12. Crazy Guy

1062 Kata
“Kak, lo ngapain ngikutin gue, sih!” protes Erina kesal. Sejak tadi ia memang memendam kekesalannya ini sendirian. Bagaimana bisa seorang Alvaro yang sangat sibuk itu bisa meluangkan waktu untuk datang ke perusahaan redaksi kecil hanya untuk berdampingan dengan dirinya. Bahkan ia sendiri saja merasa sangat kesal dengan lelaki itu. “Karena gue mau,” balas Alvaro ringan. “Ya, setidaknya lo jangan ngikutin gue sampai ke sini juga. Kalau orang-orang tahu lo pemilik Aryasatya gimana? Bisa kacau, Kak! ” “Kan ada Bang Dzkay.” “Bang Dzaky udah berkeluarga, jangan diandalkan terus.” “Ya udah, ada Kakek.” “Kakek Wijaya sibuk ngurus sekolah, jangan Kak Alva tambahin lagi dengan sibuknya ngurus kantor.” “Terus mau lo apa, Na? Gue takut kalau lo pergi lagi. ” Erina terdiam membisu mendengar perkataan Alvaro. Ralat, bukan dirinya yang meninggalkan, tetapi Alvaro sendiri. “Oh begitu ya, Kak? Bukannya lo yang niggalin gue? ” “Na, setelah gue lulus, gue sempat ke Bekasi nyari lo. Bahkan gue ketemu sama sepupu lo. Di sana gue dikasih tahu kalau lo Emang enggak pernah pulang sejak lulus dari SMA." Erina tersenyum getir, karena apa yang diucapkan Ulya benar. Sejak wisuda sekalian pembagian ijazah, ia memang tidak pernah pulang lagi dan langsung terbang ke China. Untuk mengejar beasiswanya yang sempat gagal. “Gimana kabar Ulya sekarang?” tanya Erina tersenyum sendu. “Baik, kemarin gue sempat skype sama Zulfan dan ternyata mereka tengah merasakan bagaimana menjadi orang tua yang baik dan benar.” "Maksudnya Ulya sama Kak Zulfan punya anak?" Erina tidak bisa mengontrol dirinya hanv terlalu senang mendengar kakak sepupunya itu telah dikaruniai kebahagiaan yang tidak terkira. "Iya, namanya Fanya. " Erina tersenyum senang, pasti keponakannya itu sangat mirip dengan Ulya. Karena kalau mirip dengan Zulfan sepertinya tidak. Wajah Ulya mengalir kental dengan darah Tionghoa, dibandingkan dengan wajah Zulfan yang lokal, tetapi tetap tampan. “Gimana, Na? Kita enggak ada niatan nyusul mereka?” tanya Alvaro dengan niatan terselubung. "Ha? Nyusul ke Bekasi?” Raut wajah Erina terlihat bingung. Alvaro mengembuskan napasnya keras-keras melihat Erina yang masih polos seperti dulu. Padahal gadis itu telah berusia dua puluh satu tahun, menonton film dewasa pun sudah legal. “Bukan, Erina. Maksud gue nyusul punya anak kayak sepupu lo, " ralat Alvaro sembari menipiskan jarak diantara. Bahkan Erina sudah memundurkan wajahnya saat lelaki itu terlihat mendekat. Erina mendelik terkejut mendengar perkataan Alvaro yang kelewat santai. Bahkan kini mereka masih berada di dalam kantor. Karena ia tidak mau membuat gosip murahan di sini, Erina pun langsung bangkit dan pergi meninggalkan Alvaro yang tertawa keras sekali. Namun, disaat yang bersamaan Lusi juga keluar dari ruangannya sendiri, membuat mereka berdua bertemu tidak sengaja. “Hai, Erina! Kamu kenapa keluar?” tanya Lusi menghampiri Erina yang bercermin di depan pintu. “Aku sedang suntuk di dalam. Kamu sendiri kenapa keluar? Biasanya betah di dalam. ” Erina bersandar pada sisi cermin dan melipat yang terbaik di depan d**a memerhatikan Lusi yang masih asyik memoles bedak di wajahnya. “Kebetulan aku mau ke ruangan Bos Wang. Ada salah satu penulisku yang nakal dan tidak mau diajak bekerja sama," jawab Lusi sedikit kesal sembari memasukkan bedaknya ke dalam kantung blazer, lalu menatap Erina malas. “Wah, sepertinya dari kemarin kamu dapat penulis seperti itu. Apakah kali ini lelaki tampan?" goda Erina tertawa pelan, membuat Lusi memutar bola matanya malas dan melenggang pergi. "Sejujurnya aku sendiri tidak tahu dia lelaki atau perempuan, karena dia menerbitkannya menggunakan nama samaran. Mungkin kalau disuruh ke sini kita akan tahu," balas Lusi sembari menarik lengan Erina agar wanita itu mengikuti langkahnya juga. Alis Erina bertaut bingung. “Jadi, kamu menawarkan penawaran ini melalui platform online? Hei, itu memang harus dipanggil, Lus. Karena ini akan mempermudahkan pekerjaan kamu juga. ” "Maka dari itu, aku ingin membicarakan ini bersama Bos. Siapa tahu dia mau membantuku mengatasi hal ini lagi," ucap Lusi sembari mengetuk pintu ruangan Wang Junkai yang tertutup rapat. Sayup-sayup mereka mendengar suara titahan dari dalam. Walaupun sudah dibuat kedap suara, entah kenapa ruangan itu tetap saja terdengar dari luar. Sepertinya Wang Junkai harus memperbaiki ruangannya lagi. Sementara itu, Wang Junkai menatap dua karyawati yang ada di hadapannya bingung. Karena kalau bukan Erina yang datang, pasti Lusi. Bahkan sekarang mereka malah datang bersama, membuat Wang Junkai semakin bingung menghadapi dua karyawatinya yang sanggup membabat habis perkataannya. “Apa yang mau kalian lakukan di sini?” tanya Wang Junkai mempersilakan kedua karyawatinya untuk duduk. “Bos, aku ingin mengajukan bahwa penulis The Bastard Billionaire untuk datang ke redaksi,” jawab Lusi to the point. Wang Junkai yang pun mengangkat alis tebal bingung menatap Lusi yang lagi-lagi meminta agar penulisnya datang sendiri ke redaksi. “Mengapa kamu selalu meminta penulisnya untuk datang? Apakah tidak cukup hanya berkomunikasi lewat WeChat? ” “Tidak akan pernah cukup, Bos. Dia selalu beralasan sibuk dan sibuk. Bahkan aku yang jauh lebih sibuk daripadanya masih bisa meluangkan waktu.” Lusi tersenyum sinis mengingat alasan penulisnya itu tidak masuk akal. Ia akui memang semua orang pasti sibuk, tetapi tidakkah dia mengerti semua orang sama sibuknya? Erina yang mengerti arah pembicaraan pun mulai menyimak, sepertinya yang Lusi alami ini juga sering kali sama seperti yang lainnya. Bahkan kasusnya sama persis. Ia menjadi bingung sendiri, kenapa penulis non fiksi yang beralasan sibuk hanya untuk menghindari naskahnya di pangkas habis. "Begini saja, kalau tidak ada yang mau mengalah. Kamu pending dulu naskah itu, kamu lanjut naskah lain. Lagi pula itu hanya dari platform, ” ucap Wang Junkai menengahi kekesalan Lusi yang tidak bersudah. “Tidak bisa begitu, Bos. Justru kalau dari platform itu kita bisa memikat pembaca, terlebih dahulu umur mereka yang dewasa muda yang berkisaran 18-25 tahun. Pasti kebanyakan dari mereka menantikan buku fisiknya," sanggah Erina cepat. Sebenarnya, tidak etis juga kalau ia ikut campur dalam urusan Lusi. Akan tetapi, demi keungan redaksi tempat kerjanya juga. Wang Junkai terdiam mendengar penjelasan Erina yang cukup masuk akal. Lusi yang mendengar penjelasan Erina pun langsung menambahi, "Dan keuntungan kita pasti akan lebih besar, Bos. Karena akses ini tidak hanya sampai di toko buku besar, melainkan jajaran online yang bisa kita ajak kerja sama. Lagi pula penulis ini cukup terkenal di platform tersebut, bagaimana kita bisa menyia-nyiakan kesempatan hanya karena penulisnya yang tidak bisa diajak kerja sama. ” “Hao la. Saya akan mengubungi penulis itu untuk datang ke tempatku, agar bisa membicarakannya dengan mudah," putus Wang Junkai sembari menghela napas pelan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN