Gea perlahan mengerjapkan kedua matanya, dia ingat semalam tertidur cukup larut malam karena ia sudah tidak bisa tidur lagi setelah ia ketiduran sampai malam. Saat menyadari bahwa ada sesuatu yang terasa berat pada perutnya membuat gadis itu berusaha menyingkirkan apapun yang menindih perutnya sembari masih dalam kondisi setengah sadar.
Begitu Gea memegang sesuatu yang terasa seperti sebuah tangan, gadis itu segera melirik ke arah perutnya dan terkejut saat melihat adanya sebuah tangan yang rupanya tengah memeluk perutnya erat. Refleks Gea melirik ke arah samping tempat tidurnya dan ia semakin dibuat kaget ketika mendapati sosok Rendra yang tengah tertidur dengan cukup pulas di sampingnya.
Gea segera terbangun dan duduk di samping tempat tidur, ia menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan langsung bisa bernapas dengan lega setelah mendapati bahwa ia masih mengenakan pakaian lengkap. Yang artinya ia dan Rendra tidak melakukan apapun atau dia tidak diapa-apakan oleh pria itu. Dengan menyadari adanya sosok Rendra yang entah sejak kapan sudah masuk ke dalam kamarnya membuat degup jantung Gea berdetak dengan sangat kencang. Tentu saja sebagai seorang gadis yang minim pengalaman, Gea merasa tingkah Rendra padanya saat ini selayaknya suami istri yang tidak sungkan untuk tidur dalam satu ranjang yang sama sekalipun mereka tidak melakukan apapun.
Dengan segera Gea ingin beranjak pergi dari ranjang tersebut dengan wajah yang sudah memerah, akan tetapi dia harus kehilangan keseimbangannya ketika sebelah tangannya ditarik dengan cepat hingga gadis itu kembali jatuh ke atas kasur dan menindih d**a bidang Rendra. Gea memekik kaget sambil mengusap jidatnya yang terasa agak sakit, dia tidak mengira bahwa d**a pria itu akan cukup keras hingga membuatnya kesakitan.
"Mau kemana pagi-pagi begini hm?"
Gea langsung mendongakkan kepalanya, menatap sosok Rendra yang tampak tersenyum dan kedua matanya masih menyipit menandakan bahwa pria itu baru saja terbangun karena ulahnya. Gea langsung merasa gugup, dia menelan ludahnya dengan susah payah dan ingin kembali bangun dari posisinya yang menurutnya kurang pantas ini.
"Mm aku mau mandi dan siap-siap kembali ke kosan Mas."
"Kalau mau kembali ke kosan untuk pindahan biar Mas antar, tapi tidak perlu terburu-buru. Lagi pula sekarang masih tanggal merah dan kamu juga libur kerja, jadi temani Mas tidur sebentar saja." Suara Rendra terdengar serak khas orang yang baru bangun tidur, terdengar sangat nyaman dan seksi untuk didengar oleh Gea hingga wajahnya semakin merona tanpa bisa dia cegah.
"Tapi Mas, aku ...,"
Rupanya Rendra tidak mau mendengarkan perkataan Gea, dia saat ini justru semakin memeluk Gea dengan cukup erat dan membuat gadis itu mau tak mau hanya bisa pasrah. Menerima kehangatan dari dekap hangat Rendra yang membungkus tubuhnya. Jangan tanyakan bagaimana degup jantungnya yang sudah seperti mau meloncat keluar sedari tadi. Ini adalah salah satu momen paling intim yang dia alami bersama Rendra.
Entah mengapa setelah pria itu ketahuan oleh Gea telah memiliki istri, justru tingkah Rendra semakin hari makin membuat Gea merasa agak was-was. Karena dulu pria itu adalah sosok yang sangat sopan dan tidak pernah melakukan hal-hal yang di luar batas. Mereka memang sebelumnya pernah bergandengan tangan, berpelukan atau sekedar berciuman walau hanya sekedar kecupan ringan. Tapi dulu Rendra hanya melakukan itu sebentar saja dan tidak seperti saat ini.
Sekarang tingkah pria itu menjadi semakin berani, memeluk Gea di atas ranjang dengan posisi tubuh mereka yang menurut Gea sangat rentan untuk sepasang kekasih. Juga pria itu beberapa hari terakhir ini juga telah menciumnya dengan cukup brutal dan Gea sangat sadar bahwa ciuman itu lebih dari sekedar ciuman karena cinta, lebih merujuk pada nafsu yang bercampur di dalamnya.
"Apa yang kamu pikirkan?"
Rupanya Gea yang sedari tadi termenung memikirkan tingkah laku Rendra telah disadari oleh pria itu, membuat Gea langsung mengalihkan pandangannya enggan untuk balik menatap sorot mata Rendra. Gea memang masih mencintai pria itu, tapi di sisi lain dia juga merasa bahwa dia agak takut dengan sosok pria itu yang semakin lama terasa semakin jauh untuk bisa dia jangkau. Rendra perlahan seolah menjadi sosok lain yang bukan lagi pria yang dulu dia idam-idamkan meskipun ia masih sosok yang sama. Bisa jadi pria itu kini telah menunjukkan sisi dirinya yang lain, atau bisa jadi sosok aslinya yang kini telah dia tunjukkan pada Gea secara perlahan.
"Bukan apa-apa, kurasa jangan begini Mas. Ini sepertinya kurang pantas untuk kita." Gea mengungkapkan perasaannya, dia enggan untuk mengakui perasaannya yang sesungguhnya bahwa dia tengah meragukan pria di depannya.
"Apanya yang tidak pantas? Mas tidak melakukan apa-apa, hanya memeluk kamu saja. Apa kamu merasa risih karena Mas memeluk kamu seperti ini?"
Gea tidak menjawab, karena dia tidak ingin memancing keributan. "Bukan begitu, kenapa kamu malah ada di sini sekarang? Bukankah kamu seharusnya berada di rumah bersama istrimu?"
Teringat kembali akan sosok wanita cantik yang tampak dewasa saat bertemu di toko kue membuat Gea harus menahan rasa sesak dalam dadanya sekuat mungkin. Dia tidak ingin menunjukkan emosinya di depan pria itu untuk saat ini.
"Jangan membahas hal itu, cukup fokus pada kita saja untuk saat ini."
"Tidak Mas, kita tetap harus mempertegas hubungan di antara kita saat ini. Aku tidak ingin terus-menerus menjadi duri dalam hubungan rumah tanggamu!" Gea memberanikan diri untuk kembali mengungkit masalah ini, sekalipun ia sekali lagi harus mengulik luka dalam hatinya karena merasa dibohongi selama ini.
"Aku tidak bisa menceraikan istriku untuk saat ini Gea, dia baru saja hamil anakku."
Pada akhirnya dengan berat hati Rendra mengatakan hal itu, karena dia tidak bisa terus-menerus menutupinya. Ia tahu bahwa apa yang dia katakan saat ini pasti akan menyakiti Gea, tapi jika ia harus berbohong lagi pada gadis di depannya dia takut malah akan membuat Gea mengecapnya sebagai pria yang terus-terusan membohonginya.
Mendengar hal itu Gea langsung terdiam, detak jantungnya semakin memacu dengan kencang. Kepalanya seakan berasap dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Seketika dia begitu berhasil mencerna perkataan pria itu langsung mendong d**a Rendra dan bangun dari tempat tidurnya. Dia duduk memunggungi pria itu dan menengadahkan kepalanya ke atas, berusaha menghalau air mata yang sudah siap tumpah tanpa bisa dia tahan lagi.
Baru tadi untuk sesaat dia merasa berdebar oleh pria itu di pagi hari, tapi dalam sekejap pria itu telah berhasil mengacak-acak perasaannya hingga kembali mendung. Suara isak tangis kecil keluar dari bibir Gea tanpa bisa dia tahan. Dia benar-benar dilema untuk saat ini, ingin pergi sejauh mungkin dari pria itu andai saja Rendra tidak selalu menahannya agar tidak pergi dari sisinya.
"Kalau begitu selamat ya Mas, kamu akhirnya akan memiliki seorang anak. Sebaiknya kamu sekarang pulang dan menemani istrimu, dia sedang hamil dan pastinya sangat membutuhkan kamu untuk selalu ada di sisinya." Gea menyeka air mata yang menetes di kedua pipinya dengan kasar.
Berusaha sebisa mungkin untuk tersenyum dan bersikap seolah-olah tidak terjadi apapun pada dirinya. Sekalipun rasa sakit itu terasa bagai duri yang terus menggerogoti hatinya dari dalam secara perlahan.
"Aku tahu kamu pasti kecewa, tapi aku juga tidak bisa berbuat apapun dalam kondisi seperti ini Gea. Pada awalnya memang aku dan Rena telah berniat untuk berpisah karena hubungan kita sudah renggang sejak lama, tapi saat aku mulai memantapkan perasaanku untuk berpisah, justru kabar mengenai kehamilan Rena membuatku tidak bisa berbuat apa-apa."
Gea tidak tahu harus mempercayai siapa, perkataan Rendra untuk saat ini tidak bisa dia percayai dengan penuh. Karena pria itu telah membohonginya selama ini hingga membuat Gea merasa bagai orang bodoh yang selalu bermimpi tinggi akan harapan bisa bersama dengan pria itu dan berakhir menjalani hubungan rumah tangga dengan bahagia dengannya. Tapi kenyataan seakan menampar semua impiannya hingga hancur menjadi kepingan-kepingan kaca yang tajam dan menusuk tiap jengkal tubuhnya secara perlahan.
Suara dering telepon milik Gea membuat gadis itu dengan segar mengambilnya dan menggunakan kesempatan itu untuk pergi dari hadapan Rendra menuju ke luar kamar apartemen. Ia mengangkat panggilan telepon dari ibunya meskipun dia merasa agak enggan karena kurang lebih dia sudah paham apa maksud ibunya menelpon Gea untuk saat ini.
"Assalamualaikum Bu."
'Walaikumsalam, Gea Ibu sangat bersyukur karena kamu akhirnya bisa menemukan sosok laki-laki yang sangat baik dan mau membantu keluarga kita. Tolong sampaikan rasa terimakasih Ibu pada calon suamimu karena dia telah bersedia menanggung biaya rumah sakit nenekmu untuk cuci darah dan memberikan uang untuk keperluan sehari-hari kita di rumah. Pokoknya kamu harus baik-baik menjaga calon suamimu jangan sampai melepaskannya, Ibu sangat senang dan lega karena di sana rupanya ada sosok pria yang bisa menjaga kamu.'
Gea masih terdiam, mencerna semua yang dikatakan oleh ibunya. "Maksud Ibu, siapa yang sudah menanggung biaya rumah sakit nenek?"
'Tentu saja calon menantu Ibu, dia Nak Rendra. Pokoknya Ibu titip calon menantu Ibu agar kamu jaga baik-baik ya. Sudah dulu, Ibu mau kembali ke rumah sakit untuk menjaga nenekmu.'
Seluruh tubuh Gea langsung terasa lemas seketika, dia sama sekali tidak mengira bahwa Rendra bahkan akan melakukan hal sampai seperti ini untuk keluarganya. Dia bukannya merasa senang, justru ia merasa bahwa ia semakin terjerat dan akan sangat susah untuk bisa lepas dari pria itu jika hal ini menjadi seperti ini.
Hutang budi ini, bagaimana dia bisa membalasnya?