04 - One Night Stand.

1862 Kata
Mata Evelyn terbuka saat merasa laju mobil terhenti. "Kita di mana?" tanyanya sambil mengamati suasana di luar mobil. "Apartemen gue." Menurut Criss lebih baik membawa Evelyn ke apartemennya ketimbang hotel. Criss takut jika ia membawa Evelyn ke hotel, akan ada orang yang mengenali Evelyn, dan jika sampai ada orang yang melihat Evelyn bersama dirinya, sudah pasti nantinya akan muncul berita yang tidak-tidak. Criss tidak mau itu terjadi. Mobil belum terparkir sempurna, tapi Evelyn sudah melepas sabuk pengamannya. "Criss." Criss menoleh. Evelyn merangkum wajah Criss menggunakan kedua tangannya, lalu menempelkan bibirnya pada bibir Criss. Awalnya Criss terkejut, tapi Criss langsung membalas ciuman Evelyn. Dengan mudahnya, Criss mengangkat tubuh Evelyn, lalu mendudukan Evelyn dalam pangkuannya. Evelyn mengalungkan kedua tangannya pada leher Criss, sedangkan Criss kini sibuk membelai paha Evelyn yang terexspose. Belaian kedua tangan Criss membuat birahi Evelyn semakin membara. Tautan bibir Criss dan Evelyn terlepas ketika keduanya sadar kalau pasokan udara di paru-paru mereka sudah sangat menipis. Deru nafas Criss dan Evelyn yang tersengal-sengal kini saling bersahutan. "Kamu terlihat sangat seksi, Eve," bisik Criss sambil menyeka salivanya yang tertinggal di bibir bengkak Evelyn. Wajah Evelyn merona. Evelyn yang malu lalu membenamkan wajahnya di ceruk leher Criss. Tingkah malu-malu Evelyn membuat gemas Criss. Saking gemasnya, Crisstian bahkan sampai ingin menggigit pipi Evelyn yang merah merona. "Eungh...." Criss mendesah ketika bibir Evelyn mendarat di kulit lehernya. Desahan Criss membuat Evelyn semakin bersemangat sekaligus b*******h. Awalnya Evelyn hanya mengecupi leher Criss, tapi semakin lama, kecupan tersebut berubah menjadi hisapan sampai akhirnya leher Criss penuh dengan kissmark. "Eve, stop," ucap Criss memelas. Evelyn mengabulkan permintaan Criss. "Jawab jujur pertanyaan gue, lo udah pernah melakukan hubungan sexs atau belum?" Criss tidak mau merusak Evelyn, jadi Criss tidak akan memaksa Evelyn membantunya menuntaskan hasratnya. "Gue pernah melakukannya, tapi hanya 1 kali." Ya, Evelyn pernah melakukan hubungan sexs, dan itu terjadi ketika ia masih menjalin hubungan dengan Liam. "Hanya 1 kali?" Evelyn mengangguk, lalu menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Criss. Evelyn menatap sayu Criss. "Kenapa?" tanyanya sambil membelai d**a bidang Criss yang masih tertutupi kaos. Belaian jari-jemari lentik Evelyn di dadanya membut Criss semakin tak bisa berpikir jernih. "Apa lo yakin mau melakukannya lagi?" "Lo gak mau?" "Gue juga minum obat perangsang." Criss benar-benar yakin kalau air milik Nando yang beberapa saat lalu ia minum sudah dicampur oleh obat perangsang. "Gue tahu." Sejak tadi Evelyn sadar kalau Criss tersiksa karena efek obat perangsang. "Gue butuh lo, dan lo butuh gue." "Jadi kita sama-sama saling membutuhkan ya?" bisik Evelyn tepat di depan wajah Criss. "Iya, kita saling membutuhkan." Criss menarik wajah Evelyn, kembali menempelkan bibirnya pada bibir Evelyn. Keduanya kembali berciuman, dan ciuman keduanya kali ini jauh lebih menggebu dari sebelumnya, tapi tak lama kemudian, Criss memundurkan wajahnya, membuat tautan bibirnya dan Evelyn terlepas. Criss langsung menurunkan ciumannya menuju leher jenjang Evelyn. Evelyn mendongak, memberi Criss akses untuk mengexplore leher jenjangnya. "Jangan buat kissmark," bisik Evelyn sambil mendesah, menikmati setiap sentuhan yang Criss berikan. Criss mengabaikan permintaan Evelyn. Semakin lama, ciuman Criss semakin turun menuju d**a Evelyn. "Ki-kita masih di mobil?" Meskipun Evelyn dalam keadaan mabuk berat, tapi Evelyn masih mempunyai sedikit kesadaran. "s**t!" Umpat Criss sambil menjauhkan wajahnya dari d**a Evelyn. Evelyn terkekeh, tahu betul kalau pria yang kini sedang memangkunya ini sangat frustasi. Evelyn mengalungkan kedua tangannya pada leher Criss, dan dengan gerakan pelan tapi pasti, mulai menggoyangkan tubuhnya maju mundur. "Aahh...." Secara spontan Criss mendesah. Desahan Criss membuat Evelyn semakin b*******h. "Apa kita harus melakukannya di sini?" bisik mesra Evelyn tepat di telinga kanan Criss. "Eungh...." Lenguhan Criss lolos ketika Evelyn menghisap kuat lehernya, menimbulkan sensasi nikmat. "Gue gak mau ada orang yang mergokin aksi m***m kita." "Kalau begitu, kita turun sekarang." Evelyn turun dari pangkuan Criss, lalu merapikan penampilannya, begitu juga Criss. Evelyn dan Criss keluar dari mobil setelah memastikan jika penampilan mereka rapi. Keduanya lantas memasuki lift yang berada tak jauh dari tempat mobil Criss terparkir. *** "Eungh....." Evelyn melenguh sambil merentangkan kedua tangannya ke atas. "Duh, kenapa badan gue rasanya sakit semua ya?" gumamnya dengan mata yang masih senantiasa terpejam. Evelyn akan kembali melanjutkan tidurnya, tapi niat tersebut Evelyn urungkan ketika merasa ada beban berat yang menimpa perutnya, lalu di saat yang bersamaan, Evelyn juga merasa ada hembusan nafas hangat yang menerpa lehernya, membuat bulu kuduknya seketika merinding. Dengan perasaan enggan, Evelyn membuka matanya, lalu menatap perutnya. "Tangan?" gumamnya dengan raut wajah bingung. "Tangan siapa ya?" lanjutnya sambil menoleh ke belakang. Kedua mata Evelyn melotot, dan secara spontan, Evelyn mengumpat. Umpatan Evelyn mengusik tidur pulas Criss. Evelyn panik ketika melihat Criss menggeliat, dan langsung berpikir kalau Criss pasti akan terbangun. "Jangan bangun, tolong jangan bangun." Doanya dalam hati. "Jangan berisik, Eve," gumam Criss sambil berbalik membelakangi Evelyn, lalu menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Sekarang Evelyn akhirnya bisa bernafas dengan lega. "Untung aja dia gak bangun." Evelyn membuka sedikit selimut yang ia kenakan, kembali mengumpat tak kala melihat kalau saat ini ia hanya mengenakan celana dalam, sedangkan tubuh bagian atasnya polos. "Dress gue di mana ya?" gumamnya sambil mengamati kamar, meringis saat melihat dress dan pakaian milik kini Crisst berserakan di lantai. Perhatian Evelyn kembali tertuju pada Criss. Evelyn memberanikan diri mendekati Criss, lalu melambaikan telapak tangan kanannya di depan wajah Criss. Setelah yakin kalau Criss benar-benar tertidur pulas, barulah Evelyn berani menuruni tempat tidur. Dengan langkah tertatih-tatih, Evelyn memasuki kamar mandi. Evelyn takut kalau Criss akan terbangun, karena itulah Evelyn mandi secara asal-asalan. "Ternyata masih tidur." Evelyn bernafas lega ketika melihat Criss masih tertidur pulas. Evelyn segera memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu memakainya dengan cepat. Sekarang Evelyn sudah berdiri di depan pintu apartemen, dan seperti yang sudah Evelyn duga, pintu apartemen dalam keadaan terkunci. "Duh, gue gak tahu lagi apa paswordnya?" Evelyn mulai di buat kebingungan sekaligus panik. "Apa gue harus bangunin dia ya?" lanjutnya sambil menatap ke arah kamar Criss. "Tapi, kalau nanti dia malah nahan kepergian gue gimana ya?" Evelyn berjalan mondar-mandir sambil terus berpikir tentang apa yang harus ia lakukan, apa ia harus membangunkan Criss? Atau menunggu Criss bangun dengan sendirinya? Setelah cukup lama berpikir, Evelyn memutuskan untuk kembali memasuki kamar Criss. Sesampainya di kamar, dengan langkah pelan, Evelyn mendekati meja yang ada di hadapan Criss. Senyum lebar menghiasi wajahnya ketika melihat benda yang ia butuhkan tergeletak di atas meja. Evelyn segera meraih key card tersebut, lalu bergegas pergi meninggalkan kamar. Evelyn sudah sampai di apartemen. Saat ini Evelyn sedang melamun, memikirkan tentang apa yang baru saja ia alami. Ponsel Evelyn berdering nyaring, mengejutkan Evelyn yang sejak tadi melamun. "Pasti Siena." Dengan perasaan malas, Evelyn meraih ponselnya, dan ternyata tebakannya benar, nama Sienalah yang kini tertera di layar ponselnya. "Eve, lo di mana?" Teriakan Siena mengejutkan Evelyn, sekaligus membuat telinga Evelyn sakit. "Jangan teriak-teriak, Siena!" "Eve, jawab pertanyaan gue. Sekarang lo di mana?" Siena mengabaikan keluhan sang sahabat. Sejak semalam Evelyn tidak bisa dihubungi, membuat Siena panik. "Gue di apartemen." "Apartemen siapa?" Evelyn baru saja akan menjawab pertanyaan Siena ketika mendengar suara seorang pria yang baru saja mengeluh atas teriakan Siena beberapa saat yang lalu. Suara pria tersebut tentu saja membuat Evelyn penasaran, terlebih suara pria tersebut terdengar sangat serak, seperti baru bangun tidur. "Lo lagi sama siapa?" Bukannya menjawab pertanyaan Siena, Evelyn malah balik bertanya. "Gue lagi sama teman." Siena menjawab cepat pertanyaan Evelyn. "Teman?" Ulang Evelyn dengan nada mencemooh. "Teman atau teman?" lanjutnya penuh penekanan. "Iya, teman satu malam." Siena menjawab ketus pertanyaan Evelyn. "Lo gila!" Kali ini giliran Evelyn yang mengumpat. Evelyn tahu apa arti kata teman satu malam yang baru saja Siena ucapkan. "Semua ini gara-gara lo!" "Lah, kok lo malah nyalahin gue sih?" Evelyn tentu saja tidak terima ketika Siena malah menyalahkannya. "Semalam kan lo maksa gue buat minum, sampai akhirnya gue mabuk dan berakhir dengan menghabiskan waktu bersama pria sialan ini!" Saat ini, Evelyn tidak bisa melihat wajah Siena, tapi Evelyn sudah bisa menebak, bagaimana ekspresi wajah sang sahabat saat ini. "Sial! Kenapa nasib kita sama," gumamnya tanpa sadar. "Maksud lo apa?" Gumaman Evelyn barusan didengar oleh Siena. Pertanyaan Siena mengejutkan Evelyn. "Eh bukan apa-apa kok," ucapnya cepat-cepat. "Eve, jangan bohong ya! Jelas-jelas tadi gue dengar lo ngomong, kenapa nasib kita sama?" Siena mengulang ucapan Evelyn sebelumnya. Evelyn mulai panik, tapi mencoba untuk tetap terlihat tenang. Evelyn tidak mau Siena curiga. "Lo salah dengar, Siena." "Jadi ... apa yang semalam terjadi sama lo saat gue pergi ke toilet?" Evelyn merenggut karena Siena malah bertanya, itu artinya, mau tak mau, suka tak suka, ia harus menjawab pertanyaannya. "Ok, ok, gue akan cerita." Evelyn akhirnya memberi tahu Siena tentang apa yang sudah terjadi pada dirinya. "What the f**k!" Umpatan Siena lolos sesaat setelah mendengar cerita Evelyn tentang kejadian tadi malam. "Jadi ... lo one night stand sama pria yang gak lo kenal?" lanjutnya masih dengan nada tinggi. "Iya," jawab lirih Evelyn sambil membaringkan tubuhnya ke tempat tidur. "Tapi semalam si Criss pakai pengaman, kan?" Pertanyaan Siena berhasil mengejutkan Evelyn. Saking terkejutnya, sekujur tubuh Evelyn bahkan sampai menegang, diiringi detak jantungnya yang kini berdetak lebih cepat dari sebelumnya. "Apa semalam Criss memakai pengaman?" Itulah pertanyaan yang kini berputar-putar dalam benak Evelyn. Kedua mata Evelyn terpejam. Evelyn mencoba mengingat kejadian tadi malam, tepatnya ketika ia dan Criss berhubungan intim, apa Criss memakai pengaman atau tidak? "Sial! Gue gak bisa ingat!" Umpatnya dalam hati. "Evelyn!" Teguran Siena membuyarkan semua lamunan Evelyn tentang peristiwa tadi malam. "Gu-gue gak tahu, Siena," jawab Evelyn terbata. "Maksud lo?" "Gue gak inget, apa semalam Criss pakai pengaman atau enggak." Evelyn mulai panik, begitu juga Siena. "s**t!" Lagi-lagi Siena mengumpat. "Gue terlalu mabuk untuk inget semuanya, Siena." "Tapi ini bukan masa subur lo, kan?" "Gue lagi di masa subur, Siena," jawab lirih Evelyn. "Sekarang juga lo ke apotek, terus beli pil kontrasepsi darurat." "Emang masih bisa ya?" Setahu Evelyn, pil kontrasepsi seharusnya diminum sebelum berhubungan sexs. "Belum lewat dari 72 jam sejak lo dan si Criss berhubungan, jadi gak ada salahnya kan kalau mencoba?" Siena harap kalau semuanya belum terlambat. "Ok, gue akan ke apotek sekarang juga. Bye, Siena." Tanpa menunggu balasan Siena, Evelyn mengakhiri panggilannya dengan sang sahabat. Berjam-jam sudah berlalu sejak Evelyn mengkonsumsi pil kontrasepsi darurat. Evelyn masih berada di apartemennya, dan Evelyn tidak sendiri, tapi bersama Siena. Siena datang sejak 30 menit yang lalu. Sebenarnya Evelyn merasa sangat lelah, dan sudah mencoba untuk tidur, sayangnya kedua matanya tak kunjung mau terpejam. Alasan Evelyn tidak bisa tidur, karena Evelyn terus memikirkan tentang kemungkinan kalau dirinya hamil. "Eve, jangan melamun!" Untuk kesekian kalinya, Siena menegur Evelyn. "Gimana kalau gue sampai hamil?" Evelyn takut, takut kalau dirinya hamil anaknya Criss. "Ya lo tinggal minta pertanggungjawaban dari si Criss." Siena menjawab santai pertanyaan Evelyn. "Kalau dia mau tanggung jawab, kalau dia gak mau tanggung jawab gimana?" Evelyn menyahut ketus. "Lagian gue juga gak kenal sama tuh orang. Gue gak tahu dia siapa, dan bisa aja kan kalau Criss itu cuma nama samaran doang." "Kan lo tahu tempat tinggal dia." "Iya sih," balas lirih Evelyn. "Tapi tetap aja, gue gak mau hamil, Siena." "Cobalah untuk berpikir positif, Eve! Lo gak akan hamil." "Kenapa nasib gue sial terus si?" lirih Evelyn penuh kesedihan. Siena mendekati Evelyn, lalu memeluknya. "Semuanya pasti akan baik-baik aja, Eve." "Ya, semuanya pasti akan baik-baik aja," balas lirih Evelyn. "Tapi kalau sampai gue hamil, maka semuanya tidak akan baik-baik aja, Siena," lanjutnya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN