°°°
"Menikahlah denganku."
Sedetik setelah kalimat itu tercetus, Emily hanya bisa menampakkan raut wajah cengonya.
Apa, apa katanya? Kenapa terdengar seperti lamaran. Kurang dari 48 jam mereka bertemu, sosok di hadapannya ini langsung mengajakkannya menikah. Hebat!
"Ouww... Sepertinya telingaku bermasalah," Kata Emily dengan kekehan pelannya.
"Aku ingin kau menikah denganku. Dan semua kehidupanmu aku pastikan terjamin. " ucap Kent dengan raut wajah seriusnya.
Dan Emily yang melihat keseriusan pria itu, menggeleng tak habis pikir. "Jadi benar kau memintaku menikah denganmu? Apa alasanmu? Kau bercanda ya!"
Kent menatap lekat Emily. "Alasannya kau tidak perlu tau, yang jelas kau tidak bisa menolak tawaranku." ucapnya dengan seulas senyum samar yang penuh makna.
"What the hell! Aku tidak mau menyerahkan hidupku pada orang asing yang dengan tiba-tiba memintaku menikah tanpa alasan yang jelas!" sanggah Emily dengan nada naik.
"Kau ingin tahu tentangku," tanya Kent tiba-tiba, sedangkan wanita di hadapannya itu hanya diam tak merepons selama beberapa detik.
Sejujurnya Emily belum siap untuk menikah terlebih dengan orang asing yang baru saja di temuinya, tapi tawaran pria itu sangat lah menggiurkan. Dia ingin pengobatan ibunya benar-benar terjamin, Errelly yang hidup jauh dengannya bisa berkumpul bersamanya. Emily bimbang antara menerima atau menolak penawaran yang di berikan lelaki di hadapannya ini.
Di satu sisi, hatinya menolak karena Emily merasa sosok di hadapannya ini bukanlah pria sembarangan, terlebih dia sama sekali tak mengenal pria ini, tapi di sisi lain hatinya ingin menerima—Demi Ibunya, adiknya dan tentu saja, dirinya sendiri.
Jadi, dia harus bagaimana?
"Jadi, jawaban dari tawaranku?" tanya Kent merasa cukup memberi waktu singkat pada Emily untuk menjawab ajakannya.
Dan akhirnya setelah berbelit-belit dalam pikirannya yang antara menolak atau menerima akhirnya keputusan di ambil. Yaps, demi sang ibu!
"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu lebih dulu, " ucap Emily mengajukan permintaan.
Dengan sebelah alis terangkat Kent menyahut. "Ya?"
"Tentang Identitasmu, tolong jawab jujur—" Sebelum Emily menyelesaikan ucapannya Kent terlebih dulu menyela.
"Jika kau menerima tawaranku aku akan memberitahumu semua dan pengobatan ibumu sepenuhnya tanggung jawabku." Bahkan dirimu pun Emily!
Tapi Emily malah menggeleng. "Jawab dulu pertanyaanku?" protesnya, dan akhirnya mereka berdebat akan hal itu—Konyol rasanya.
"Oke, aku menerimanya, menikah denganmu, Puas! Dan jangan ingkar janji akan pengobatan ibuku!" Dengan tatapan sinisnya Emily akhirnya mengalah.
Dan seringaian puas Kent menyahutnya. "Tentu saja seorang Kent akan selalu menepati ucapannya."
***
Di perjalanan pulang.
Pikiran Emily terus tertuju pada perkataan pria itu—Keniti namanya. Apa keputusannya sudah benar? Merelakan seorang pria asing memilikinya secara mutlak dalam ikatan suci pernikahan. Emily memang telah menyetujui meski itu baru 80% perjanjian—well perjanjian sepenuhnya akan mereka laksanakan jika pernikahan itu berhasil. Dan memang jika berhasil terlaksana maka dirinya akan benar-benar terikat paten dengan seorang—Akhh, apa Ia kuat hidup bersama pria itu?! dalam batas kontrak yang di tentukan.
Dan pemikiran-pemikiran itu membuat kepala Emily seakan ingin meledak. Kalau saja dirinya tidak membutuhkan uang, tidak akan susah-susah dirinya melakukan ini semua!
Saat di perjalanan, tanpa sengaja Emily melihat kafe sedang membuka lowongan pekerjaan, segera saja Ia mendatangi kafe tersebut.
"Permisi, apa disini ada lowongan kerja." tanyanya pada pelayan di sana dan pelayan itu langsung menyuruhnya ke ruangan manajer kafe.
"Kamu diterima dan bisa langsung menjalankan tugasmu. "Ucap manajer pada Emily setelah proses tanya jawab.
"Terima kasih." kata Emily tersenyum formal, kemudian bangkit berdiri dan melangkah pergi untuk menjalankan tugasnya.
"Kamu pekerja baru, aku Ladisa Paker." Seorang wanita bernama Ladisa memperkenalkan diri pada Emily.
"Emily Senzzy. Senang bisa menjadi partnermu, aku harap kita akan menjadi teman baik." Ucap Emily menerima uluran tangan itu sambil memperkenalkan diri dengan ramah.
***
Di jam istirahat Emily tiba-tiba teringat akan adiknya—Errelly Senzzy, langsung saja Ia mengambil ponsel di tasnya lalu memanggil nomor sang adik.
"Halo Errelly. Bagaimana kabarmu?" sapa Emily saat panggilan telah tersambung.
"Aku baik, bagaimana dengan kakak, perkembangan ibu bagaimana kak?"
"Kakak baik, Ibu masih sama ." ucap Emily sendu.
"Kak, Aku merindukanmu."
Ucapan rindu dari sang adik tanpa sadar membuat mata hijau Emily berkaca-kaca.
***
Sedangkan di tempat lain.
"Nona, what are you doing?!"
Seorang pria yang tak lain Kenzu Maxwell terkejut saat dengan tiba-tiba menerima hamburan pelukan dari seorang perempuan.
"Hai, what are you doing? Aku tahu aku tampan, tapi tidak seperti ini juga!" ucap Kenzu dengan percaya dirinya. Tapi kemudian jawaban wanita itu membuat Kenzu ingin menghilangkan kata-katanya barusan.
"Tuan, Ak-aku, aku mohon bantu aku!" ucap wanita itu memohon dengan wajah tersembunyi di d**a bidang nan keras pria yang tengah di peluknya, sedangkan tangannya memeluk erat pinggang si pria, sedangkan Kenzu merasakan tubuh wanita di pelukannya ini bergetar.
Dia menangis?! Batin Kenzu.
Kenzu mengedarkan pandangannya dan melihat beberapa orang tengah berlari ke arahnya. Tanpa pikir panjang untuk tahu apa masalahnya Kenzu segera menarik wanita itu untuk mengikutinya.
"Nona, ayo ikut saya!" Salah satu pria berjas yang mengejar berhasil menahan tangan wanita itu.
"Lepaskan tanganmu!" desis Kenzu tak suka saat pria itu menarik paksa si wanita.
Si pria menoleh pada Kenzu, menatapnya dari atas sampai bawah dengan tatapan remeh. "Anda yang harusnya lepaskan!"
"Kau cari mati ya!" desis Kenzu tak suka dengan tatapan remeh yang terlempar padanya.
"Bereskan mereka!" perintah Kenzu dingin pada beberapa anak buahnya yang tengah memperhatikan yang langsung di patuhi.
Kenzu kemudian membawa masuk wanita itu ke dalam mobilnya dan mendapati seorang pria yang tak lain sahabatnya—Calviano Jordan.
"Siapa dia? "Tanya Jordan dengan pandangan lekat menatap si wanita yang terlihat sangat cantik dengan mata birunya yang mencolok.
Sedangkan Kenzu mengendikan bahunya tidak tahu, dan kemudian kembali di kejutkan oleh tindakan wanita berambut pirang di sampingnya itu.
"Hai!"
Wanita itu kembali memeluknya dan tanpa beban menumpahkan tangisannya pada kemeja putihnya membuat Kenzu meringis, dan bukannya melepas Kenzu malah mengusap punggung si wanita—Mencoba menenangkan.
***
Emily pulang dengan keadaan lelah. Gadis itu merebahkan tubuhnya di ranjang mininya, dan di detik berikutnya matanya terpejam memasuki alam mimpi dengan deru nafas sedikit tak teratur.
Sejam kemudian Emily terbangun, wanita itu bangkit dari tidurnya sambil menggeliat, kemudian menutup mulutnya menggunakan tangannya saat keinginan menguap terlaksana, kemudian matanya terarah pada jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul lima, matanya celingukan mencari seseorang—Katherine, sahabatnya itu tidak terlihat, kemana dia?
Emily mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan yang Ia dapatkan adalah—Berantakan. Ahh rumah sewanya masih kotor dan sedikit berantakan—Debu di mana-mana karena tidak sempat bersih-bersih. Dan sekarang waktunya Emily merubah rumahnya, memberantas semua debu-debu tersembunyi dan menjadikan rumahnya menjadi lebih nyaman.
Beberapa saat kemudian, tugas bersih-bersih akhirnya selesai. Rumah sederhana itu tampak bersih dan nyaman untuk di tinggali.
Gerah karena tubuhnya lengket oleh keringat, Emily berniat membersihkan dirinya. Melangkah menuju kamar mandi dan mulai menanggalkan semua pakaiannya.
***
Sedangkan di tempat lain. Terlihat seorang pria berkepala plontos menghajar habis seorang pria yang tampak telah babak belur dengan luka sayatan di pipi kanan dan kirinya, lembab dan darah di sekitar wajahnya, dan pertunjukan itu di tonton seorang pria berparas tampan dengan tatapan dingin tak jauh dari tempat mereka.
Pria tampan yang tak lain Keniti, mengangkat tangannya. Menghentikan hajaran anak buahnya pada pria berkepala plontos itu, Kent mendekati mereka dengan langkah tegas nan berbahaya.
"Jadi katakan siapa mereka?" Desis Kent dengan tatapan evilnya.
"Sampai mati pun aku tak akan mengatakannya!" Sahut si pria menolak tegas.
"Ouww... Tipe setia. Kau selama ini mematai-matai kami, padahal aku mulai mempercayaimu karena kesetiaanmu itu. Kau benar-benar membuatku muak!" desis Kent dengan amarah yang bisa di kendalikannya.
Dan detik berikutnya terdengar bunyi tembakan. Kent menatap tubuh tak bernyawa itu tanpa dosa.
"Aku peringatkan pada kalian semua. Mencoba menghianatiku kalian tahu akibatnya. Ingat, aku tak akan tinggal diam!" peringat Kent beralih pada anak-anak buahnya, membuat sang manusia dengan pakaian hitam-hitam itu mengangguk seraya meneguk kasar salivanya—merasa ngeri.
"Bagaimana gadis itu?" tanya Kent pada Max setelah mereka berada di mobil.
"Beres, tuan. "
Kent mengangguk puas. "Good."
"Max!"
Max menoleh saat di panggil.
"Aku hanya ingin memperingati, kau tahu kan akibatnya mencoba melawanku, mungkin akan lebih parah dari siksaan tadi!" ucap Kent, membuat pria muda itu mengangguk dengan gugup.