Aku memukul-mukul d**a yang rasanya sangat sesak. “Bagaimana... Mama...” Juna memelukku. “Tolong katakan ini mimpi.” Aku mencengkeram kuat kemejanya. “Aku harus terbangun dari mimpi ini.” Dia mengusap-usap kepalaku. “Kenapa aku belum bangun juga?”
Aku pasti masih koma. Ini salah satu mimpi buruk. Benar. Aku hanya perlu bangun sekarang. Berharap ada yang membangunkanku. Aku benar-benar tidak suka mimpi ini. Mama, tolong bangunkan aku.
Kulepas pelukan Juna. “Bagaimana Mama bisa...?” Tidak kulanjutkan kalimat ketika melihat Juna menitikkan air mata.
Jeda cukup lama sebelum dia bilang, “Tante April mengalami kecelakaan mobil ketika ingin menjengukmu di rumah sakit.”
Hening lama sebelum aku bisa membuka suara. “Kecelakaan mobil?” Aku berdeham, menormalkan suaraku yang sedikit serak. “Di mana Reno saat aku membutuhkannya? Kenapa dia juga tidak pernah datang menjengukku?”
Juna mengalihkan pandangan. “Reno sudah meninggal,” ujarnya.
“Reno sudah meninggal.”
Aku memegang kepala yang mulai terasa sakit. “Dalam kecelakaan yang sama dengan Mama?”
Dia menggeleng. “Reno meninggal karena luka tusukan.”
Aku menolak menatap Juna yang terlihat frustrasi.
“Sebaiknya kita kembali ke ruangan.” Juna mendorong kursi rodaku.
“Aku ingin ke makam Mama.”
***
Atas izin dokter, Juna bisa mengantarku ke makam Mama siang ini. Letaknya memang tak jauh dari rumah sakit. Ada pohon besar yang menaungi tempat peristirahatan Mama. Tanah kuburnya masih basah, bahkan bunga yang tertabur juga terlihat segar.
Andai aku bangun lebih cepat, mungkin Mama tidak akan meninggal dalam keadaan sedih. Setiap hari Mama mungkin kebingungan sendiri melihat anak satu-satunya tergolek lemah. Mama pasti merasa sangat kesepian tanpaku. Andai Papa masih hidup, Mama tidak akan sesedih itu. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Mama yang harus bolak-balik rumah sakit dan tempat kerja.
“Tante April selalu menunggumu sadar,” —Juna mengusap pucuk kepalaku—“beliau selalu meyakinkanku untuk menjagamu setiap hari, dan jangan pernah membiarkanmu sendiri.”
Aku terisak lagi. Juna segera ke depan kursi roda. Dia memelukku dan menenangkan dengan kalimat, “Aku akan selalu di sisimu.”
Setelah aku cukup tenang, dia melepas pelukan. “Mau ke makam Reno?”
Aku menggeleng. “Aku lelah. Lain kali saja.”
Sebenarnya tidak. Aku hanya belum sanggup ke sana. Aku butuh waktu untuk menerima kenyataan ini.
***
Sepulang dari makam, aku meminta Juna mengumpulkan beberapa data terkait kasusku. Ternyata dia sudah menyiapkan semuanya, seolah tahu aku akan meminta itu.
Menurut Juna, polisi akan memintaku ke kantor Polres saat aku siap, mungkin dalam artian sembuh. Karena sekarang sudah dua minggu, bisa jadi besok atau lusa aku akan ke kantor polisi.
“Minggu, 3 Desember, sekitar pukul 10 pagi, polisi menemukan mayat Reno di daerah pertokoan area Jalan Lily. Menurut berita di koran dan beberapa media, dia meninggal karena kehilangan banyak darah akibat luka tusukan di perut." Juna menyerahkan beberapa koran, dia berikan pula ponselnya yang menunjukkan berita kematian Reno. "Sementara kau ditemukan pada Kamis 7 Desember, sekitar pukul delapan pagi. Jadi, dari Senin sampai Rabu itu, kau menghilang."
Aku tidak ingat pergi ke mana selama itu. Mungkin aku diculik?
“Apa tidak ada dugaan kalau aku diculik?”
Juna mengerutkan kening. “Mungkin. Kau menghilang dan tidak ada kabar. Polisi juga sudah berusaha mencarimu tapi tidak berhasil menemukan. Aku bahkan melacak, tapi ponselmu selalu terdeteksi di tempat ramai dan berpindah-pindah. Seakan sengaja menunjukkan kau tengah dalam pelarian, bukannya disekap seperti yang kau duga.”
"Kau yakin?"
Juna mengangguk mantap.
"Bagaimana kondisiku saat ditemukan pada Kamis itu?"
Dia menghela napas. "Sekarat. Ada luka di betis kiri, luka bagian kepala yang kata dokter akibat benturan batu sungai."
"Jadi, kau mau bilang, kalau aku berniat bunuh diri dari jembatan di atas Sungai Bingai?"
"Tidak ada tanda-tanda kekerasan di tubuhmu, makanya aku juga menduga seperti itu."
Aku memijat tulang hidung yang seperti berdenyut. "Aku tidak mungkin bunuh diri."
Juna memandangku dengan sedih, dia melanjutkan mengeluarkan beberapa kertas dari ranselnya.
"Apakah polisi sudah menanyaimu?"
Juna mendongak sebentar, lalu sibuk lagi dengan kertas korannya. "Ya. Beberapa teman juga ditanyai."
"Apa yang mereka tanyakan?"
Pria tampan di depanku berkedip beberapa kali, dia berdeham kemudian bersandar ke sofa. "Teman dekat Reno, pacarnya, hubunganku dengannya, dan siapa saja yang dia kenal. Mereka juga bertanya aku di mana dan dengan siapa pada hari itu, semacamnya lah."
"Kau bebas dari tuduhan?"
Juna beralih duduk di sebelahku. "Tentu saja. Mana mungkin aku membunuh Reno dan membuat pacar tercintaku dalam bahaya." Dia meletakkan kepalaku di bahunya, lalu mengelus-elus rambut panjangku.
Aku melepas rangkulannya, melanjutkan membaca beberapa artikel di koran. "Apa saja yang berkaitan dengan kasusku?"
Juna menjelaskan segala yang dia tahu. Aku mencatat semua dalam buku catatan kecil dan merangkai kalimat apa yang akan kupakai agar polisi tidak mencurigaiku.
Aku mengambil kertas berisi deretan nomor ponsel yang dihubungi Reno. "Bagaimana kau mendapatkan ini?"
Juna mengerutkan dahi. "Bang Wira. Dia pengacara. Aku juga tidak tahu cara kerjanya, yang jelas sudah ada itu setelah polisi menanyaiku."
Aku mengamati lagi deretan nomor ponsel yang dihubungi Reno. “Kau adalah panggilan terakhirnya pada Minggu 03 Desember, pukul 00.15?”
Juna berdeham dan terlihat sedikit kikuk. “Ya.”
Ada yang salah di sini. Aku ingat Reno menghubungi polisi saat itu. Apa artinya dia tidak memercayai ceritaku? Kenapa dia malah menghubungi Juna?
“Apa yang dia katakan?”
Juna berdeham. “Aku tidak ingat. Saat itu aku setengah sadar menjawabnya. Panggilannya terjadi pada tengah malam. Aku sudah tidur.”
Juna bisa tidur sementara pacarnya belum tiba di rumah? Bahkan dia tidak menanyakan aku pulang dengan selamat atau tidak. Dan lagi, itu baru satu jam dari dia izin pulang menemui abang iparnya, masa dia langsung tidur setelahnya? Seperti bukan Juna saja. Dia biasanya menghubungiku dulu sebelum tidur.
Aku membalik kertas dan melihat panggilan masuk terakhir di ponsel Reno adalah Juna.
“Kamu jadi panggilan masuk terakhir juga. Ini pukul 23:15, setelah kamu izin pulang dari mal.”
Juna menggaruk tengkuknya dan tersenyum kikuk. “Aku meminta Reno melihatmu kalau nanti kau sudah tiba di rumah.”Begitu rupanya. Juna sudah memercayakanku pada Reno, jadi dia bisa tidur nyenyak di rumahnya. Aku menghela napas karena lega. Kupikir Juna ada kaitannya dengan pembunuhan Reno.
Setelah setengah jam berkutat dengan perkembangan kasus Reno, aku meminta Juna berpura-pura menjadi penyidik yang menanyainya waktu itu. Beberapa detail informasi kembali kucatat, dan kupikir aku siap menghadapi polisi. Aku sudah sering mendengar Papa menceritakan banyak kasus dan tentang simulasi, jadi masalah ini akan mudah bagiku. Aku hanya perlu jujur, dan tidak melebih-lebihkan cerita yang nantinya malah berbalik menyerangku. Ah, Papa seorang psikolog forensik.
Aku menghela napas. Apa aku benar-benar siap?
***