Mendapatkan Kemarahan

1011 Kata
"Pulang kok, Sayang. Sebentar lagi aku langsung pulang, tapi kalau kamu ngantuk tidur saja. Tidak usah menungguku," sahut Bayu. "Gak apa-apa, aku tunggu kamu saja, Mas. Ya sudah langsung pulang ya," ucap suara yang terdengar merdu dari seberang panggilan. "Iya, Sayangku." Bayu pun mematikan panggilan dari istrinya Tamara, wanita yang sudah tiga tahun ini bersamanya. Bayu mengenal Tamara, saat sedang ada perjamuan bisnis. Tamara salah satu sekertaris dari seorang direktur di perusahaan kenalan Bayu, sejak saat itu Bayu menaruh hati padanya. Setelah perkenalan selama tiga bulan, Bayu memutuskan untuk menikahi Tamara. Meskipun kedua orang tua, terutama papanya tidak setuju. Tapi Bayu bersikeras, sehingga mau tidak mau mereka membiarkan keinginan Bayu. Setelah satu tahun pernikahan Tamara hamil, tapi sayangnya saat kehamilan menginjak usia tiga bulan Tamara harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami pendarahan hebat. Bayi yang Tamara kandung ternyata sudah tiada, Tamara keguguran dan membuat keduanya bersedih. Namun, ada hal yang lebih menyedihkan. Ternyata dokter memvonis Tamara tidak bisa lagi mengandung, karena akan beresiko tinggi. Bisa jadi Tamara akan kehilangan nyawa, jika memaksakan diri untuk mengandung. Demi rasa cintanya, Bayu pun memutuskan agar Tamara di steril. Karena dia tidak mau jika sampai Tamara kenapa-napa, dia tidak pernah mempermasalahkan masalah keturunan. Bagi Bayu, Tamara lebih penting dari apapun. Sebegitu besar rasa cinta Bayu pada sang istri, tapi ternyata tidak dengan keluarganya. Bayu ingat betul, saat papanya memaksanya untuk menikah lagi. Dan mengancam akan mengambil hak waris jika sampai Bayu tidak juga memiliki keturunan. Bayu sudah berusaha menjelaskan, tapi sang papa tidak perduli dengan alasan Bayu. Ternyata semua itu adalah bagian dari rencana tuan Abraham Pramana yang lebih sering disapa tuan Pram. Dia berniat menjodohkan Bayu, dengan wanita pilihannya. Yang ternyata adalah Alena, yang langsung Bayu tolak tadi. Ponsel Bayu berdering, saat dia selesai membersihkan diri untuk bersiap pulang. Saat melihat siapa pemanggilnya, ternyata itu adalah papanya. Bayu tau jika dia akan mendapatkan kemarahan papanya, karena tadi sudah menolak Alena. "Halo, Pa." Bayu menyapa pelan sang papa, agar tidak menyulut emosi tuan Pram karena Bayu sedang malas berdebat. "Apa-apaan kamu, kenapa kamu mengusir Alena. Papa sudah bersusah payah membujuknya agar datang ke sana, tapi apa yang kamu perbuat. Kamu mengusirnya dan memilih seorang perempuan murahan!" tukas tuan Pram penuh emosi. "Harusnya aku yang tanya, Papa apa-apaan. Kenapa Papa mengirim wanita saat aku sedang beristirahat di kamar hotel, apa dia bisa disebut sebagai wanita baik-baik. Padahal dengan tanpa malunya dia masuk ke kamar laki-laki," sahut Bayu berusaha tidak bersuara tinggi. "Jangan sembarangan kamu, Alena itu wanita baik-baik. Dia putri dari tuan Darko, dia mau ke sana karena Papa yang paksa. Papa tidak akan merestui kamu menikahi perempuan murahan itu, kamu harus melahirkan pewaris dari keturunan baik-baik. Jangan memancing kemarahan Papa, Bayu!" tegas tuan Pram masih dengan suara tinggi. "Sudah, jangan berdebat di telepon. Besok aku akan menemui Papa, aku akan jelaskan semuanya. Bicara saat ini juga akan percuma, apalagi Papa dalam kondisi marah seperti ini. Jadi tunggu aku datang besok ke sana," sahut Bayu berusaha menenangkan papanya. "Percuma, apapun penjelasan kamu Papa tidak perduli. Kamu harus meni ...." Bayu langsung