"Rana, apa kamu baik-baik saja?" Rendra yang baru saja terbangun dari tidurnya segera bergegas ke kamar mandi saat mendengar suara muntahan dari dalamnya.
Jelas dia mengetahui bahwa Rana saat ini tengah mengalami morning sickness. Melihat wajah pucat dan tubuh lemah istrinya, mau tidak mau membuat Rendra merasa bersalah dalam hatinya. Rana adalah istri yang baik selama ini. Namun bagaimanapun perasaan tidak bisa dipaksakan. Dia telah mencoba setelah sekian tahun bahwa dia tidak bisa sepenuhnya mencintai wanita ini. Seolah ada batu yang selalu mengganjal dalam hatinya hingga perasaannya saat ini hanya sebatas sayang. Mengingat mereka telah bersama selama beberapa tahun ini.
Rendra menggendong tubuh kurus Rana kembali ke kasur. Menaikkan selimut hingga sebatas d**a dan menyeka keringat yang membasahi dahinya.
"Apakah masih tidak nyaman?"
Rana tersenyum, dia merasa senang dalam hatinya tiap kali mendapati sikap hangat dan lembut dari Rendra. Meski tetap saja rasanya sama seperti dia tengah memegang mawar berduri. Semakin indah dan menyenangkan untuk dilihat, namun secara perlahan juga terasa menusuk dan membuatnya berdarah tanpa sadar.
"Baik tidurlah, aku akan memesan makanan dan membuatkan s**u ibu hamil untukmu. Jangan kemana-mana dan beristirahat dengan baik selagi aku pergi." Rendra mengusap perut Rana perlahan sebelum pergi keluar dengan senyum hangat di bibirnya.
Tepat setelah kepergian pria itu, tangan Rana yang ada di balik selimut telah terkepal erat hingga kuku tangannya tanpa sadar menancap pada telapak tangannya. Dia menekan rasa sakit akibat tertusuk kukunya sendiri. Karena jika dibandingkan dengan rasa sakit hatinya, itu semua sama sekali tidak sebanding.
"Maafkan aku Mas, kuharap aku bisa mengubur rahasia ini dalam-dalam seumur hidupku."
Setelah setengah jam kemudian, akhirnya Rendra kembali ke dalam kamar dengan nampan berisi semangkuk bubur dan juga s**u ibu hamil. Dia meletakkan nampan di atas nakas, mengambil mangkuk bubur dan berniat untuk menyuapi istrinya. Terlebih dahulu dia membantu Rana untuk duduk dan menyandarkan bantal di belakang punggungnya di kepala ranjang.
"Bagaimana rasanya?"
"Enak, makasih Mas. Kamu hari ini nggak kerja?" Rana berkata dengan suara lembut seperti biasanya. Wajahnya yang pucat secara perlahan mulai memiliki warna dan tidak lagi sepucat tadi.
"Mas khawatir dengan kondisi kamu, jadi hari ini Mas akan mengambil cuti dan hanya meminta orang kepercayaan Mas untuk mengawasi kantor. Mas akan meninjau pekerjaan dari rumah."
Rana tersenyum manis, dia sangat senang dengan perhatian Rendra yang seperti ini. Ini adalah kali pertama pria itu rela melakukan cuti kerja untuknya. Karena biasanya pria itu akan selalu memiliki alasan untuk berangkat kerja. Bahkan saat dia sakit, dia akan meminta mama mertuanya untuk menemaninya dan dia tetap bekerja. Namun kali ini, rasanya sungguh berbeda.
"Mas, bisakah kamu lebih sering peduli dan menemaniku seperti ini ke depannya?"
Rendra yang tengah menyendok bubur berhenti. Ada jejak keraguan di wajahnya. Namun dengan cepat dia tepis dan mengubahnya menjadi sebuah senyum manis. "Tentu, Mas ke depannya akan lebih memperhatikan kamu dan juga anak kita. Bagaimanapun, ini adalah anak pertama kita. Mas tentu saja sangat tidak sabar dengan kehadirannya."
Merasakan hangat pada perutnya yang agak membuncit. Rana diliputi perasaan bahagia yang kontras dengan rasa bersalah dalam hatinya. Dia menekan keras perasaan tersebut dan lebih memilih untuk menikmati momen kebersamaan mereka berdua. Terlepas dari beban pikiran yang selama ini telah mengganggunya.
Di tempat lain, Gea saat ini menatap restoran mewah di depannya. Ada perasaan ragu untuk masuk ke dalam. Namun setelah membaca pesan di ponselnya, dia hanya bisa menghela napas panjang dan memaksakan diri untuk masuk.
Sebagai seseorang dengan perekonomian rendah dan telah banting tulang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tentu saja Gea tidak akan berpikir untuk makan di restoran mahal. Namun dia tidak bisa menolak saat mengetahui siapa yang memintanya untuk bertemu kali ini.
Ada rasa takut, gugup, dan juga bimbang dalam dirinya. Namun dia ingin bertaruh. Jika memang kedatangannya kali ini bisa membuatnya lepas dari Rendra. Maka ini sebanding. Meskipun dia mungkin akan mendapatkan penghinaan seperti apa yang telah dia tonton dalam drama atau film mengingat status sosial mereka yang berbeda.
Wanita paruh baya itu ada di seberang meja yang letaknya di pojok restoran. Tidak terlalu mencolok dan tampak bisa lebih memberikan ruang untuk mereka berdua. Tanpa harus khawatir akan tatapan orang lain yang mungkin penasaran.
Gea mencoba memaksakan diri untuk tetap menegakkan kepalanya dan tidak menunjukkan gestur rendah diri di depan orang tua Rendra. Meski dia tidak tahu apakah tindakannya ini akan dianggap tidak sopan atau tidak. Dia hanya mencoba untuk melindungi dirinya sendiri. Bagaimanapun dia sadar bahwa dia salah dalam hubungan ini.
"Maaf membuat Anda menunggu lama." Gea menundukkan kepalanya sekilas dan balik lagi menegakkan kepalanya sebagai bentuk permintaan maaf.
Nyonya Imelda memperhatikan sosok Gea selama beberapa saat. Gea juga tidak bisa berkutik ditatap dengan begitu intens oleh wanita paruh baya itu dengan tatapan menilai yang sangat jelas sekali dalam pandangan matanya.
"Bagus, jadi seperti ini sosok wanita yang bisa membuat anak saya sampai bertekuk lutut."
Gea terdiam. Dia tahu itu adalah sebuah bentuk sarkasme yang dilemparkan padanya oleh wanita paruh baya di depannya. Namun dia hanya diam. Mencoba untuk menenangkan dirinya untuk tidak terpengaruh sama sekali. Meski rasanya ada ribuan jarum yang menusuk dadanya hingga dia harus mati-matian menahan agar kedua matanya tidak memerah.
"Apakah kedatangan Anda kali ini karena Anda ingin memisahkan kami?" Gea mencoba berbicara dengan suara tenang, seolah tidak terpengaruh.
"Bagaimana menurutmu?"
"Saya tidak keberatan. Karena ini juga keinginan saya. Saya tahu mungkin Anda saat ini sudah memandangi saya sebagai wanita yang tidak tahu diri dengan menjadi duri dalam rumah tangga putra Anda. Saya sadar itu. Saya bisa meninggalkan Rendra, dengan satu syarat."
"Sebutkan!"
Meski di luar Gea tampak bisa berbicara dengan lancar dan tenang, namun di bawah meja telapak tangannya tengah berkeringat dan mencengkeram ujung rok yang dipakainya hingga kusut.
"Saya tidak akan meminta apapun dari Anda dalam bentuk materi. Hanya tolong, bantu saya untuk pergi jauh dari kehidupan Mas Rendra tanpa pria itu ketahui."
Sosok nyonya Imelda menyesap kopi di atas meja dengan gaya yang elegan. Rambutnya yang disanggul rapi terlihat mempertegas aura elegan wanita paruh baya itu di usianya hingga terlihat bermartabat.
"Bagaimana jika saya tidak mau melakukannya?"
"Maka saya hanya perlu waktu sebelum bisa lepas dari Mas Rendra. Bagaimanapun, dia tidak akan pernah bisa membiarkan saya pergi begitu saja di bawah pengawasannya."
Gea sama sekali tidak menyentuh kopi yang telah dipesankan untuknya. Dia hanya berdiri tegak. Dengan tatapan mata dan tekad yang kuat dalam kedua matanya.
"Kamu wanita yang cukup menarik. Hanya saja, tujuan saya kesini bukan untuk itu."
Sosok wanita paruh baya itu tampak mengeluarkan sebuah dokumen dari tasnya. Mengulurkan dokumen tersebut di depan Gea yang membuat Gea mengerutkan keningnya heran dan tidak mengerti apa maksudnya.
"Bacalah."
"Ini ..."