdiri dari kursinya dan melangkah pergi seenaknya setelah mengatakan tiga kalimat tegas itu, menghiraukan beberapa orang yang sekarang menatapnya dengan pandangan—entahlah.
Mereka hanya diam membiarkan, tidak ada yang memprotes karena mereka cukup waras untuk melawan seorang Keniti Maxwell.
"Tuan ada apa dengan anda sendari tadi tampak tak fokus?" tanya Max mengikut di belakang sang tuan.
"Aku tak suka kau berada di belakangku!“ ucap Kent dingin menghiraukan pertanyaan Max.
Mengerti Max menyejajarkan langkahnya dengan sang tuan.
Bagi Max yang berusia lebih muda tujuh tahun dari Keniti telah menganggap pria itu sebagai kakaknya sendiri. Max masih ingat saat di mana Kent menyelamatkan dirinya dari preman-preman berbadan besar yang mengeroyoknya dan sejak saat itu Max selalu mengikuti Kent, Max merasa berhutang budi pada Kent, ia bersumpah tak akan menghianati orang yang sudah ia anggap keluarga sendiri, bila pun iya Max ingin Kent sendiri yang mengakhiri hidupnya
"Cari informasi wanita yang bernama Emily." Ucap Kent tiba-tiba memberi perintah.
Max mengernyit heran tapi pada akhirnya mengangguk, saat sampai di ruangannya Keniti mendapati Kenzu tengah duduk di sofa ruangannya dengan segelas wine di tangannya.
Kent melemparkan tatapannya pada Max, mengisyaratkan pemuda itu keluar dan Max yang mengerti langsung undur diri.
"Ada apa?" Tanyanya mendudukkan bokongnya pada sofa yang berhadapan dengan Kenzu.
"Aku akan membicarakan tentang di telepon tadi," ucap Kenzu sambil meminum winenya.
"Tapi sebelum itu aku ingin memastikan sesuatu. Apa kau tertarik pada pelayan wanita di restoran itu, hm!" Tanya Kenzu penasaran.
Well, tentu saja penasaran, bukan saja memiliki sifat dingin sedingin es di kutub utara, pria itu pun sangat jarang bersanding dengan seorang wanita, seakan alergi jika di haruskan berdekatan. Pada hal di luaran sana para kaum hawa selalu mengantre untuk menjadi tambatan hatinya.
"Bukan urusanmu, sebaiknya kau pergi bila tak ada yang mau kau bicarakan lagi!" Kent balas mengusir Kenzu dengan raut wajah tanpa ekspresi.
***
Beberapa menit kemudian.
Setelah berhasil mengusir adiknya, tidak lama kemudian berkas identitas seseorang yang diinginkannya telah sampai dengan selamat di tangannya.
Membaca info dari berkas itu membuat Kent menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis nan samar—Seakan pria itu memang menemukan hal menarik dari berkas itu.
"Emily Senzzy," tangan kekar pria itu menyentuh foto Emily. "Senang bisa bertemu denganmu." Ucapnya dengan seringai tipis penuh arti.
***
Di lain tempat tampak dua orang pria tengah berdiskusi dengan serius.
"Kalau kami membantumu, apa imbalannya? " tanya Rolan seorang pria berusia empat puluh tahunan.
"Terserah kau mau apa, tapi bantu aku menghancurkan Keniti Maxwell. " desis Jemmy Jensen's.
"Melawan seorang Kasanova sepertinya sangatlah sulit, aku akan menemui tuanku untuk masalah ini. "
"Kenapa tuanmu itu selalu menyembunyikan identitasnya?" tanya Jemmy heran.
"Itu privasi kami, sebaiknya Anda pergi saja, saya akan berbicara dengan tuan." Ucap Rolan mengusir halus meski senyum formal masih tersemat di kedua sudut bibir keriputnya.
Setelah kepergian Jemmy, pria paruh baya itu melangkah menuju lorong yang terlihat gelap dan mencengkeram lalu membuka pintu dari salah satu ruangan yang berada di sana.
"Ada apa?" terdengar tanya dari suara bariton di tengah kegelapan setelah Rolan membuka ruangan itu.
"Ada yang ingin saya bicarakan, Tuan. " ucap Rolan.
"Aku tahu apa yang ingin kau bicarakan, sekarang kau bisa pergi. " ucap lelaki di tengah kegelapan itu yang di patuhi Rolan.
Dan Sepeninggalan pria baruh baya itu, sosok itu tersenyum miring sambil bergumam. "Jemmy Jensen’s, kau mau bermain-main denganku!"
***
Hari ini benar-benar sial bagi Emily, setelah rumahnya di sita dirinya pun di pecat dari pekerjaannya. Mungkin bukan salah sepenuhnya pria itu karena saat manajer memecatnya pria itu melarangnya, tapi tetap saja manajernya itu memecatnya karena alasan kerjaan Emily juga tidak bagus.
What the hell selama bekerja di cafe itu, Emily mengerjakan tugasnya dengan baik, bahkan ada beberapa orang memujinya melakukan pekerjaan bagus. Hari ini saja ia kelepasan membentak pria itu karena emosinya benar-benar kacau, tapi bukan sepenuhnya kesalahannya kan, kalau saja tangan pria itu tidak macam-macam tak akan ada hal seperti ini.
Hups, Emily menghela nafasnya percuma melampiaskan kemarahannya, toh semua sudah terjadi dan tak akan kembali seperti semula.
Dan ingatan Emily tiba-tiba melayang pada pria yang bertemu dengannya tadi. Semoga saja dirinya bertemu lelaki itu lagi, tapi pemikiran itu langsung di tepisnya. Hais, kenapa aku ingin bertemu dengannya lagi, Tidak Emily! Mungkin saja pria itu berbahaya di balik wajah tampannya itu! Batin Emily memukul-mukul pelan kepalanya dengan ide bodoh yang terlintas di otaknya.