mematikan panggilan, memang tidak sopan. Tapi saat ini percuma saja membela diri, papanya sedang dalam kondisi emosi. Jadi percuma saja menjelaskan panjang lebar, karena tidak akan berguna sama sekali. Tuan Pram menelpon kembali, tapi kali ini Bayu sengaja tidak mengangkatnya. Dia dengan santainya terus bersiap-siap untuk pulang, setelah semua rapi Bayu langsung keluar dari kamar hotel. Bayu turun dengan lift, tapi tidak langsung keluar hotel. Dia berjalan menuju resepsionis, petugas keamanan dan petugas hotel yang Bayu lewati langsung menunduk hormat. "Siapa yang sudah lancang memberitahu papa saya kalau saya di sini?!" tanya Bayu tegas dengan tatapan tajam. "Maaf, bukan kami, Pak Presdir. Sepertinya manajer yang sudah memberitahu, bahkan tadi manajer meminta kami memberikan kunci pada nona Alena. Pesannya kalau ada orang bernama Alena kami harus memberikan kunci cadangan kamar yang Bapak tempati," jelas resepsionis lalu langsung menunduk. "Mana Pak Aksa? Berani sekali dia melakukan itu," ucap Bayu kesal. "Pak manajer sudah pulang, Pak. Sekali lagi maafkan kami," jawab resepsionis itu masih terus menundukkan kepalanya. "Sudah, lain kali jangan lakukan itu. Meskipun itu perintah papa saya, sekarang sayalah pemilik hotel ini. Jika kalian berani membantah maka bersiaplah menjadi pengangguran!" tegas Bayu dan langsung berbalik meninggalkan tempat itu. Bayu berjalan keluar hotel, seorang valet yang memang diminta Bayu untuk memindahkan mobilnya yang diparkir ke depan pintu masuk hotel langsung memberikan kunci mobil Bayu. "Ini untukmu," ujar Bayu seraya menyodorkan uang biru pada petugas valet. "Tidak usah, Pak. Itu sudah tugas saya," sahut petugas valet merasa segan. "Sudah ambil saja, ini adalah rejekimu. Bukankah sudah saya katakan berulang kali, jika ada yang memberikan uang ambil saja. Tapi jangan sesekali meminta, apalagi terlihat kesal saat tidak diberi apapun." Bayu mengingatkan sambil terus menyodorkan uang itu. "Baik, Pak. Terima kasih," ucap petugas valet seraya menunduk hormat. Bayi naik ke mobilnya, lalu langsung melakukannya meninggalkan pelataran hotel. Bayu menyusuri jalan ibu kota yang mulai lenggang, karena sudah cukup malam. Mata Bayu sempat melirik ke arah jam tangan yang dikenakannya, ternyata sudah pukulan setengah satu malam. "Aku harus cepat sampai, kasihan Tamara tidak tidur karena menungguku." Bayu bergumam sendiri, lalu menginjak pedal gas lebih keras agar mobilnya melaju lebih kencang. Sementara itu, Viona yang sudah sampai di tempat kosnya sengaja tidak kembali ke klub tempatnya bekerja, dia tidak mau mendapatkan kemarahan mami Rose karena gagal menemui pelanggan. Baru juga Viona merebahkan tubuhnya, ponselnya berdering dan terlihat nama mami Rose di layar ponselnya. "Duh, mami telepon lagi. Kalau diangkat pasti aku akan disemprot ini, kalau tidak diangkat besok pasti mami akan memukuliku. Bagaimana ini?" tanya Viona dengan wajah cemas. Sampai dering ponselnya mati, Viona tidak mengangkatnya. Sampai akhirnya terlihat suara pesan masuk, Viona bisa melihat apa pesan yang di kirim dan itu hanya satu kata yaitu 'Angkat' Viona pun terpaksa mengangkat panggilan itu karena takut. Baru juga Viona mengangkat dan menempelkan ponselnya ditelinga, cercaan mami Rose terdengar. "Kenapa kamu tidak menemui Pak Bram? Kamu tau berapa ganti rugi yang harus aku keluarkan? Bahkan gajimu melayani orang satu Minggu full saja tidak akan bisa membayarnya!" bentak mami Rose membuat Viona menjauhkan sedikit ponselnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN