Kakek Wijaya kini terduduk di kursi kebesarannya di ruang rapat yang akan segera dimulai. Akan tetapi, beliau sama sekali belum melihat batang hidung anak dan cucunya yang masih setia di ruangan. Bahkan Jenia yang nyatanya wanita sudah datang lebih awal.
“Jenia, rapat dimulai pukul berapa?” tanya Kakek Wijaya sembari melirik arloji yang ada di tangan kirinya.
“Sekitar pukul 8, Pah,” jawab Jenia membaca buku agenda yang ada di tangannya, lalu melirik arloji miliknya yang ternyata sudah sebentar lagi dimulai.
“Suami sama adikmu dimana? Papah sudah menuggu dari tadi, tapi belum juga kelihatan. Apa mereka lupa?” Kakek Wijaya terlihat kesal.
Jenia meringis pelan, kemudian bangkit dari tempat duduknya. “Kalau begitu, aku susulin ke bawah dulu ya, Pah. Sekalian manggil asisten Papah, soalnya hari ini Cherry ada kontes balet.”
“Iya, Papah tunggu. Dan beri semangat juga pada Cherry untuk menang. Karena akan Papah kasih hadiah kalau dia mampu memenangkan kontes juara 1.”
“Baik, Pah. Terima kasih.”
Setelah itu Jenia langsung melenggang pergi sembari membawa mantel cokelat gelapnya keluar ruangan. Kali ini langkahnya mengarah pada ruangan Alvaro yang tidak jauh dari ruang rapat. Entah kenapa ia gemas sekali pada lelaki itu yang selalu menunda-nunda rapat.
Dan tanpa mengetuknya terlebih dahulu, ia langsung berteriak, “Alva! Keluar lo!!!”
Seketika orang-orang yang ada di ruangan itu pun terkejut dan menganga tidak percaya melihat Jenia yang ada di ambang pintu dengan teriakan miliknya cukup membahana. Bahkan lantai kantor ini cukup bergetar akibat suaranya.
“Kak Jenia?” tanya Erina tidak percaya, membuat wanita itu tersadar dan mendeli tidak percaya melihat Erina ada di sana.
“Eh, ada kamu, Na” Jenia tersenyum melihat Erina yang mengangguk pelan, lalu menatap sinis pada Faray yang sedang membaca laporan. Padahal ia sadar kali kalau Alvaro baru saja terkejut dan sekarang sudah melanjutkan kegiatannya.
Meiying yang sudah biasa melihat kegalakkan Jenia pun tersenyum maklum dan mengundurkan diri sembari mengedipkan matanya pada Erina, sehingga gadis itu terlihat bingung.
“Alva! Kakek udah nungguin lo dari tadi di ruang rapat, sedangkan lo malah asyik baca. Emang bener-bener ya, lo!” Jenia pun menarik telinga lelaki itu hingga sang pemiliknya mengaduh kesal.
“Kak, udah dong. Malu dilihatin Erina,” balas Alvaro berusaha melepaskan telinga yang kini menjadi bahan taruhan oleh kakak iparnya.
“Bodo! Siapa suruh kamu duduk di sini santai-santai, sedangkan Kakek udah ada di ruang rapat. Ayo, buruan bangun!”
Jenia pun melepaskan jewerannya di telinga Alvaro, lalu menghampiri Erina yang terduduk sembari menatap keduanya geli.
“Kakak masih sama seperti dulu, ya?” tanya Erina tertawa pelan, membuat Jenia melirik Alvaro sinis.
“Dia itu sejak ditinggal kamu suka males-malesan, Na. Kakak sama Mas Dzaky kadang pusing ngurusin dia yang mirip kayak orang tanpa tujuan,” jawab Jenia mendudukkan diri di samping Erina.
“Tapi sekarang udah enggak kan, Kak,” sahut Alvaro bangkit dari tempat duduknya dan melenggang pergi keluar ruangan.
“Alva, sekalian Mas Dzaky juga. Oh ya, kalau enggak mau bangun, kamu jewer aja telinganya. Kalau dia marah, bilang Kakak yang nyuruh,” seru Jenia saat Alvaro hendak menutup pintu ruangannya kembali dan mengangguk singkat.
Kemudian, Jenia mengalihkan perhatiannya dan menatap Erina senang. Ia tidak menyangka kalau ada gadis itu di sini. Namun, ia masih sangat penasaran dengan perjalanan hidup Erina yang terlalu jauh.
“Na, kamu enggak kerja hari ini?” tanya Jenia tersenyum manis dan menyentuh rambut Erina yang terurai panjang hingga sepunggung.
Erina meringis pelan. “Kerja, Kak. Tapi, diganggu sama Kak Alva.”
Jenia mengerutkan keningnya tidak suka. “Kok gitu?”
“Iya, tadi ada klien aku yang bertindak enggak sopan, jadi sama Kak Alva langsung dibawa pergi,” jawab Erina sembari takut-takut melihat raut wajah Jenia.
“Alva udah berubah ya, Na? Dia itu selalu dingin sama wanita manapun, hanya dengan Kakak dan sekretarisnya aja dia bisa bicara banyak. Mungkin sedikit aneh bagi kamu yang baru tahu, karena enggak mudah Alva bisa sampai sekarang. Jadi, jangan cemburu ya Na, kalau misalnya sikap Alva sama Meiying itu berbeda dan jauh lebih dekat,” tutur Jenia tersenyum keibuan menatap raut wajah Erina yang berangsur tenang. Karena ia sempat melihat raut wajah Erina yang kesal, dan ia sudah menduganya kalau ini berhubungan dengan Meiying.
Erina menipiskan bibirnya saat mendengar pembicaraan Jenia yang tepat sasaran. Ia memang sejak tadi memikirkan hal itu, dan terjawab sudah.
“Enggak apa-apa, Kak. Aku juga sempat ngobrol ringan sama Kak Mei, dan dia juga bilang sama aku kalau Kak Alva sering membicarakan tentang aku sama dia,” balas Erina.
“Bagus, deh. Kakak takut kalau kamu salah paham dan menghilang lagi kayak kemarin.” Jenia tertawa pelan sembari meletakkan tas selempangnya di atas meja. “Jangan pergi lagi ya, Na. Kakak enggak mau melihat Alva seperti dulu lagi.”
Hati Erina berdesir pelan mendengar permintaan Jenia yang rasanya ada niat terselubung, tetapi ia sendiri tidak tahu apa. Karena hati kecilnya berteriak kesenangan.
“Oh iya, hari ini Cherry ada kontas balet. Kamu mau ikut nonton, Na? Hari ini jangan kerja dulu biar temenin Kakak. Mau ‘kan?” tanya Jenia bersemangat.
“Wah, Cherry bisa balet, Kak? Tidak aku sangka gadis sekecil Cherry bisa menarik balet.” Erina terlihat berbinar mendengar ajakan Jenia.
Jenia tertawa pelan. “Sejujurnya, Kakak juga enggak tahu. Karena ini permintaan dia sejak masuk TK.”
“Ayo, Kak! Erina mau banget,” balas Erina sembari mengepalkan tangannya gemas. Ia jadi membayangkan betapa lucunya nanti gadis kecil itu mengenakan pakaian balet yang cantik.
Jenia pun langsung mengetikkan sesuatu di ponselnya dan beranjak dari tempat duduk, lalu menarik Erian untuk berjalan bersisian dengan dirinya.
“Hari ini Kakak bawa mobil sendiri, dan Alva tahu kalau kita ke kontes Cherry. Kamu beneran enggak ada acara lagi selain kerja, ‘kan?”
“Tenang aja, Kak. Aku hidup di sini hanya untuk kerja, selain itu enggak ada lagi.”
“Baiklah, kalau begitu. Nanti Kakak yang bilang sama bos kamu.”
Erina langsung menghentikan langkahnya. “Jangan, Kak.”
“Lho, kenapa?” tanya Jenia bingung.
Erina menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu memerhatikan sekelilingnya dan tidak nampak sepi. Sejujurnya, ia sendiri bingung ingin berkata apa. Karena Alvaro pasti belum cerita pasal kepindahannya ke kantor percetakan.
Melihat Erina yang belum juga menjawab pun membuat Jenia semakin penasaran. Bukan karena ia penasaran alasannya, tetapi ia penasaran tentang apa yang sudah dilakukan Alvaro sehingga membuat Erina begitu hati-hati dalam bertindak.
“Na, are you okay? Alva enggak berbuat aneh-aneh di kantor kamu, ‘kan?”
Erina menipiskan bibirnya sebelum menjawab. “Alva jadi rekan kerja aku di sana, Kak. Kalau Kakak ke sana bisa kebongkar semuanya.”
Jenia mendelik terkejut dan hampir saja mengeluarkan bola matanya dari tempat yang disediakan.