Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu rumahku. Aku tahu siapa dia. Aku bergegas berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di balik pintu ada Firda yang berdiri sambil tersenyum.
Dia mengenakan kaos biru bergaris dan celana jeans. Aku sadar, senyumnya padaku menandakan bahwa ia sudah tidak marah lagi. Aku langsung mempersilahkannya masuk ke dalam kamarku.
“Pras, sori ya soal yang tadi. Gue sebenernya gugup, jadi kebawa emosi. Gue ngeri soalnya kita lagi di jalan. Suer, gak ada maksud kasar kok,” ujar Firda sambil duduk di atas tempat tidurku.
“Gak, Fir, harusnya gua yang minta maaf. Gua yang salah, gak inget janji gua sendiri,” ucapku.
“Sebenernya gue juga melanggar janji kok waktu di rumah Galang tadi.” Firda tersenyum.
“Waktu nonton tadi ya? Lu tadi emang sengaja yang ngegesek-gesekin itu lu ke siku gua?” tanyaku.
Firda mengangguk, lalu kami berdua tertawa renyah.
“Liat sini deh,” ucapnya tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah Firda dan menatap matanya. Matanya yang indah membuatku terhipnotis. Pelan-pelan dia menyentuh pipiku dan mengelus-elusnya.
“Masih sakit bekas tamparan gue tadi?” tanyanya mesra.
“Masih. Tenaga lu kaya kuli sih,” jawabku pura-pura meringis.
“Sialan lu! Mau gue tabok lagi apa? Hahahaha.” sergah Firda sambil tertawa.
Dengan gerakan cepat, dia mengecup pipiku. Aku menahan napas karena kaget.
“Udah? Udah gak sakit kan?” tanyanya dengan ekspresi wajah yang sangat lucu dan menggemaskan.
Aku tersenyum, membalas senyumannya. Hatiku sekarang terasa tentram dan damai. Rasanya aku jatuh cinta kepadanya, aku benar-benar jatuh cinta. Lalu kami bertatapan tanpa bicara, diam dan hening. Lalu bibirnya bergerak mendekat dan mencium bibirku. Bibirnya lembut dan hangat. Aku tak bisa tinggal diam, aku membalasnya, mencium bibirnya dengan penuh nafsu.
“Mmmh… Pras mmm..,” desahan Firda terdengar di antara ciuman.
Sambil terus melumat bibirnya, aku mendorong dia ke tempat tidur. Dia jatuh terlentang. Aku ciumi lehernya pelan-pelan, lalu aku jilati lehernya hingga ke dagunya. Firda mendesah agak keras.
“Geli…”
Setelah puas menyantap lehernya, aku kembali menatap wajahnya, dan kami tersenyum.
“Kemarin gue pikir, itu untuk yang pertama dan terakhir. Tapi ternyata kemarin kan cuma lu aja yang dapet kenikmatan, lu masih utang satu sama gua, Pras,” ucap Firda.
“Mau kaya kemarin lagi?” aku memijat-mijat bukit kembarnya dari luar kaos dengan perlahan. Ternyata dia tidak memakai daleman.
“Aaaah Praas buka aja kaos gue, gak apa-apa,” ucap Firda.
Aku menarik kaosnya ke atas, dan ia juga membantu melepaskannya. Terlihatlah di hadapanku tubuhnya yang topless. Perutnya langsing dan rata, kulitnya mulus, dan dua buah bukit indahnya yang berukuran kecil bulat sempurna dan proporsional.
“Mmm.. punya gue gak segede yang di film tadi ya?” Firda memanyunkan wajahnya.
“Kan gue udah bilang, yang kecil tu bikin gemes.”
Firda tersenyum, memperlihatkan gigi-giginya yang putih. Aku mencium keningnya.
“Terus, lu pengen diapain nih?” tanyaku menggoda.
“Terserah lu mau ngapain aja sekarang, tapi kalau gue bilang stop, lu mesti berhenti ya?” ucap Firda sambil mengusap rambutku.
“Tenang aja,” ucapku.
Sepertinya Firda sudah tidak segugup kemarin. Mungkin karena ini sudah bukan yang pertama. Dan kejadian yang sama persis seperti saat di kamarnya kini terulang kembali dan kami sama-sama mencapai puncak walau tanpa bersetubuh.
Beberapa menit kemudian Firda telentang lemas dengan napas yang tersengal-sengal. Dia tersenyum padaku, daadaku terasa hangat. Bersamaan dengan itu rasa cintaku tumbuh semakin bergelora.
“Pras, lu jangan sampai berharap dapat cinta atau sesuatu yang lebih dari gua. Lu sahabat gue, makanya gue percaya sama lu! Antara kita jangan pernah ada cinta karena gua sudah punya pilihan lain.”
Aku menatap matanya dengan wajah memelas. Ada sesuatu yang menyesak di daadaku. Apa maksudnya dengan perkataan tadi?
Apa baginya aku bukan orang yang spesial? Bukan orang yang dia sayangi? Apakah ada lelaki lain yang dia sukai? Bodoh, apa yang aku pikirkan?
Sejak awal dia memang tidak punya perasaan apa-apa padaku, dan aku belum pernah mengungkapkan apa-apa.
Tiba-tiba saja aku patah hati. Apakah perasaanku bertepuk sebelah tangan? Tapi aku tetap menghargainya, aku tak ingin menyakitinya.
Aku mengambil tisu di samping tempat tidur dan membantu mengelap cairan kentalku di mulut Firda. Aku berusaha tersenyum untuk meredakan amarahku sendiri.
“Gue ngeti kok, kita memang sahabat,” ucapku.
“Kan udah gue bilang, keluarinnya di luar…,” Dia mencubit perutku, “…tapi rasanya aneh banget ya? Lengket lagi…” Firda meringis.
“Mana gue tahu.” balasku sambil tertawa.
Tubuh kami terasa lemas. Setelah emosinya reda, kami kembali dapat bercanda dengan normal. Sore itu kami berdua bercanda sampai akhirnya jam setengah sembilan aku mengantarnya pulang. Kini aku mulai mempertimbangkan perasaanku sendiri.
“Pras, kita masih temenan kan?” tanya Firda saat dia sudah sampai di depan rumahnya dan aku pun bersiap untuk kembali pulang.
Aku mengangguk. Aku tak tahu harus menjawab apa. “TTM,” ucapku singkat.
“Teman Tapi Mesyum?” balasnya sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa.
Aku dan Firda akhirnya resmi menjadi TTM. Pada saat kumpul bersama, di depan teman-teman yang lain, kami bersikap normal seperti biasa. Dia masih akrab dengan Nania, meskipun kadang Nania suka menjadikan ingus di boneka Firda sebagai lelucon di waktu bercanda.
Sejak saat itu Nania jadi sering meledek Firda sebagai anak ingusan atau cewek ingusan. Untungnya dia tidak sadar bahwa lendir yang disentuhnya tanpa sengaja itu bukanlah ingus Firda. Andai dia tahu apa yang terjadi sudah pasti hancurlah persahabatan kami.
Dan ketika aku dan Firda mendapatkan waktu untuk berduaan, hal-hal di luar aktivitas pertemanan kadang masih sering terjadi, walau tidak lebih dari yang pernah kami lakukan saat di rumah Firda atau di rumahku. Sejauh ini kami masih sama-sama bisa saling mengontrol. Firda sudah beberapa kali sengaja datang ke rumahku sendirian.
“Pras, kalau misalnya lu lagi pengen. Maksudnya lagi pengen banget and gak bisa ditahan, telpon gue aja. Kalau gue lagi gak sibuk pasti dibantuin. Dengan catatan tidak lebih dari yang pernah kita lakukan dan tetap rahasia, oke!” ucap Firda tiap kali kami ada kesempatan bicara berdua.
[Fir dimana] Aku mengrimi dia pesan whatapp.
[Gue lagi di rumah, kenapa lu dimana] balasnya.
[Gua juga lagi di rumah sendirian]
[Ya udah gue ke sana, tunggu ya]
Di luar dugaanku, Firda malah bersemangat ingin menemuiku di rumah. Tenggorokanku terasa tercekat. Apakah Firda sudah langsung memahami apa yang aku inginkan?
[Oke] balasku singkat.
Aku menunggu di rumah dengan jantung yang tak karuan. Firda muncul dua puluh menit kemudian dengan berjalan kaki. Rumah kami masih dalam satu kawasan tetapi berbeda kompleks. Mungin karena sedang gerimis.
Saat dia akhirnya tiba di hadapanku, baju kemeja kotak-kotak yang dikenakannya tampak basah sedikit. Di sela-sela kerah kemeja yang tidak dikancingi itu, aku dapat melihat kaos putih yang ketat membungkus tubuhnya. Di bawahnya, ia mengenakan celana jeans ketat yang membuat kaki jenjangnya tercetak jelas.
“Sori Fir, jadi ngerepotin,” ujarku melihat dia sedang membersihkan bekas air di pundaknya.
“Santai aja, yu.” Ajak Firda, namun tiba-tiba ponsel Firda berbunyi. Dia segera mengambilnya dari dalam saku celannya, lalu mengangkatnya. Sementara itu, aku membetulkan posisi si jagur dalam celanaku.
“Halo….” ucap Firda pada seseorang yang meneleponnya.
Aku berusaha menguping, tapi tak terdengar jelas. Firda tak banyak bicara, dia hanya senyum-senyum malu mendengarkan suara orang di telepon itu. Dan ketika kuperhatikan lagi, aku dapat melihat wajah Firda menjadi merah, seperti orang yang merasa malu.
Belakangan, aku semakin mengerti, wajahnya yang merona merah saat itu tak sekedar berarti malu, lebih dari itu, rona merah itu karena dia sedang jatuh cinta… pada lelaki yang meneleponnya itu.
Sejak rona merah di wajah Firda muncul saat itu, dia jadi berubah. Aku merasa kalau dia sedikit demi sedikit mulai menjaga jarak dariku. Tidak cuma aku, bahkan dia juga jarang berkumpul dengan kami semua. Nania yang biasanya paling dekat dengan Firda, ikut-ikutan mengeluh.
“Anak itu kemana aja sih? Kayanya tiap kali kita ajak ngumpul dia selalu ada halangan deh,” ucap Nania saat kami berempat sedang nongkrong di kafe.
“Mana gue tahu. Kan biasanya lu yang paling deket sama dia?” ucap Alvin sambil mengutak-atik ponselnya.
“Iya, Nan, biasanya kalian selalu berdua kemana-mana, kok tumben pisah?” tanya Galang ikut bingung.
Aku hanya menyimak obrolan mereka sambil menyuap potongan kue. Dalam hati aku bisa menduga, mungkin ada hubungannya dengan seseorang yang menelepon Firda waktu itu.
“Gue curiga ada hubungannya sama cowok,” ucap Nania, membuat tenggorokanku tersedak dan nyaris batuk.
“Cowok?” tanya Galang, “Emang Firda punya pacar?”
“Masa? Si kutilang darat punya pacar?” timpal Alvin.
“Gak tahu deh, yang jelas feeling gua mengatakan begitu,” ucap Nania.
“Sebenarnya gue gak masalah kalau si Firda mau pacaran atau mau kawin sekalipun, tapi gak perlu ditutup-tutupin dari kita kan?”
“Ah lo iri kali, jomblo bertahun tahun,” ledek Alvin.
“Haha. Gue sih syukur aja kalau si Firda punya cowok. Gue sempet ngira kalian berdua lesbi!” ucap Galang diikuti tawa Alvin, aku juga ikut tertawa. Nania hanya mencibir.