Rupanya mereka benar-benar melakukannya, menjadi pasangan di acara resepsi. Sekalipun kasak-kusuk terdengar, tetapi kedua manusia tersebut hanya bersikap santai. Tidak menunjukkan gelagat terganggu sama sekali.
“Bukankah di undangan tertera nama Dirga, kenapa Adrian yang menikah?”
“Pasti salah tulis, lagipula dia adalah si sulung. Pasti undangannya keliru!”
“Syukurlah, si sulung yang menikah. Sebab, jika benar Dirga yang mendahului, bisa sial si perempuan.”
Adrian hanya tersenyum tipis mendengar semua hal, dia tak percaya jika semua orang masih memiliki pola pikir kuno. Sangat kolot jika masih percaya mengenai hal-hal penuh mitos, enggan mengikuti alur pemikiran tersebut. Lebih baik segera melakukan pencarian terhadap sang adik.
Namun, fakta lain membuatnya harus menahan emosi lebih serius. Sebab, sang ayah memberikan titah agar dirinya tinggal bersama Noi sampai Dirga ditemukan. Lelucon apa lagi ini?
Hanya saja, mustahil memberikan penolakan saat sang ibu memberikan ancaman super menyebalkan, dia memilih mengalah. Adrian tidak menyukai keributan, lagipula hati kecilnya menuntut untuk tidak membuat situasi semakin rumit. Dia tak ingin istri sang adik semakin merasa tersakiti jika menolak untuk tinggal bersama.
Setidaknya ada waktu tiga hari untuk bertahan, tinggal bersama Noi dan segera melacak keberadaan sang adik. Malam ini, lebih baik beristirahat dengan tenang. Adrian harus bisa bersikap profesional sekaligus mampu diandalkan.
Namun, Adrian memilih berhenti di tempat ketika melihat sosok wanita asing yang baru beberapa jam lalu ia temui berkelebat di dapur, niat mengambil minum urung. Mereka tak kenal, akan menciptakan sensasi canggung tidak nyaman jika harus bertatapan. Lebih baik jika menunggu sampai gadis tersebut selesai melakukan kepentingannya.
“Kak Adrian!” seru Noi ketika ia berbalik untuk pergi, “Kakak mau kubuatkan teh atau kopi?”
Nada ringan, tak ada kecanggungan atau sekadar sungkan. Dia salah menilai, gadis tersebut tidak seperti kebanyakan perempuan muda lainnya. Justru sangat santai sekalipun mereka baru bertemu di acara resepsi sore tadi.
Pria itu kembali berbalik sempurna, wajah di sana tersenyum ramah. Tak enak jika mengganti raut itu ke mode kecewa. Jadi, dia memang harus turut menyikapi keadaan tersebut dengan santai.
“Apa pun yang bisa diminum.” Dia memberikan jawaban setengah gugup, ternyata sulit menghadapi sosok asing di satu atap dibanding penjahat berdarah dingian yang memegang senajata mematikan.
Noi terkekeh mendengar jawabannya, sama sekali tidak menampakkan kecanggungan yang berarti. Apa dia memang tipikal gadis ramah yang bisa cepat akrab dengan siapa pun atau terlalu nyaman menganggap dirinya sebagai kakak kandung suami tercinta? Entahlah, Adrian sangat sulit menerjemahkan karakter istri Dirga.
“Kalau kucampur racun, bagaimana?” candanya mencoba akrab dengan satu-satunya manusia yang mulai saat ini akan menjadi teman, mereka hanya berdua tanpa asisten rumah tangga.
Tak ada jawaban, Adrian hanya berdiri mematung. Masih susah mengambil sikap, apa harus terlihat ramah atau menunjukkan sisi dingin? Kenapa sangat susah hanya untuk menjadi diri sendiri.
Sama seperti dirinya, wanita itu akan menjadi partner di rumah ini sampai adiknya ditemukan. Sang ayah sudah mengerahkan orang-orang bayaran untuk melacak keberadaan Dirga, bantuan pun sudah ia kirim. Namun, belum ada kabar yang membuahkan hasil melegakan.
Jejak digital tak ada, nomor yang dipakai terakhir kali menyala di rumah. Selebihnya, tak aktif. Kartu kredit pun sudah diblokir, di mana dia sekarang?
Kenapa meninggalkan istri yang baru dinikahi begitu saja? Noi bukan Persia yang bisa dititipkan seenaknya, apa terjadi hal buruk di antara mereka? Dia bisa saja bertanya sekarang, tetapi mengingat rentetan acara hari ini justru akan sangat tak tahu diri jika memaksa membahas hal rumit.
“Dirga, cepat pulang.” Adrian bergumam lirih, ini jauh lebih rumit dibanding harus memecahkan kasus pembunuhan.
Tinggal satu atap dengan gadis manis yang masih asing, terjebak pada pernikahan palsu. Kenapa harus dirinya yang memerankan? Sang ayah terlalu takut dengan pencemaran nama baik hanya karena tamu dari kalangan petinggi Negara bermunculan.
Pihak keluarga merahasiakan kenyataan menghilangnya Dirgantara di hari pernikahan, ada banyak tanya ketika dirinya yang berdiri di sisi Noi. Kasak-kusuk yang cukup umum di kalangan para penggosip mulai menimbulkan gunjingan-gunjingan tak masuk akal. Bahkan, ada tudingan jika dirinya telah merebut wanita sang adik.
Adrian sangat pusing dengan semua hal yang terjadi begitu tiba-tiba, banyak sekali tanya yang membuatnya harus merasakan cenat-cenut di kepala. Jika saja kasus tentang pembunuhan, kemungkinan pemecahannya sedikit lebih mudah. Akan tetapi, tinggal bersama istri sang adik, sangat menyusahkan saja.
“Ini, Kak!” Noi tiba-tiba sudah berdiri di depannya, mendorong gelas yang masih mengepulkan asap.
Cokelat hangat yang menebar aroma menggoda, pilihan terbaik. Adrian mengakuinya, Noi pintar dan tanggap dengan situasi hati dan pikiran saat ini. Minuman tersebut bisa sedikit menenangkan diri.
Setidaknya begitu yang ia harapakan, sedikit lebih tenang agar bisa memikirkan banyak hal terkait menghilangnya sang adik. Jika hanya berpusat pada kebingungan, tentu tidak akan menciptakan kemudahan dalam menemukan titik cerah. Jadi, Adrian hanya perlu rileks.
“Terima kasih.” Hanya ini yang ke luar dari mulut yang selalu tertutup rapat, lalu berbalik untuk menuju kamar.
“Jangan pergi, akan sedih saat sendiri. Bisa temani aku?” tukas Noi yang tampak tersenyum ragu dengan muka memelas, “setidaknya seorang teman mengobrol akan sedikit membuat dunia baik-baik saja tanpa merasa menjadi wanita paling menyedihkan ketika dicampakkan di hari pernikahan.”
Adrian terpaku di tempat, kasihan. Namun, di sisi lain merasa bingung untuk bersikap. Lengannya ditarik pelan, Noi tersenyum tipis ketika tatap mereka beradu di udara. Dia menjadi tak berkutik, perasaan kurang nyaman kembali menyabotase.
Jadi, hanya bisa menurut pasrah, lalu duduk berdampingan. Canggung yang kurang nyaman kembali mendominasi keadaan, tetapi mereka sikapi dengan tenang. Dirasa lebih baik dibanding menghabiskan malam panjang seorang diri sembari menerka-nerka tanpa tujuan jelas.
“Emh … maaf, adikku ….”
“Bukan salah Kak Adrian, untuk apa Kakak yang mewakilinya minta maaf?” Noi memotong cepat kalimat yang hendak diucapkan, “anggap ini tugas Negara, tak perlu merasa sungkan atau canggung. Aku tak akan menerkam atau menjelma Kuntilanak di malam hari. Jadi, jangan takut.”
“Maaf,” tutur Adrian masih saja mengatakannya karena bingung untuk memilih kosakata lainnya, ia tertunduk sembari menyeruput minuman hangat.
“Terima kasih,” ujar Noi lembut tanpa menoleh pada pria yang kini menatap lekat sisi kanan wajahnya,“rerima kasih sudah menjadi suami cadangan, setidaknya aku dan keluargaku tak malu hari ini.”
Adrian hanya diam, tanpa tanggapan. Namun, belum mengalihkan pandangan dari wajah di sisinya, sesuatu ke luar dari sudut mata. Cairan bening, mengalir begitu saja. Dia bergerak refleks, mengarahkan ibu jari pada wajah Noi.
“Jangan menangis,” tukasnya dengan nada berat, kembali rasa bersalah menyergap.
Wanita itu menggerakkan kepala perlahan, tatap keduanya kembali bertumpu pada satu titik. Kesedihan yang dibalas rasa bersalah, dalam diam mereka berpandangan. Berharap semua akan segera berakhir. Mereka lupa, ini baru permulaan.
***