Masuk ke Kelab Malam

1144 Kata
“Brengs*k!” Naira tanpa sadar mengumpat hingga membuat dua orang yang duduk di depan terkejut. Naira ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya. Kenapa keluarganya hanya bisa menyusahkan dirinya? Kenapa mereka tidak mau berusaha keras mencari uang. Kenapa harus terus memeras dirinya? Pertanyaan-pertanyaan itu membuat d**a Naira semakin sesak, dan kepalanya terasa mau meledak. Di tempatnya, Olif melirik ke samping bertepatan dengan sang pengendara taksi yang juga melirik ke arahnya. Dua orang itu bertatapan tidak lebih dari dua detik. Olif kemudian berdehem. Wanita itu memutar kepala ke belakang. “Um … Na,” panggil Olif. Yang dipanggil tersentak, lalu mengerjap. “Mbak Olif kasih diskon lagi deh. 15 persen aja potongannya, biar kamu bisa dapat lebih banyak. Sekarang kamu tenang, ya. Ingat … di sana kamu harus senyum, jangan kasih lihat wajah seperti itu.” Olif meringis ngeri sambil menunjuk wajah Naira yang masih merah padam. Di dalam d**a Naira masih bergemuruh. Emosi meluap-luap. Terkadang Naira merasa ingin menyerah saja. Hidupnya terlalu berat. Sayangnya, setiap saat keinginan menyerah itu muncul, Naira selalu diingatkan akan neraka. “Kita sudah sampai.” Naira mengerjap. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Naira mengulangi beberapa kali sementara Olif sudah kembali memutar kepala ke depan. Wanita itu mengeluarkan uang untuk membayar ongkos taksi mereka. “Ayo, Na,” ajak Olif setelah selesai membayar ongkos taksi. Wanita itu sudah mendorong daun pintu. Naira membulatkan mulut, lalu menghembuskan karbon dioksida dalam satu kali hentakan. Naira menoleh. “Terima kasih, Bang,” ucapnya sebelum kemudian membuka pintu lalu menurunkan satu kaki diikuti kaki yang lain. Turun dari taksi, Naira memutar tubuh. Wanita itu menatap gedung dengan lampu kerlap-kerlip di depannya. Beberapa mobil sudah terparkir di depan bangunan besar tersebut. “Ayo kita masuk. Mbak kenalin sama bos Dion dulu. Dia yang punya tempat ini.” Lalu Olif meraih sebelah lengan Naira dan menariknya pelan. Naira menelan susah payah ludahnya. Dengan memegang erat jaketnya, langkah kaki Naira terayun. Sesekali wanita itu nyaris tergelincir saat tidak bisa menapakkan heels runcing yang dipakainya dengan benar. Olif melirik Naira. Wanita itu menghembuskan napas panjang. “Mulai sekarang, kamu harus sering jalan pake heels.” “Aku nggak punya heels, Mbak.” Olif langsung meringis. Dia lupa kalau teman kerja tetangga berisiknya ini hanya punya sepatu kets. Itupun sudah lusuh. “Sudahlah, ayo kita masuk.” Olif kembali menarik Naira. Keduanya masuk ke dalam kelab malam tersebut. “Nah, itu bos Dion.” “Bos!” “Bos Dion!” Naira hanya bisa mengedip saat tiba-tiba Olif melepaskan tangannya, lalu wanita itu berjalan cepat meninggalkan dirinya. Naira mengedarkan mata. Jantungnya berdetak kencang. Beberapa wanita dengan pakaian minim seperti dirinya, terlihat sedang berlalu lalang. Naira mengatur napas. Wanita itu mengingatkan dirinya sendiri akan tujuannya datang ke tempat yang baru pertama kali diinjaknya. Demi ibu dan adiknya Malika. Naira terhuyung ke samping ketika seseorang menabrak bahunya dari belakang. Oh, nyaris saja dia terjatuh. Beruntung dia masih bisa menegakkan heels yang menyangga tubuhnya. Naira berdecak kesal saat melihat empat orang pria berjalan menjauh darinya. “Astaga.” Naira menggelengkan kepala. Jangankan meminta maaf setelah menabraknya, menoleh pun tidak. Benar-benar tidak beretika, batin Naira. “Na … ayo sini!” Naira langsung mengalihkan tatapan dari beberapa pria itu. Naira mengayun langkah menghampiri Olif yang sedang melambai ke arahnya. Naira menarik kedua sudut bibirnya saat mengingat pesan Olif. Senyum, Na … senyum. Wanita itu mengingatkan dirinya sendiri. “Gimana, Bos?” Naira merasa risih saat sepasang mata pria di depannya menelusuri tubuhnya. Naira meremas jaket di tangannya. Jantungnya mulai berdetak semakin kencang. “Dadanya memang kurang besar, tapi pantatnya lumayan kok, Bos.” Oh … Naira hampir saja tersedak mendengar kalimat Olif yang tanpa tedeng aling-aling. Meskipun memang benar apa yang Olif katakan, tapi tetap saja—Naira merasa tidak seharusnya Olif mengucapkannya segamblang itu. Pria di depan Naira mengernyit. Sepasang matanya masih memperhatikan setiap bagian tubuh perempuan di depannya. “Sebenarnya dia oke kalau sedikit lebih berisi,” komentarnya. “Tenang saja, Bos. Nanti kalau dia sudah banyak uang juga pasti tubuhnya bakalan berisi.” Olif terkekeh. “Jadi gimana? Boleh kan dia kerja di sini?” “Kamu masih perawan, kan?” tanya Dion dengan kedua mata yang sudah mengecil. Pria itu memperhatikan perubahan ekspresi wajah Naira. Sepasang mata Naira membesar beberapa detik. Wanita itu berdehem. “I-i-iya.” Lalu Naira menurunkan pandangannya. Naira menghembuskan napas. Entah untuk apa pria di depannya ini menanyakan hal itu. Apa itu syarat untuk bekerja di tempat ini? batin Naira bertanya. “Sudah kubilang dia masih perawan. Belum pernah pacaran. Belum pernah disentuh makhluk berjakun seperti Bos,” oceh panjang lebar Olif. Dia sudah mengatakannya pada Dion jika Naira masih polos. Masih suci. Sepasang bola mata Naira bergerak-gerak. Kepala wanita itu masuk menunduk. Jantungnya bergerak semakin tak beraturan. Apa mungkin dia akan ditolak karena terlalu kurus? Atau karena dadanya yang kurang besar? Naira meremas jalinan kedua tangan di depan tubuh. “Oke lah. Kayaknya ada orang yang mungkin bisa kasih dia … berapa tadi?” “Lima belas juta, Bos.” Naira langsung mengangkat kepala begitu mendengar Olif menyebut angka lima belas juta. Netra wanita itu mengerjap ketika melihat Olif mengedipkan sebelah mata ke arahnya. Keningnya berkerut. Dia jelas minta 10 juta, bukan 15 juta. Naira meneguk susah payah ludahnya. “Ya … ya … lima belas juta. Sebentar lagi mungkin dia sampai. Bawa saja Naira ke ruangan di atas.” Olif langsung tersenyum lebar sambil menatap Naira seolah mengatakan … tuh kan, kamu akan dapat uang banyak, Na. Olif lalu menoleh ke samping. “Makasih, Bos. Aku bawa Naira ke atas.” Olif tersenyum lebar. “Jangan lupa ajari apa yang harus dia lakukan.” Melihat anggukan kepala Olif, Dion memutar kepala ke depan. “Selamat bekerja, Na.” Pria itu tersenyum sebelum memutar langkah lalu berjalan menjauh. “Tam … woy … bisa berapa lagu malam ini?!” Dion berteriak sambil mempercepat ayunan langkah kakinya. Olif dan Naira masih mengikuti pergerakan Dion yang sedang berjalan menghampiri beberapa orang pria. Sepasang mata Naira mengecil. “Mereka itu anak band yang suka ngisi acara di sini beberapa kali sepekan.” Olif memberitahu Naira tanpa ditanya. “Mereka itu masih muda dan ganteng-ganteng. Mbak paling demen sama si Tama, sih. Meski dia bukan yang paling ganteng, tapi, aura dinginnya bikin Mbak merinding. Apalagi tatapan matanya. Ouch … beneran bikin cewek klepek-klepek.” Olif kemudian terkekeh sementara sepasang matanya masih menatap salah satu pria yang memakai kaos hitam dan celana denim hitam. Sepasang bibir Naira terbuka. Pantas dia merasa tidak asing dengan perawakan itu. Naira menggerakkan kepala turun naik. Dia ingat pria yang mengatakan malas mencari pekerjaan itu adalah seorang anak band. Wanita itu mendengkus saat mengingatnya. “Malas,” gumam Naira sembari menatap punggung pria yang kini terlihat sedang berbincang dengan pemilik kelab malam. “Sudah, ah. Ayo, Mbak antar ke atas. Mbak ajari dulu gimana caranya biar tamu bisa buka dompetnya buat kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN