Chapter 5

1404 Kata
Saat bangun tidur, aku kembali kepikiran dengan Firda. Tak tenang rasanya hatiku dan sangat takut kalau dia marah dengan apa yang terjadi di gedung film tadi malam. Usia Firda beberapa bulan lebih muda dariku, tapi meski begitu dia adalah orang yang cerdas, terutama dalam masalah pelajaran. Aku mengenal dia untuk pertama kalinya pada saat kami satu kelas di SMP. Waktu itu aku sudah akrab dengan Galang dan Alvin, Firda juga sudah akrab dengan Nania. Lalu kami berkenalan, dan mungkin itulah awal mulanya geng kami terbentuk. Pertama kali masuk dalam geng mereka, aku tidak yakin bisa bergaul dengan mereka karena aku orangnya mudah canggung di hadapan orang lain. Apalagi perempuan, bahkan terhadap Firda juga Nania. Namun ternyata mereka sangat berbeda. Keduanya sangat supel dan ramah. Firda dan Nania selalu mendekatiku lebih dulu, hingga aku bisa mengenalnya lebih akrab. Pada saat kami kumpul bersama, Firda termasuk yang selalu aktif memulai candaan dan aneka kekonyolan. Dan Nania serta Galang pasti langsung menimpalinya dengan candaan yang lebih gila dan konyol. Sementara Alvin sedikit lebih waras karena sifatnya yang tak jauh denganku. Dari semua teman gila itu, aku paling irit bicara, dan paling waras. Dan yang terpenting paling ganteng tentu saja. Bukan rahasia lagi kalau banyak cowok di sekolahnya yang naksir sama Firda. Namun dia tampaknya tidak punya keinginan untuk berpacaran. Lagi pula. Banyak yang mengatakan kalau Firda tipe cewek yang asik dijadikan teman, tetap tidak cocok dijadikan kekasih. Naum aku justru merasa Firda sangat asik jika dijadikan pacar. Intinya aku ingin dia menjadi seseorang yang lebih dari sekedar teman buatku. Untuk memastikan bahwa hubunganku dengan Firda baik-baik saja, aku harus memberanikan diri untuk datang ke rumahnya. Aku punya alasan kuat berpura-pura mengembalikan buku yang pernah aku pinjam darinya. Ketika sudah berada di depan rumahnya, aku pun segera mengetuk pintu rumahnya. Dan lama kemudian Firda muncul membukakan pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami menggemaskan. Dengan kaos putih polos seperti kemarin, hanya saja kini bawahannya memakai celana legging warna hitam tinggi selutut. Betisnya yang putih mulus laksana porselin, sontak membuatku kelilipan. Sepertinya dia sedang bermalas-malasan di rumahnya. Dan aku sudah sangat hapal jika sedang bersantai di rumah Firda selalu memakai pakaian begitu. "Eh, Pras? kok gak bilang-bilang mau ke sini?" tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. Entah mengapa senyum dan betisnya mendaadak membuatku salah tingkah tak karuan. Padahal sudah sangat sering aku melihat semuanya. "Iya Fir, kebetulan gua lewat sini dan inget mau ngembaliin buku, lu" ucapku canggung dan merasa sedikit bersalah karena telah membohonginya. "Oh iya, masuk dulu. Sorry agak berantakan," ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke rumhanya, lebih tepatnya ke ruang tamu. "Kok sepi amat, Fir. Bokap and nyokap lu pada kemana?" tanyaku basa-basi. "Nyokap ke Jakarta nemuin tante gue. Katanya sih mau beli apa gitu. Gak tahu mungkin buat dibawa ke Solo, besok. Kalau bokap ya biasa, jam segini masih kerja, dia kan liburnya hari Jum’at," terang Firda panjang lebar. "Pras kita di kamar gue aja ngobrolnya, biar lebih santai." Firda tiba-tiba bicara yang sangat mengejutkanku. Kami memang terbiasa ngobrol di kamar tapi itu dilakukan ketika kami sedang kongkow rame-reme. Baru kali ini aku bertamu ke rumah Firda secara sendirian dan mengapa langsung diajak ke kamarnya? Ah, otakku seketika traveling. Sesampainya di kamar dia, aku segera mengeluarkan buku dari dalam tasku dan menyimpannya di atas nakas kecil tempat tidurnya. Kamar Firda masih sedikit acak-acakan, boneka binatang kegemarannya belum tersusun rapi. Boneka-boneka itulah yang membuat Firda sedikit lebih terlihat feminim jika sedang di rumahnya. Firda merapikan beberapa boneka yang berserakan lalu menyimpannya di atas nakas tempat tidurnya. Ketika ia sedang menyimpan sesuatu di lemarinya dan membelakangiku, timbul keinginan yang amat besar untuk memeluknya dari belakang sambil menciumi leher belakangnya. Namun nyaliku belum sehebat itu. Aku masih tak memiliki keberanian untuk berbuat segila itu karena khawatir dia menamparku. Aku sangat menghargai Firda sebagai sahabatku. Terlebih lagi aku menyukainya sebagai perempuan yang menyenangkan sekaligus calon kekasihku. "Pras, lain kali kalau nonton di bioskop duduk deket gue, hati-hati dong. Mentang-mentang gelap, lu seenaknya aja grepe-grepe gue. Pelecehan itu namanya, tau!" Firda tiba-tiba bicara sedikit lantang dengan tetap membelakangiku. Deg! Jantungku seketika tersentak. "Lu sama gue kan sahabat. Kita janji tidak saling merendahkan atau melecehkan. Bagaimana kalau sampai pacar gue, tahu!" lanjut Firda dengan posisi yang masih tetap membelakangiku sedang merapikan lemarinya. Deg! Daadaku semakin terasa tertusuk mendengar ucapannya yang semakin menohok. Tapi kemudian dia menolehkan wajahnya menatapku seraya tersenyum lebar. "Gue, becanda kali! muka lu ampe pucat banget sih, hahahaha!" Firda tertawa lepas. Anjieeer! Makiku dalam hati dengan jantung yang seketika kembali tenang. "Iya, abisnya gua keasyikan nonton, pas adegan seru-serunya lagi. Sorry Fir, itu murni kecelakaan kok, hahaha," balasku bela diri sambil tertawa lepas juga. "Sumpah baru pertama kalinya punya gue dipegang cowok. Kaget banget gue waktu itu. Sumpah!" ucapnya sambil tersenyum. Aku sedikit melongo. Di luar sifatnya yang suka seenaknya, Firda adalah gadis yang baik-baik. Setidaknya dia bukan penganut pergaulan bebas seperti perempuan perkotaan yang lain. Tapi tetap saja, dia adalah gadis remaja yang sudah menginjak remaja, jadi mungkin saja dia sudah mengenal seks. "Apalagi gua, Fir," ucapku menimpalinya kepalang tanggung. "Haha, sama-sama pemula, tapi emang gue akui, lu gak sengaja, Pras. Soalnya wajah lu semalam juga pucat banget. Secara lu anak paling alim dari semua teman-teman gue, hehehe," puji Firda benar-benar sangat melegakanku. Plong! Daadaku seketika terasa lapang. Ternyata aku masih berhasil menyembunyikan sisi liarku, hingga sampai saat ini semua orang masih menilaiku polos dan alim. Yes, sebisa mungkin aku harus tetap bersikap kalem dan polos di hadapan semua orang. Beberapa saat kemudian, kami saling bertatapan dengan jeda waktu yang cukup lama. Sampai akhirnya aku berpikir untuk segera pulang. Namun belum sempat aku berpamitan, Firda tiba-tiba membuka mulutnya kembali. "Ehm, Pras ..." ucapnya gugup. "Ya? Kenapa, Fir?" tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar. "Ngg hmm... gimana ya, gue bilangnya, bingung!" Firda tersipu dan menundukan kepalanya. "Ada apa sih, kenapa bingung?" tanyaku berlagak santai padahal jantungku sudah kembali berdebar-debar tak menentu. "Hmm... boleh gak? Ngg..., tapi jangan bilang siapa-siapa, ya?" Firda menatapku ragu-ragu dan seperti orang yang sedang ketakutan. Aku semakin penasaran. "Maksudnya?" tanyaku dengan jantung yang terus semakin kencang pacunya. "Lu janji dulu, jangan bilang siapa-siapa, please...!" ucap Firda dengan senyum malu-malu, wajah berharap dan tatap mata yang super sayu. "Iya, gua janji. Emang mau ngomong apa sih?" Aku memelankan suaraku. Berusaha bersikap santai walau anehnya jantungku makin dag-dig-dug tak bernada. Alih-laih menjawab pertanyaanku, Firda justu kembali menunduk. Kedua tangannya bertautan di belakang punggungnya. Seketika aku teringat pada Prili adikku yang sedang dinasihati Mama karena berbuat sedikit nakal. "Lu..., lu mau gak megang ini gue lagi?” ucap Firda sambil membusungkan bagian depan tubuhnya. “Hah!” seruku tertahan dan mataku benar-benar terbelalak. “Iya gak tahu, dari sejak semalem gue penasaran banget, pengen ngerasain lagi. Jujur aja bagian yang lu sentuh tadi malam, rasanya kok jadi gatel terus." Firda bicara malu-malu, rona wajahnya bahkan sudah memerah seperti udang rebus. "Fir!" seruku makin keras. “Ya.” "Lu gak lagi ngerjain gua kan?" tanyaku dengan napas yang terasa berhenti selama beberapa detik. Sementara si jagur mendaadak ikut bergeliat dan perlahan-lahan menegang. Entah apa yang sedang dipikirkannya. "Terserah lu mau nganggapnya gimana. Gue malu banget sebenernya ngomong kaya gini. Tapi gue percaya kalau lu bisa jaga rahasia ini," ucap Firda dengan kepala yang tetap menunduk. Aku mencubit pahaku. Meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan mimpi basah di pagi hari. Ini benaran sungguh terjadi di alam nyata. Apa yang aku dengar bukan sebuah halusinasi. Ini memang terdengar konyol dan kekanak-kanakan, tapi aku kenal Firda. Dia bisa saja seperti itu. Mungkin ini hanyalah nafsu sesaatnya. Mungkin dia tak punya perasaan apa-apa padaku, dan di luar dugaanku, mungkin memang dia agak naif dalam urusan semacam ini. "Ya udah, gue cuma bercanda kok! Gak juga gak apa-apa. Tapi lu udah janji ya gak akan bilang siapa-siapa," ucap Firda tiba-tiba, sambil tertawa yang dipaksakan. Tapi ada sorot kecewa dari tatapan matanya. Sebagai remaja yang sebenarnya sudah dari semalam aku menginginkan ini, maka akhirnya aku tidak bisa lagi menahan rasa penasaranku dan tenggelam dalam kemunafikan. Tanpa banyak tanya lagi, aku langsung berdiri dan melangkah maju mendekatinya lalu memeluk Firda dengan sangat berghairah. Tubuhnya yang langsing dan tinggi, kini sudah berada dalam dekapanku. Aku dapat merasakan kehangatannya, kelembutan dan kerapuhannya, begitu juga dengan wangi rambutnya yang membuatku melayang. Lalu aku tatap matanya, dan aku kecup bibirnya dengan lembut. Kecupan itu berubah jadi lumatan, lalu hisapan. "Mmmhh..." Akhirnya hanya suara lenguhan pelan yang terdengar di antara kami. ^^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN