5.

1072 Kata
“...apa yang Anda lakukan?” Aku menatap kedua polisi bergantian. “Saya membawanya dan si pembunuh mengejar. Kemudian saya bertabrakan dengan Reno. Kami berlari lagi dari kejaran si pembunuh.” Wahyu menatapku tajam–mungkin mencari kebohongan dalam ceritaku. “Bukan Anda yang menusuk si wanita di gang, lalu membawa kamusnya pergi? Kemudian Anda bertabrakan dengan Reno yang memergoki Anda. Jadi, Anda juga membunuhnya untuk menghilangkan saksi mata.” Aku mencengkeram kuat bagian bawah kemejaku, mulai tidak nyaman duduk di kursi kayu ini. “Reno jauh lebih hebat dari saya. Dia ahli taekwondo. Saya pasti kalah kalau beradu pukul dengannya.” “Berarti Anda berniat adu pukul dengannya?” Aku menghela napas mendengar tuduhannya. “Saya bilang, ‘kalau’. Saya tidak berniat adu pukul dengannya.” “Anda tidak membantah menusuk wanita itu dan membawa kamusnya. Apa yang Anda inginkan dari kamusnya?” Jantungku berdetak cepat, d**a rasanya sesak dan darah seolah naik ke kepala. “Saya tidak membunuhnya! Wanita itu yang meminta saya membawa kamusnya.” Aldi dengan santai mengetik sementara Wahyu membalik kertas. “Baiklah, pertanyaan berikutnya. Apa benar Anda kehilangan ponsel malam itu?” Aku menghela napas sejenak. “Ya. Saya menjatuhkannya di gang itu.” “Tapi kami tidak menemukan ponsel Anda di sana. Malah ponsel Anda terlacak di beberapa tempat pasca-pembunuhan malam itu. Apa Anda dalam proses melarikan diri?” Aku mengepalkan tangan, menahan agar air mata tidak tumpah ke pipi. “Aku tidak melarikan diri! Ponselku memang hilang sejak malam itu.” “Kalau begitu, di mana Anda setelah malam itu?” Aku terdiam. Air mata lolos membasahi pipi. Tanganku gemetar, keringat mulai mengalir ke leher. “Saya tidak tahu,” lirihku, lalu menunduk menatap keramik putih di bawah kaki. “Maaf? Anda bilang apa?” Aku mendongak, menghapus air mata di pipi dengan tangan yang dingin. “Saya tidak ingat.” “Berarti ada kemungkinan, Anda tidak ingat telah membunuh wanita itu dan Reno?” Jantungku semakin berdetak cepat. “Aku tidak membunuh mereka.” Tangisku pecah. Dalam isak tangis, aku mengulang lagi pembelaan diri. “Aku tidak membunuh mereka. Aku melihat sendiri orang berhoodie membunuh wanita itu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana Reno bisa meninggal.” Aku menutup muka, tidak peduli lagi dengan investigasi mereka. Apa-apaan nasib sialku ini? Setelah sadar dari koma malah mendapat kejadian beruntun yang menyebalkan. Aldi berdeham, aku mendongak. Dia memberiku tisu dan air mineral. Kuusap ingus dan air mata lalu menenggak air dalam gelas sampai tak bersisa. “Apa Anda tahu hubungan Reno dan wanita itu?”  “... hubungan Reno dan wanita itu?” Aku menggeleng, masih menyisakan sesenggukan akibat tangis. “Bagaimana dengan Rahdila? Apa Anda tahu hubungan Reno dan gadis itu?” Aku menggeleng lagi. “Aku tidak tahu.” “Apa anda mengenal teman dekat Reno selain Juna? Kekasihnya, misalnya?” “Tidak ada yang lain. Reno hanya dekat dengan saya dan Juna. Dia tidak punya pacar. Dan tidak akan pernah.” Wahyu mengernyit saat Aldi melanjutkan ketikannya. “Kenapa Anda sangat yakin Reno tidak akan pernah punya pacar?” "Dia pernah mengatakannya sendiri." Aldi kembali mengetik saat Wahyu menatapku tajam. Pria berkulit putih itu melanjutkan interogasi. "Jadi, Anda tidak tahu kalau Reno punya pacar?" Aku hanya mengangguk. "Bagaimana kalau Anda membunuh pacarnya tapi pura-pura tidak ingat?" "Aku benar-benar tidak membunuhnya." "Berarti Anda mengakui pura-pura hilang ingatan?" "Saya tidak pura-pura! Saya memang tidak ingat, dan saya yakin tidak membunuh wanita itu." "Lalu bagaimana bisa ada pengakuan ini? Apa ini bukan suara Anda?"  Wahyu mengeluarkan alat perekam kecil seperti ponsel, menekan tombol di tengahnya dan terdengarlah suaraku. “Tolong maafkan aku, Reno... Aku tidak bermaksud menusukmu... Ingatlah kalau aku selalu menyukaimu.... Saat kutahu kau punya pacar, kupikir… kita tidak akan seperti dulu lagi. Aku takut kita tidak bisa… bernyanyi bersama lagi. Maafkan aku, Reno. Aku menyesal telah menusukmu. Aku hanya tidak suka pacarmu. Tolong maafkan aku.” “Anda mengakui ini suara Anda?” tanya Wahyu. Sial! Itu memang suaraku. Tapi aku tidak ingat pernah mengatakannya. Apa benar aku membunuh Reno tapi tidak mengingatnya? Aku menatap takut tangan Wahyu yang memegang alat rekam itu. “Anda mungkin marah saat tahu Reno pacaran dengan Rahdila, lalu Anda menusuknya dengan pisau. Kemudian Anda lari. Karena merasa bersalah, Anda kemudian   menghubungi Reno dan mengaku. Tapi karena Anda tidak mendapat respons dari Reno, Anda memutuskan bunuh diri dengan terjun ke Sungai Bingai.” Aku membunuh Reno lalu bunuh diri? Mustahil. Aku memukul-mukul d**a yang terasa sesak. Ingin kukatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Sulit bernapas, aku butuh oksigen. Kepalaku berdenyut lagi dan pandangan perlahan mengabur. Aku berkedip beberapa kali untuk memastikan tempatku berada saat ini. Terdengar suara aliran Sungai. Saat mengamati sekeliling, akhirnya aku tahu sedang berada di dekat Sungai Bingai. Aku berjalan tertatih dengan kaki kiri yang pincang. Sendirian, tanpa Reno, dan tidak ada kamus itu dalam dekapan. Aku semakin terkejut saat mendapati tanganku penuh darah. Detak jantungku semakin tidak menentu, napas memburu dan aku terus menggeleng. Beberapa saat kemudian, aku kembali mendapati ruang interogasi. Terlihat ekspresi datar dari dua pasang mata. Aku menghirup oksigen sebanyaknya. Apa yang barusan itu? Imajinasi ataukah ingatanku? Terlalu nyata kalau dianggap imajinasi. Kenapa  aku ke Sungai Bingai? Apa sebenarnya aku tidak ingat kalau sudah membunuh Reno? Ini sangat tidak masuk akal. Kepalaku mulai pusing lagi. Dugaan Wahyu masuk akal. Aku bisa saja membunuh mereka, tapi tidak ingat. Walau statusku hanya saksi, bisa saja derajatku nanti naik jadi tersangka, lalu terdakwa dan malah berakhir sebagai terpidana. Terlebih tidak ada orang lain yang bisa disalahkan, bahkan Rahdila masih berstatus hilang. Aku khawatir dia sudah tewas dan dibuang di suatu tempat, atau parahnya, wanita yang kulihat saat itu benar-benar dia. Kalau sudah begitu, dugaan aku sebagai pembunuh Reno akan semakin kuat. Bahkan aku bisa dituduh membunuh Rahdila juga. Tidak ada saksi atau bukti konkret kalau yang kusaksikan malam itu adalah pembunuhan seorang wanita. Ah, ada. Kamus itu.  Jika aku bisa membuktikan bahwa kamus itu nyata, bukan imajinasi seperti kata Wahyu, kesaksianku akan semakin kuat. Kalau begitu, aku harus menemukan kamus terlebih dahulu. Pasti ada sesuatu di dalamnya, sampai wanita itu rela membawanya meski nyawanya dalam bahaya. Atau lebih bahaya lagi kalau ternyata si pembunuh menginginkan kamusnya sampai tega membunuh wanita itu. Kalau kuingat lagi, wanita itu juga menyuruhku menyembunyikannya, dan si pembunuh sempat merogoh gaun untuk mencari sesuatu. Sepertinya tepat jika aku tidak menceritakan ingatan baruku tadi. “Ada apa? Anda mengingat sesuatu?” tanya Wahyu. Aku menggeleng. "Tidak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN