Mitha mengerutkan dahinya, menatap Freya penuh selidik. "Kesepakatan? Apa maksudmu?"
Jika Mitha terlihat tidak sabaran dengan apa yang akan di dengarnya, berbeda dengan Freya yang terlihat begitu santai dan tenang. Bahkan saat ini dirinya beranjak dari atas kasur, berjalan ke arah meja rias yang kini di penuhi dengan perlengkapan kecantikan milik Mitha.
Freya duduk di kursi khusus yang dulu biasa ia pakai untuk menata sendiri make up di wajahnya. Memperhatikan dirinya dari dalam pantulan kaca besar yang di hiasi lampu lampu di setiap sisinya. Entah kenapa, tiba tiba saja bayangan tentang kejadian saat dirinya memergoki sang suami yang membawa perempuan lain di kamar itu, melintas begitu saja. Segera Freya menyadarkan diri dari lamunannya. Menegaskan jika rencananya harus berjalan lancar, dengan begitu, Freya akan pergi dari kehidupan Zyan tanpa penyesalan sedikit pun.
"Menikahlah dengan suamiku, secara resmi," ucapnya tanpa keraguan.
Mata Mitha membulat sempurna, tak menyangka jika Freya akan mengatakan hal yang di luar dugaannya. Setelahnya, sebuah senyum sumringah terbit di wajah Mitha yang di penuhi make up, padahal dia sedang berada di apartemen dan tak ada yang melihatnya, untuk apa juga menggunakan make up seperti itu? Freya bisa melihat semua ekspresi Mitha dari dalam kaca riasnya.
"Oh, tanpa perlu kamu minta pun aku akan melakukannya dengan senang hati." Mitha memutar matanya sambil menggulung gulung rambutnya menggunakan jari telunjuk, seperti perempuan centil yang ingin menggoda laki laki.
"Dengan syarat," pungkas Freya dengan tegas.
Pergerakan Mitha terhenti, sudut alisnya terangkat, menatap Freya dari melalui kaca.
"Kamu harus mendesak Mas Zyan untuk menceraikan aku, meyakinkan Mama Renata kalau kalian berdua saling mencintai. Aku memberikanmu waktu selama enam bulan kedepan, terhitung sejak hari ini. Setelah aku pulang luar negeri, kamu sudah harus berhasil melakukan itu semua. Tapi ..." Freya menggantungkan kata katanya. Entah kenapa rasanya sangat berat, tapi sekali lagi Freya sudah mantap dengan keputusan yang akan di ambilnya, apa pun resiko yang akan di hadapinya dia sudah sangat siap.
"Tapi apa?" tanya Mitha tak sabaran. Kedua tangannya sudah meremas ujung baju tidur mini yang di kenakannya.
Freya bangkit dari duduknya, berjalan dengan santai ke hadapan Mitha, lalu mengumbar senyum manis penuh seringai di wajahnya. "Kalau sampai saatnya kamu belum berhasil meluluhkan hati Mama Renata dan suamiku masih belum berniat menceraikan ku juga." Kembali menjeda ucapannya beberapa detik.
"Dengan terpaksa, aku akan mengambil semua yang seharusnya menjadi milikku. Semua akan terbalik, aku akan melakukan cara apa pun untuk meyakinkan suami dan mertuaku kalau hanya aku yang pantas menjadi Nyonya Muda pertama di keluarga Edward. Dan kamu ... Akan di tendang secara paksa." Menghela napas panjang, mengulum senyum licik, menatap perempuan ular di hadapannya.
Mitha mulai kesal, "Kamu pikir siapa kamu, hah?" Sebelah tangannya sudah bersiap melayang di udara untuk mendarat di wajah Freya. Tapi sayangnya, Freya sudah bisa membaca terlebih dahulu pergerakan Mitha, dan menangkisnya dengan cara mencengkeram erat tangan Mitha.
"Jangan pernah melampaui batasanmu, Mitha. Aku masih berstatus istri sah Mas Zyan, dan kamu ... Hanya penggoda yang enggak punya malu." Membalas menatap Mitha, iris hazel Freya pun terlihat mulai berapi api melihat keberanian Mitha yang ingin menamparnya.
Keduanya terlibat adu tatap penuh kebencian dalam beberapa detik. Sebelum akhirnya Freya melepaskan tangan perempuan yang lebih tinggi tiga centimeter darinya itu.
Dengan angkuh dan percaya dirinya, Mitha menganggukkan kepala dengan cepat, menyetujui semua kesepakatan yang di buat oleh Freya. "Oke. Sepakat. Bahkan sebelum enam bulan, aku pastikan Zyan akan menjadi milikku seutuhnya. Bersiaplah untuk menjadi janda." Tersenyum meremehkan Freya.
Hati Freya sakit sekali mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan Mitha. Benarkah dia sudah siap menjadi janda? Bisakah Freya menghadapi kenyataan itu kelak? Akan banyak hati yang ikut menjadi korban, selain dirinya. Tentu kedua orang tuanya akan shock jika mengetahui tentang fakta sebenarnya pernikahannya dengan Zyan.
Freya menutupi rasa sakit itu dengan tawa kecil yang cukup membuat Mitha menggeram. "Selamat berjuang. Fighting," ucapnya sambil menggoyangkan sebelah tangannya yang terkepal di hadapan Mitha. Lalu melangkahkan kakinya dengan elegant, keluar dari kamar yang di penuhi aroma perselingkuhan itu.
Kali ini, entah kenapa perasaan Freya lebih lega dari yang sebelumnya. Meski pun aura kekesalan masih menggelayut di benaknya, tapi Freya merasa lebih baik setelah menyampaikan semua keinginannya untuk membuat kesepakatan dengan Mitha.
Kini perempuan itu tengah berada di dalam lift khusus. Freya mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya setelah mengabaikan beberapa panggilan dan pesan masuk yang tak henti sejak tadi.
"Gista, sudah ku duga dia pasti akan mengirimi banyak pesan seperti ini. I'm sorry Gis, aku lagi enggak selera tampil sempurna di hadapan media. Aku lagi ingin merasakan kebebasan hatiku saat ini," gumannya. Lalu menonaktifkan ponselnya.
Selain Gista, ada beberapa nama lain yang menghubunginya, salah satunya Zyan. Terhitung ada tiga panggilan dan satu pesan yang di abaikannya. Tapi Freya tidak peduli, masa bodoh apa pun yang akan terjadi. Freya sudah memutuskan. Permainannya akan ia mulai dari sekarang. Sudah saatnya Zyan dan keluarganya melihat sisi Freya yang berbeda.
"Mari kita mulai, mas. Aku ingin lihat, seberapa sanggup kamu bisa mengatasi semuanya." Seringai licik kembali mengurai senyum di wajahnya.
Jika biasanya Freya selalu menutupi dirinya saat berada di depan umum, saat ini Freya tidak akan melakukannya lagi. Freya akan lebih sering pergi keluar rumah tanpa pengawasan bodyguard atau pun asisten dan sang manager. Salah satu dari rencana yang akan di lancarkannya.
"Ah, perutku lapar sekali. Karena terlalu bersemangat, sampai aku lupa untuk makan." Meraba perutnya yang rata.
Karena apartemen milik Zyan terhubung langsung dengan pusat perbelanjaan, tanpa pikir panjang Freya mengarahkan langkahnya untuk pergi ke sana. Mencari restoran lezat yang akan mengganjal perutnya dengan makanan super nikmat andalan mereka.
Baru saja Freya menginjakkan kakinya di lantai mall, sudah banyak orang yang langsung mengenalinya, entah itu fans atau pun hatters. Terserah, Freya tidak peduli. Ia dengan ramahnya membalas sapaan untuknya, bahkan ada yang mengambil potonya secara terang terangan, ia tak merasa keberatan. Hanya saja, Freya memberi isyarat jika dirinya harus mengisi perutnya yang kosong dan meminta maaf tidak bisa meladeni permintaan mereka untuk berfoto bersama.
Begitu pula selama di dalam restoran, Freya tetap menjadi dirinya sendiri, melahap makanan yang telah di pesannya tanpa rasa canggung sedikit pun. "Hah, kenyangnya." Menyandarkan tubuhnya di kepala sofa.
Freya melirik arloji di pergelangan tangannya, "Baru jam delapan malam. Masih sempat untuk berbelanja."
Setelah membayar semuanya, Freya langsung beralih memasuki toko pakaian. Mencari pakaian santai yang akan di kenakannya saat itu juga. Sangat tidak pantas memakai gaun malam hanya untuk berjalan ke mall seperti itu.
Tiba tiba, bahu Freya di tepuk dari belakang. "Freya," panggil seseorang.