Dengan berat hati Araya kembali ke dalam warung. Langkahnya terlihat malas. Malas menghadapi dua manusia songong yang tidak tahu diuntung.
"Why the song is still the same?" Benar, kan? Belum juga Araya sampai di mejanya, si Bule sudah protes lagi. Dan yang melakukan protes masih orang yang sama—si Rambut Cokelat.
"My boss doesn't have another songs." Araya tak sudi berbasa-basi lagi.
"What a f-...."
Belum selesai si Bule bicara, Araya sudah menyela. "Sir, if you want a good music, just go to the club! Why are you here? " Rupanya selain sudah tak sudi basa-basi, Araya juga sudah lelah berpura-pura. Sekarang ia tak ragu lagi untuk menunjukkan kekesalannya. Tidak ada untungnya bersabar pada orang yang kurang ajar.
Mendadak Araya dan dua bule itu menjadi pusat perhatian. Salah seorang teman Araya—Lestari—datang menghampiri mereka. Ia mencoba menenangkan Araya. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
"Kamu yang sabar dong!" peringatnya.
"SABAR GIMANA? ORANG MEREKA BERDUA SONGONG, NYEBELIN! TAIK!" Araya malah meneruskan amukannya.
Lestari menutup kedua telinganya karena teriakan Araya itu. Mengerikan sekali.
Araya berbalik tanpa mempedulikan siapa pun. Termasuk Lestari, dua bule, dan juga pelanggan lain yang masih memandangnya heran. Araya memutuskan untuk kembali ke dapur, ia sudah muak. Mungkin besok ia tidak akan bekerja lagi di sini. Sudah gajinya kecil, makan hati pula!
"Sir, please forgive my friend. Maybe she's just on her periode right now!" Lestari meminta maaf mewakili Araya. Lestari seakan sudah siap mendengar bentakan, makian, bahkan umpatan. Tapi ternyata, yang terjadi selanjutnya bertolak belakang dengan dugaan.
Si Rambut Cokelat tersenyum tulus, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "It's okay. Your friend is really attractive."
Kening Lestari berkerut, tanda tak mengerti, sekaligus heran.
"He did all the shits on purpose!" celetuk si Pirang.
Lestari memutar otak berusaha memahami arah pembicaraan mereka. Si Pirang sepertinya mengerti bahwa Lestari kebingungan dengan maksudnya. Maka ia segera meluruskan. "Taylor couldn't take his eyes off of her since we arrived here. So, we planned all the annoying thing to see her truly self. And now I have to admit that she's so cute!"
Oh, Lestari kini mengerti. Si Rambut Cokelat—yang ternyata bernama Taylor itu—sengaja melakukan hal-hal menyebalkan untuk mengerjai Araya. Ia ingin melihat bagaimana kepribadian gadis itu. Semua dilakukan semata-mata karena Taylor tertarik padanya.
Lestari bersyukur dalam hati. Akhirnya ada juga laki-laki yang betah dengan sifat Araya yang mudah naik darah. Dan anehnya justru menganggap bahwa sifat buruk Araya itu sebagai sesuatu yang cute?
"Ah, I'm so glad. I thought you're really mad," ucap Lestari akhirnya.
"No, I'm so sorry for making you worry." Taylor mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. "Can I have her number, please?"
***
Taylor Jonas McAdam, lelaki keturunan Inggris, yang lahir dan besar di Dallas, Texas, Amerika Serikat. Perawakannya tinggi dengan tubuh yang ideal. Memiliki rambut berwarna cokelat, serta mata hazel yang indah.
Taylor merasa kurang senang saat dirinya dipindahtugaskan ke Indonesia. Apalagi cabang BARRA yang ada di sini terletak di kota terpencil. Taylor merasa dibuang. Meskipun sebenarnya bukan hanya dirinya yang mendadak dipindahtugaskan.
Hingga malam ini, Timothy mengajaknya keluar dari mes karyawan. Awalnya Taylor menolak, tapi karena Timothy memaksa, Taylor akhirnya mau juga.
Lelaki itu heran saat Timothy menghentikan langkah kaki di depan sebuah tenda kecil yang terkesan kumuh. Tapi setelah ia masuk, dan melihat Araya sedang menyajikan pesanan bagi pelanggan, Taylor seketika merasa dunianya berhenti berputar. Pandangan matanya seakan tak bisa beralih dari gadis itu.
Seorang gadis mungil berambut hitam, parasnya sungguh menawan, meski dengan penampilannya yang sederhana. Timothy menyadari keanehan pada sahabatnya, maka ia memutuskan untuk membantu Taylor. Mungkin dengan kehadiran seorang gadis, Taylor akan cepat beradaptasi di sini.
Good evening!
Taylor baru saja mengirim pesan singkat itu ke nomor Araya. Timothy di sebelahnya terlihat menyimak. Mereka menunggu lima menit, namun Araya tetap belum membalas.
"Why don't you just call her?" tanya Timothy.
"I did it, but she didn't pick it up," jawab Taylor lesu.
"Woah, this girl is really something! Or maybe she knows that it's you. That's why she ignored all the messages and the calls." Timothy tertawa setelah mengatakannya.
"F*ck you!"
Taylor tersentak saat handphone-nya bergetar. Wajahnya berseri-seri melihat pesan singkat yang baru masuk. Sayang, wajahnya yang berseri-seri tak bertahan lama. Ia gagal memahami satu kata dalam pesan itu.
Siapa?
Taylor berpikir keras, berusaha mengingat-ingat apa arti dari kata ini. Sebelum berangkat ke Indonesia, ia dan yang lain sempat dibekali pelajaran Bahasa Indonesia dasar. Sayangnya, karena Taylor tidak suka dengan rencana kepindahannya, ia jadi tak tertarik. Maka jika sekarang ia tak tahu arti dari kata siapa, itu adalah seratus persen salahannya sendiri.
***
Perlahan namun pasti, hubungan Taylor dan Araya mulai berjalan dan berkembang terlalu pesat. Semua berjalan terlalu jauh, sampai Taylor lupa mengatakan sebuah fakta besar.
Tuhan menghukum mereka dengan caranya sendiri. Ia membuat Araya hamil. Sayang, di saat yang bersamaan, Taylor mendapat perintah dari keluarganya untuk pulang. Mungkin Taylor tak akan pernah kembali.
"Taylor, how about me? At least, you have to marry me!" Araya memelas. Bagaimana nasib dirinya—dan bayi mereka yang bahkan belum lahir—jika Taylor benar-benar kembali ke Amerika?
"I'm so sorry, Raya. I love you. But, I have a family in the US."
"So tell your parents that you got a girlfriend here."
"I can't, Raya. I'm sorry!"
"But ... why?"
"I'm a married man, Raya." Siratan penyesalan terlihat jelas pada wajah Taylor. "I have a wife and a baby already."
Araya seakan terpaku pada tempatnya. Bagaimana bisa? Kenapa Taylor tak pernah mengatakan apa pun sebelumnya?
"Our baby ... if it's a boy, name him Lionel. If it's a girl, name her Elleanor."
"You know I'm pregnant, and you're still leaving?" Araya berkata jujur. Ia belum mengatakan apa pun pada Taylor tentang kehamilannya. Taylor sudah mengetahuinya. Dan ia tetap pada pendiriannya untuk pulang ke Amerika.
"I'm sorry, Raya." Taylor merengkuh Araya dalam perlukan.
Sungguh ia menyesal. Bukan menyesal karena telah mencintai Araya. Namun menyesal karena tak bisa mengendalikan diri. Tak seharusnya hubungannya dengan Araya sampai sejauh ini. Tapi perasaan cinta itu tumbuh begitu saja, tanpa bisa ditahan, tanpa bisa dihentikan.