Naira ingin sekali marah. Dua telapak tangan wanita itu sudah terkepal kuat. Napas Naira terhela berat. Dua bulan lalu dia sudah memberikan uang kontrakan rumah itu. Wanita yang baru saja menagih uang kontrakan baru saja pergi setelah memberikan ancamannya.
Naira menghembuskan napas pelan. Dengan kulit wajah memerah, Naira memutar kembali tubuhnya. Kedua rahangnya terkatup kuat. Sepasang mata wanita itu mengedar, lalu menatap sang ibu yang langsung menundukkan kepala. Naira menekan-nekan katupan rahangnya. Bola mata wanita itu kini bergulir ke samping.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya pria bersarung yang membuat napas Naira terhela lebih cepat.
“Kalian kemanakan uang itu?" d**a Naira terasa sesak. "Sepuluh juta bukan jumlah yang sedikit." Naira mulai kesulitan menepis gejolak di dalam dadanya. "Aku harus kerja dari pagi hingga pagi untuk bisa mengumpulkan uang itu. Aku harus mengubur mimpiku untuk bisa merasakan bangku kuliah. Aku harus menahan lapar dengan makan sehari dua kali. Aku harus menahan diri hanya untuk bisa membeli sekaleng minuman soda dingin saat cuaca di luar sana sangat panas.” Napas Naira memburu karena amarah. “Kemana uang sepuluh juta itu?!” Naira berteriak. Satu kaki wanita yang sudah terbakar emosi tersebut terhentak keras ke lantai semen yang tidak rata.
Dia marah. Sangat marah. Keluarganya benar-benar keterlaluan. Dia banting tulang untuk mereka. Membuang semua keinginan pribadi hanya untuk mereka. Lalu, apa yang mereka lakukan? Tidak satu dua kali mereka membuatnya marah dan kecewa.
“Apalagi sekarang? Judi lagi?!” pekik Naira menebak kemana perginya uang sepuluh juta yang ia berikan pada ibunya, yang ternyata tidak sampai ke tangan sang pemilik kontrakan. Sepasang mata Naira berbayang, lalu detik berikutnya cairan mengumpul di ujung mata. Bulir bening itu akhirnya turun membasahi kedua pipi Naira. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Kemana harus mencari uang 10 juta? Dia bukan seseorang yang memiliki pekerjaan dengan gaji tinggi. Boro-boro. Gajinya masih di bawah UMR sekalipun sudah bekerja dari pagi hingga pagi.
“Benar … untuk judi?!” Sekali lagi Naira menghentakkan kaki ke lantai. Cairan masih turun dari sudut-sudut matanya. Wanita itu menangis. “Tega sekali kalian padaku. Kalian pikir aku sapi yang bisa terus menerus kalian peras dan keluar susunya?” Suara Naira bergetar. Wanita itu mulai sesegukan. “Apa nggak bisa sedikit saja kalian membuatku bernapas? Kemana aku harus mencari uang sebanyak itu? Apa aku harus jual diri?”
“Na ….”
“Lakukan saja. Siapa tahu kamu bisa mendapatkan duda kaya.”
“Pak ….” Wuri memanggil sang suami dengan nada memperingatkan. Wanita itu menatap marah sang suami.
Sementara Naira kehilangan kata-kata begitu kalimat itu keluar dari mulut pria yang dinikahi oleh ibunya. Pria sampah yang hanya menjadi parasit dalam kehidupannya.
“Dasar pria nggak berguna.”
“Kurang ajar!” Suami Wuri langsung melangkah maju dengan sepasang mata membesar. “Beraninya berkata seperti itu? Apa kamu lupa apa yang sudah kulakukan untuk menyelamatkan hidupmu, hah?” Tangan kanan pria itu sudah terangkat saat merasakan cekalan dari belakang. Pria itu memutar kepala. “Mau membela anak durhakamu itu? Dasar tidak tahu balas budi!” Pria itu mendorong tubuh sang istri.
Wuri terhuyung. Kedua kaki wanita itu terhela ke belakang, berusaha untuk mendapatkan kembali keseimbangannya, tapi … gagal.
‘Bruk!’
Terkejut, Naira refleks berlari menghampiri sang ibu. “Benar-benar pria nggak berguna,” gumam Naira sambil membantu sang ibu berdiri. Naira meringis saat merasakan kepalanya terdongak ke atas.
“Lepaskan!” Lawan Naira sambill menarih tangan yang sedang menjambak rambutnya.
“Katakan sekali lagi!”
“Dasar pria nggak berguna!” lawan Naira tanpa rasa takut. Dia benar-benar sudah tidak bisa menahan diri lagi. Emosinya meluap. Pria tidak berguna ini membuatnya marah besar. Naira yakin, uang itu habis untuk bermain judi pria itu. Naira benci suami ibunya. Dia benar-benar membencinya.
Naira masih berusaha melepas tangan suami ibunya. Tidak berhasil membuat pria itu melepas jambakannya, Naira menginjak keras kaki pria itu hingga akhirnya cekalan tangan suami ibunya terlepas, dan suara pekik kesakitan terdengar keras. Pria itu mengangkat kaki yang baru saja Naira injak, lalu memegangnya sambil meringis.
Naira menoleh ke arah sang ibu yang kini sudah menangis. Naira mengusap sisa-sisa air matanya dengan punggung tangan. “Sebaiknya Ibu segera ceraikan pria sampah itu. Aku pergi.” Naira memutar kembali kepalanya, tepat saat satu telapak tangan melayang ke wajahnya.
‘PLAK!’ Wajah Naira tertoleh ke samping kanan. Refleks, Naira mengusap pipi kiri yang baru saja menerima tamparan keras. Siapa lagi pelakunya jika bukan suami ibunya?
“Tampar … tampar … memang cuma itu keahlianmu. Lakukan selama kamu bisa, sebelum kamu harus menggelandang di luar sana.”
“Kamu …” Pria itu menggeram sambil kembali mengangkat tangan kanannya.
“Sudah, Pak. Jangan sakiti Naira lagi. Kita yang salah. Kita yang salah.” Wuri sudah melangkah cepat, lalu berdiri di antara suami dan anak pertamanya. Dua tangan wanita itu terangkat, mengusap kasar wajah basahnya.
“Jangan terus membelanya. Kamu lihat, kan? makin lama anakmu itu makin berani.” Basuki menunjuk dengan marah Naira yang berdiri di belakang ibunya.
Wuri menoleh ke belakang. “Pergilah, nanti kamu terlambat.”
Naira menatap berani pria yang masih terlihat marah itu. Ingin sekali Naira mencabik-cabik wajah pria tersebut. Naira melirik ibunya, sebelum kemudian menggerakkan sepasang kakinya. Melewati sepasang suami istri yang masih berdiri berhadapan, lalu keluar dari rumah yang terasa seperti neraka baginya. Naira masih bisa mendengar suara pertengkaran dua orang itu.
“Itu hasil didikanmu. Anak durhaka! Berani sama orang yang sudah memungutnya.”
“Jangan ngomong sembarangan. Dia anakku. Dia yang menghidupi kita enam tahun ini. Dia yang membayar kontrakan rumah ini. Dia pantas marah. Dia bekerja tanpa henti. Sudah seperti robot, lalu … kita yang menghabiskan uang hasil keringatnya.”
“Kamu sekarang juga berani? Kamu lupa? Apa jadinya kalian berdua tanpa aku? Lupa, hah? Lupa?”
“Hentikan … sakit!”
Langkah Naira terhenti. Wanita itu menunduk dengan dua tangan terkepal. Selalu seperti itu. Naira menarik napas dalam, lalu menghembuskan perlahan. Menguatkan hatinya, kepala wanita itu terangkat, kemudian langkah kakinya mulai terayun. Tidak ada waktu untuk terus meratapi nasibnya. Dia harus bekerja.
***
Alvin mengedarkan mata, sementara kedua kakinya masih bergerak cepat--berlari. Dua telinga pria itu tersumpal headset. Kaos ketat dengan gambar centang satu di bagian d**a kiri yang dipakainya sudah basah oleh keringat. Rambut yang sudah lumayan panjang itu juga sudah lepek. Kulit wajahnya terlihat mengkilat karena cairan asin yang membasahi. Sudah sepuluh putaran pria itu lakukan.
Alvin mempercepat larinya, mengejar seseorang yang ada sekitar 5 meter di depannya. Satu tangannya bergerak melepas head set.
“Tam … udahan, yuk. Kaki gue rasanya udah mau kram.”
Yang dipanggil menoleh, lalu mengedik kepala ke depan. “Tahan sampai finish,” kata pria itu sambil terus mengayun cepat kedua kakinya.
Alvin membulatkan mulut untuk mengeluarkan karbondioksida. Dadanya sudah mulai terasa panas. Dia memang kurang berolahraga. Selama di luar negeri, dia terlalu sibuk dengan kuliah, lalu bekerja. Dia hanya bisa menyempatkan diri berolahraga di apartemen sesekali.
Alvin menghembus napas lega setelah kedua kakinya mencapai garis finish. Pria itu terengah-engah. Alvin meraih botol air mineral dari tangan Tama, kemudian ikut menjatuhkan tubuh di sebelah sang teman yang sudah duduk melantai dengan posisi kaki lurus.
Tama meneguk cairan bening dari mulut botolnya, sementara sepasang matanya mengedar. Memperhatikan cukup banyak orang yang juga sedang melakukan olahraga di stadion. Weekend, waktu yang sering digunakan oleh para manusia yang sudah kehilangan waktu dari Senin sampai Jumat hanya untuk bekerja dan bekerja demi sebongkah berlian. Ya … itu yang sering kali mereka katakan.
“Lo ingat Naira?”
Tama mengedip. Pria yang sudah menurunkan botol setelah meneguk cairan terakhir yang masuk ke dalam mulutnya itu memutar kepala ke samping dengan sepasang alis berkerut.
Alvin masih mengatur pernafasannya. Pria itu sudah menghabiskan setengah isi botol. Sepasang bibir pria itu berkerut. Tatapan matanya terarah ke depan, tapi, dia tahu sang teman sedang memperhatikannya.
“Namanya Danaira Anjani.”
“Cewek yang semalam?”
Alvin menggumam sebagai jawaban dari pertanyaan Tama. Kepala pria itu mengangguk. “Dulu … gue suka sama dia.”
Lipatan di dahi Tama bertambah. “Bukannya dia … sahabat Felis?” tanya Tama. Melihat anggukan kepala Alvin, mulut Tama terbuka. “Wah … bukan teman makan teman, kan?”
“Nope.” Alvin langsung menoleh ke samping. “Naira nolak gue.”
“Hah? Nggak salah? Apa mata dia juling sampai nolak cowok idola kayak elo?” Tama terkejut, tapi tidak lama karena dua detik setelahnya pria itu justru tertawa keras. Tama menumpu tubuh dengan dua tangan di belakang. Pria itu masih tertawa. “Goshh … gue nggak nyangka ada yang nolak elo. Si ganteng, si pinter, si pujaan banyak cewek, idola para guru. Apa lagi?”
Alvin berdecak. “Lo berlebihan.”
“Itu yang gue dengar dari teman-teman.”
“Kayak lo ada di sini aja waktu itu.” Alvin menoyor bahu sang teman hingga Tama kembali tertawa. Alvin menggelengkan kepala. Temannya ini tinggal di Singapura setelah lulus SMP, tapi, tetap saja tahu gosip teman-teman se geng mereka semasa SMP di Jakarta. Heran.
“Dan yang nolak elo … cewek macam … Naira?” Tama menatap mengejek sang teman. “Ini baru berita.” Tama menarik napas. “Apa sekarang perasaanmu goyah setelah bertemu dengan cinta pertama?”
“Dia cewek yang baik. Sejak dulu dia memang berbeda.” Alvin menerawang—mengingat kembali masa dia mengenal sosok Naira. “Dia dari keluarga miskin, Tam. Bisa masuk SMA unggulan karena prestasi.”
Tama mendengarkan sang teman bercerita. Sepasang mata pria itu mengedip. Dia bisa melihat ekspresi sedih di wajah sang teman. Tama penasaran.
“Meskipun miskin, tapi dia selalu percaya diri. Dia nggak pernah malu datang ke sekolah sambil membawa dagangan. Itu yang membuatku tertarik. Dia selalu tersenyum. Beda dengan Naira yang semalam.”
“Mungkin hidupnya semakin keras. Kita bisa melihat hanya dari tampilannya, Bro. Mungkin, lo cuma kasihan sama dia. Bukan cinta.”
“Bukan. Ah … entahlah. Tapi dia satu-satunya cewek yang bikin gue patah hati.”
“Itu karena cuma dia yang nolak elo. Biasanya elo yang nolak cewek, kan?”
“Gue bahkan butuh bertahun-tahun untuk bisa melupakan Naira dan mengobati sakit hati gue.”
“Sedasyat itu seorang Naira?” tanya Tama nyaris tak percaya mendengar apa yang baru saja Alvin katakan.
“Lo akan tahu kalau dia istimewa setelah mengenalnya.”
Jawaban Alvin membuat Tama mengernyit. Istimewa? Cewek lusuh itu? Tama menatap Alvin dengan sepasang mata mengecil. Memperhatikan lekat-lekat temannya itu. Sepertinya ada masalah dengan mata Alvin, batin Tama. Jelas Felicia jauh lebih bersinar dari wanita lusuh itu. Yah … meskipun dia tetap tidak menyukai Felicia karena tingkah yang menurutnya keterlaluan.
“Apa kamu tahu … apa yang Felis katakan padaku saat aku tanya kenapa memintaku mengundangmu?” Kali ini Alvin sudah menoleh ke samping. Kedua alis pria itu terangkat.
“Menurutnya, cowok seperti elo yang bakalan cocok untuk Naira.”
Mulut Tama terbuka, lalu pria itu tertawa keras. Alvin menggerakkan kepala turun naik melihat reaksi Tama. Tentu saja Tama akan tertawa. Apalagi jika dia tahu maksud kata ‘cocok’ bagi Felicia.
“Kenapa? Apa karena tampilanku?” tanya Tama setelah menghentikan tawanya. “Sama-sama lusuh begitu?”
Sepasang mata Alvin mengedip.
“Ah, bener begitu, ya?" Lalu Tama mengernyit. "Kurasa aku lebih tertarik sama calon tunanganmu itu … dibanding sama Naira.” Sepasang bibir Tama mengerut dengan bola mata mengecil saat mengatakannya. “Si lusuh sama si lusuh. Itu sama sekali nggak menarik, Vin. Bagaimana?”