Ibu itu terenyuh melihat wajah sedih Ajeng. Entah kenapa dia merasa curiga dengan gelagat Ajeng yang tidak biasa. Gadis itu selalu ceria dan tidak pernah murung seperti hari ini. Dia biasanya semangat meletakkan kue-kuenya di dalam etalase, bahkan turut merapikan dagangan orang lain.
Ajeng usir kebingungannya saat memasuki kelas, bingung menjelaskan ibunya tentang kejadian yang dia alami pagi ini, karena dia tidak mau ibunya sedih dan khawatir. Dia juga bingung bagaimana menjelaskannya ke Tante Widya yang kerap memaksanya untuk berangkat sekolah bersama anak-anaknya, sementara dia sudah bertekad tidak akan menumpang mobil Lintang mulai besok, dan bingung pula menghadapi pertanyaan dari Gita.
Ajeng langsung memasang wajah biasanya saat duduk di dalam kelas, di samping Gita, memutuskan tidak menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya.
“Jeng, aku lupa kalo aku belum jawab soal matematika nomor sembilan,” bisik Gita yang baru saja membuka buku PRnya. Ajeng langsung menyerahkan buku tulis PRnya dan membuka halaman yang dimaksud Gita. Dia juga menutupi tubuh Gita yang menyalin jawaban, mengawasi murid-murid lain yang baru saja masuk kelas.
“Nih. Makasih yaaa.”
“Iya.”
“Lain kali aku akan lebih teliti. Hehe.” Gita terkekeh menyadari kelupaannya. Gita dan Ajeng tidak saja berteman dekat di rumah, tapi sekarang di sekolah dan mereka duduk bersebelahan. Barangkali mereka berdua memiliki latar belakang yang sama, yakni sama-sama yatim sejak kecil, Papa Gita sudah meninggal dunia saat dia masih berusia dua tahun, lebih muda dari usia Ajeng yang kehilangan ayahnya di usianya yang baru menginjak enam tahun.
Meski mengalami kejadian yang tidak mengenakkan pagi itu, Ajeng tetap bisa mengikuti pelajaran hari itu dengan sangat baik. Dia gembira karena mendapatkan poin tertinggi PR matematikanya juga ulangan pelajaran lainnya.
Ketika jam istirahat sekolah, Ajeng sebisa mungkin menghindar dari rombongan Leslie. Gadis cantik itu sudah sangat terkenal karena paras cantik dan pintar, dia selalu mendapat rangking teratas di kelas. Para siswa di sekolah berebut ingin menjadi kekasihnya, dan Leslie telah memilih Lintang, yang juga merupakan rebutan di kalangan para siswi di sekolah, bahkan dari sekolah lain. Lintang tidak saja cakap di bidang akademik, dia juga jago basket dan memiliki tubuh tinggi dan proporsional, terlebih wajahnya juga sangat tampan.
***
Pagi tepat pukul sepuluh, Widya kedatangan empat tamu yang semuanya wanita paruh baya. Mereka tengah asyik bercakap-cakap, sementara tampak Widya dengan senyum sumringahnya menghitung uang yang ada di tangannya.
“Ini zaman makin canggih, masih juga bayar pake cash. Biar kamu-kamu ini tetep bisa bekerja ya tinggal ditransfer saja,” ujar Widya setelah menghitung uang sewa rumah dari para tamunya. Keempat tamunya tertawa kecil sekaligus senyum malu mendengar kata-kata Widya. Mereka adalah para penyewa rumah kontrakan Widya yang berada tepat di sebelah rumahnya. Hampir semuanya bekerja sebagai buruh cuci, pembantu rumah tangga, dan pedagang sayur di pasar tradisional terdekat. Arni adalah salah satu tamu Widya.
“Hm … yang aku sisanya minggu depan, Bu Wid. Daganganku minggu ini kurang laku,” ujar Usi, penjual sayur yang duduk di sebelah Arni.
Widya mengangguk membolehkan. Dia tahu para penyewa rumah kontrakannya selalu tepat janji dan selalu mengabarkannya jika kesulitan membayar.
“Iya. Minggu ini kayaknya emang lagi seret, kueku juga kurang laku minggu ini,” sela Arni, dia dikenal membayar uang sewa rumah tepat waktu, meskipun harus berhutang.
“Duh, Arni. Udah deh, jangan banyak ngeluh, sebagai besan seharusnya nggak perlu bayar uang kontrakan,” canda Dila, teman Arni yang duduk di sebelahnya. Tampak Bu Widya senyum-senyum mendengar candaan Dila.
Sudah menjadi rahasia umum di lingkungan rumah, bahwa Widya sangat menyukai Ajeng, putri tunggal Arni. Widya bahkan dengan seloroh mengatakan bahwa dia ingin sekali memiliki menantu Ajeng, karena Ajeng adalah gadis yang pintar, rajin, hemat, dan cantik, gadis itu benar-benar menantu idaman. Bahkan, seandainya tidak satupun dua anak lelakinya menyukai Ajeng, dia yang akan menawarkan keponakan terdekatnya untuk menjadi pasangan Ajeng, yang terpenting Ajeng tetap berada di dalam lingkungan keluarganya.
“Aku sudah menawarkannya untuk tidak membayar uang sewa, tapi dia tetap bayar. Mau gimana lagi? Rezeki nggak boleh ditolak, tapi Ajeng harus tetap sama aku.”
Semua tertawa kecil mendengar kata-kata Widya yang terkesan memaksa, termasuk Arni. Walaupun dia sering digoda akan berbesan dengan orang kaya, tidak serta merta membuat dirinya menjadi angkuh atau berharap, dia tetap bersikap biasa saja.
Tak lama kemudian, setelah berbincang-bincang hangat dengan Widya, para tamu pagi itu pun pamit dari rumah Widya. Namun, Widya menahan Arni untuk tindak meninggalkan rumahnya terlebih dahulu, wajahnya menyiratkan keingintahuan akan sesuatu hal.
“Emang kuemu nggak laku minggu ini, Ar?” tanya Widya setelah tamu yang lainnya benar-benar sudah pergi.
“Iya, Bu. Ada satu hari malah nggak laku sama sekali, itu yang di sekolah Ajeng. Akhirnya minggu ini aku nggak titip di sana lagi.”
“Hm….” Widya sedang memikirkan sesuatu. Sudah seminggu ini Ajeng benar-benar menolak pergi bareng ke sekolah dengan mobil Lintang. Apa hal ini ada kaitannya dengan kue Arni yang kurang laku. “Ajeng kenapa nggak mau bareng ke sekolah sama Gita dan Lintang? Apa dia pernah mengeluhkan anak-anakku?” tanya Widya hati-hati. Meskipun dalam minggu ini sikap Ajeng tidak ada yang mencurigakan, meski tidak pergi dan pulang sekolah bareng Gita dan Lintang, tidak ada yang berubah dari sikap yang ditunjukkan Ajeng. Dia seperti biasa datang dan bermain dari sore sampai malam di kamar Gita.
“Nggak ada, Bu. Emang mungkin lagi nggak laku saja. Akhirnya aku titip ke tempat baru di depan tempat kerjaku, yah … meskipun banyak yang merasa tersaingi.”
Arni sudah siap-siap pergi, dia tidak mau banyak bicara menyinggung keadaannya. Bagaimanapun, dia tetap merasa bersyukur, yang masih menerima dana pensiun mendiang suaminya dan kesehariannya masih bisa tercukupi. Teman-temannya bahkan ada yang suaminya kena PHK, dan menjadi beban keseharian karena malas mencari mata pencaharian. Akibatnya, anak-anak mereka tidak bisa melanjutkan sekolah. Sementara dirinya memiliki anak semata wayang yang membanggakan.
“Aku pamit ya. Bu.”
Widya tampak sedikit tersentak.
“Oh ya, Ar. Bulan depan Anung pulang liburan ke Jakarta. Aku titip lemper kesukaan anak-anakku.”
Arni terkekeh. “Lo, Mas Anung dari luar negeri masih suka lemper jugakah?” candanya.
“Iya. Masih ingat lemper buatan kamu tahun lalu.”
Arni tersenyum bangga, lemper resep almarhum ibu mertuanya memang tiada duanya.
***