9. Jenia's Shocked

979 Kata
Kini mobil mewah itu mulai membelah jalanan basah Distrik Utara. Banyak sekali pejalan kaki yang menggunakan payung, ada pula sebagian dari mereka berlarian dengan berlindung dibalik tas yang basah. Bahkan Alvaro yakin kalau air itu sudah tembus ke dalam. “Lo tinggal di sini, Kak?” tanya Erina membuka percakapan. Alvaro menoleh sewaktu-waktu mengangguk pelan. “Setelah lulus, gue langsung mutusin ke sini dan ternyata ketemu lo.” “Dunia itu sempit, ya?” Erina tertawa pelan mengingat pertemuannya tadi. Mungkin, tapi gue percaya kalau ini takdir. Karena enggak ada istilah dunia itu sempit. ” “Ya, ya.” Erina menggoyangkan sebuah kepalanya ke kanan dan ke kiri sembari menatap jalanan sepi di depan. Perlahan Alvaro membelokkan mobilnya memasuki parkiran di bawah tanah, membuat Erina berdecak kagum melihat rumah bergaya klasik. Ia yakin kalau lelaki itu tinggal sendirian, karena terlihat jelas bahwa rumah itu kosong, selain pekarangannya yang bersih. "Ini rumah lo, Kak?" tanya Erina sembari turun dari mobil dan meraih tas ranselnya yang berada di kursi belakang. “Iya. Gue baru beli beberapa tahun belakangan ini dan ditempatin baru sekarang, ”jawab Alvaro membuka bagasi belakangnya untuk mengambil koper yang berisikan barang-barang keperluan dirinya. Erina mengerutkan keningnya bingung melihat Alvaro yang utama yang berwarna hitam itu memasuki pintu garasi yang ia yakin itu adalah salah satu pintu samping. Jadi, lo sekalian pindahan, Kak? tanya Erina lagi, kali ini ia sembari mengikuti langkah Alvaro dari belakang. “Iya. Makanya gue ngajak lo ke sini, ”jawab Alvaro sembari mengulas senyum singkat dan mulai memasukkan kata kunci yang berbentuk finger print. Setelah itu, pintu pun terbuka menampilkan isi di dalamnya yang begitu menakjubkan. Bahkan Erina sampai tidak sadar bahwa sedari tadi ia tidak percaya melihat interior yang ada di dalam begitu mewah dan klasik untuk ukuran seorang lelaki seperti Alvaro. Perlahan gadis itu memasuki rumah sembari melihat-lihat furnitur yang ia yakin itu sangatlah mahal, lalu ada beberapa lukisan pemandangan yang sangat cantik terpasang di dinding lebar nan kokoh itu. “Gue ke dalam dulu, ya,” pamit Alvaro sembari menaiki satu anak tangga yang berada tepat di sampingnya. Sementara Erina yang sedang melihat-lihat keadaan rumah itu pun tidak mengindahkan perkataan Alvaro. Bahkan langkah kaki itu mengarah pada dapur cantik yang berwarna hitam-cokelat. Di sana terdapat mini bar dan beberapa pelaratan makan yang siap pakai. Langkah kaki Erina pun mengarah pada kulkas hitam yang lumayan besar. Dan ia sama sekali tidak menyangka di sana ada banyak sekali makanan yang tersajikan. Baik itu mentah maupun instan. Lalu, ia pun terpikirkan untuk membuatkan makanan, karena siang tadi ia tidak sempat makan. Dengan gerakan lihai, jemari lentik Erina mulai membuat tumis-tumisan sayur dan nasi goreng yang sempat ia temukan di penanak nasi. Bahkan ia sampai tidak sadar bahwa sedari tadi Alvaro telah turun lengkap dengan pakaian santainya, menatap gadis mungil yang kini memunggungi dirinya sembari tetap asyik berkutat di atas kompor. Harum semerbak khas masakan matang pun menyambut indera penciuman Alvaro sehingga lelaki itu tersenyum geli. Ia seperti tengah dimasakkan oleh istri. “Na, udah selesai?” tanya Alvaro meraih meraih selembar roti tawar yang berada di atas mini bar. Erina membalikkan tubuhnya sembari menggeleng pelan, lalu kembali berkutat dengan cekatan siap makan malamnya. Tak lama kemudian, makan pun telah siap, membuat Alvaro menatap gadis yang ada di hadapannya kagum. Kini Akira atau Erina mulai beranjak dewasa, bahkan tidak bisa dikatakan anak kecil lagi, walaupun tubuhnya masih sama seperti dulu. “Makan, Kak!” titah Erina tersenyum manis melihat Alvaro yang Bersiap dengan sumpit dan sendok yang ada di tangan kirinya. Alvaro tersenyum geli dan mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya sembari menjepit salah satu sayuran ke dalam sumpitnya, lalu menatap Erina dengan mata berbinar ceria. “Hmm ... enak! Enak banget malahan, ”balas Alvaro dengan lahap menghabiskan makanan yang dipersiapkan oleh Erina. Namun, di tengah makan malamnya tiba-tiba tiba-tiba pintu rumah Alvaro diketuk. Membuat penghapusan langsung bertatapan bingung, lalu Erina yang memutuskan untuk membuka pintu. Karena ia tidak ingin menganggu kesenangan Alvaro yang kini melahap habis makan malamnya. Tanpa pikir panjang Erina langsung membukakan dengan wajah ramahnya, tetapi tiba-tiba pergerakannya terhenti melihat seseorang yang sangat ia kenali berdiri di depan pintu menatap dirinya terkejut. “Hmm ... kamu ini Akira bukan, ya?” tanya wanita berwajah anggun yang masih sama seperti dulu. Hanya saja terdeteksi terlihat berbeda dengan kehadiran seorang gadis kecil yang berada di dalam gendongan lelaki dupilkat dari Alvaro. “Aku… iya, Kak. Mari masuk, di dalam ada Kak Alva lagi makan malam, ”jawab Erina kikuk sembari mempersilakan keluarga kecil itu. Sejenak Dzaky menatap Erina dari atas sampai bawah dengan pandangan bingung, lalu melenggang pergi mengikuti wanita anggun yang sudah berjalan menuju dapur. Kemudian, Erina kembali menutup pintu tersebut dan menyusul keluarga kecil yang kini sudah berdiri kursi kursi dapur. Jenia terlihat melipat kedua tangannya di depan d**a, sedangkan Dzaky tengah bercengkrama dengan gadis kecil yang ia baru tahu bernama Cherry. “Alva, lo utang cerita sama kita,” ucap Jenia dengan nada tajam. Sedangkan Alvaro dengan tenang melahap makanannya tanpa mengindahkan tatapan kedua orang dewasa yang kini siap untuk membombardir keadaan. “Iya, Kak. Gue juga harus nagih hutang sama Erina, ”balas Alvaro beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Erina yang masih setia berdiri di ambang pintu dapur tanpa merekomendasikan untuk menghampiri mereka. "Erina?" Kedua alis Dzaky bertaut bingung. Erina berdeham pelan membuat gagal menatap bingung. “Iya, Bang. Aku ganti nama sesuai hukum China sekaligus kewarganegaraan. ” “Apa, Ra !?” tanya Jenia dengan nada sedikit meninggi, membuat Cherry langsung menoleh ke arah mamahnya yang terlihat terkejut. Dzaky langsung membawa gadis kecil itu keluar, dan mengisyaratkan agar Jenia mengikutinya. Karena mata Cherry terlihat berkaca-kaca menahan tangis. Sementara Erina yang melihat wajah gadis kecil itu pun meringis. Ia ingin sekali menenangkan Cherry, tetapi takut ditolak karena ia baru bertemu hari ini. Alvaro terlihat santai melihat keluarga kecil itu melenggang keluar menenangkan Cherry agar tidak menangis. Untung saja di rumah adat ini tersedia beberapa mainan milik gadis itu, kalau tidak pasti akan menimbulkan suara yang cukup memekakkan telinga. “Alva, Akira, ke sini kalian berdua!” teriak Jenia membuat putus asa dan langsung melesat cepat sebelum wanita itu kembali berteriak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN