Arvan terus menatap wajah Celyn yang ia potret secara diam-diam. Sudut bibirnya terangkat ketika mengingat masa-masa ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
Arvan tak mengedipkan matanya ketika Celyn berjalan melewatinya. Ia terlihat begitu cantik dan paling menonjol dari pada teman-teman di kelasnya.
"Namanya Celyna, biasa di panggil Celyn," ucap Ari.
"Apa dia punya pacar?" tanya Arvan.
"Apa kamu percaya jika aku mengatakan tidak?" Arvan menggelengkan kepalanya.
Gadis cantik dengan tubuh yang begitu indah, siapa pun pria akan menyukainya. Apa lagi Celyn di kenal sebagai siswi yang ramah kepada siapa saja. Meski terlahir dari keluarga kaya raya, Celyn dikenal rendah hati.
"Apa kamu punya nomor ponsel Celyn?" tanya Arvan.
Ari menyeringai lalu membuka ponselnya. "Jangan bikin aku malu," pesannya.
Arvan tak begitu peduli dengan ucapan sahabatnya itu. Ia kemudian menulis nomor Celyn dan mencoba menghubunginya. Ketika panggilannya terhubung dan di angkat oleh Celyn, Arvan bergegas mematikan panggilan tersebut.
"Ada apa dengan jantungku, hanya mendengar suaranya saja aku benar-benar gugup," gumam Arvan. Ia mengusap wajahnya dengan kasar lalu masuk ke dalam kelasnya.
Sejak saat itu Arvan pun memberanikan diri untuk mengirim pesan lebih dulu kepada Celyn. Berkali-kali ia menghapus pesan yan akan di kirim. Arvan begitu takut jika pesannya tidak di balas oleh Celyn.
Arvan : "Hai, Celyn."
Tangannya berkeringat dingin, mata Arvan terus menatap layar ponselnya berharap Celyn membalas pesannya. Namun, dua jam menunggu pesannya pun tidak pernah di balas, bahkan tidak dibaca oleh Celyn.
Karena malu Arvan berniat menghapus pesan yang sudah ia kirim. Betapa terkejutnya Arvan saat pesannya berubah di baca. Terlihat Celyn sedang mengetik pesan.
Celyn : "Hai," balasnya.
Hanya satu kata bisa merubah dunia Arvan. Ia begitu bahagia mendapat pesan dari Celyn dan berniat kembali membalas pesan tersebut. Lamban laun hubungan Arvan dan Celyn semaki dekat, tetapi hanya di pesan saja. Karena Arvan tidak berani menunjukkan jati dirinya kepada Celyn, ia terlalu takut cintanya bertepuk sebelah tangan.
Arvan : "Setelah lulus SMA kamu mau kuliah di mana?" pesan Arvan
Celyn : "Aku mau kuliah di Singapura," balasnya.
Arvan begitu terkejut saat mendengar Celyn akar pergi ke Singapura. Ia pun berniat setelah ujian akhir sekolah mengajak Celyn untuk bertemu.
Arvan : "Selesai ujian, aku ingin bertemu denganmu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Celyn : "Oke."
Tepat pukul sebelas siang, Arvan sudah menunggu Celyn di taman. Tempat yang sudah ia tentukan untuk pertemuannya dengan Celyn. Arvan melihat ada keanehan ketika melihat wajah Celyn yang begitu layu. Tidak ada senyum saat menyapa, terlihat pendiam tak biasa seperti yang ia lihat.
"Hai celyn," sapa Arvan.
"Jadi kamu yang selama ini mengirim pesan. Kenapa tidak menyapa ketika bertemu?" tanya Celyn.
"Aku malu," jawab Arvan.
"Oh begitu. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?"
Degup jantung Arvan semakin terpacu dengan cepat. Ia menghela napasnya dengan kasar lalu berkata, "Aku suka sama kamu."
Celyn hanya diam tak merespon ucapan Arvan. Ia pun semakin salah tingkah dan kembali mengutarakan perasaannya yang selama ini di pendam.
"Aku tau ini terlalu cepat. Tapi aku memendam rasa ini sudah cukup lama, Lyn. Maukah kamu jadi pacarku?"
Celyn beranjak dari duduknya, berdiri di depan Arvan.
"Apa udah selesai?" Arvan lalu berdiri mencoba mencerna ucapan Celyn. "Maaf, aku tidak bisa," tukasnya.
Tanpa berkata apa-apa lagi Celyn pergi meninggalkan Arvan yang begitu patah hati karena di tolak oleh Celyn.
Bel berbunyi, membangunkan Arvan dari mimpi buruknya akan penolakan Celyn. Ia beranjak dari ranjang, lalu melihat siapa tamu yang pagi buta datang ke apartemennya.
"Kok lo belum siap. Lo lupa ya kalau hari ini kita mau ke Surabaya," ucap Dina menerobos masuk ke apartemen sepupunya itu.
"Surabaya. Oh my God, aku lupa. Kamu udah nyiapin berkas untuk meeting kita, kan?" oceh Arvan.
"Udah siaplah, ratusan kali kamu ngomong cuma buat ngingetin berkas itu," kesal Dina. "Ayo buruan, nanti ketinggalan pesawat."
Arvan kembali masuk ke kamarnya untuk mempersiapkan dirinya. Sedangkan Dina duduk di sofa sembari melihat buku tahunan saat mereka SMA.
Sudut bibir Dina tersenyum ketika ia melihat fotonya yang begitu culun saat masih SMA. Namun, senyumnya memudar ketika melihat foto Celyn yang di coret bagian wajah dan kepalanya.
"Jahat sekali dia," gumam Dina.
Arvan keluar dari kamarnya menggunakan setelah jas berwarna hitam. Dengan kasarnya ia menarik buku perpisahan yang sedang Dina pegang lalu melemparnya ke meja.
"Ayo, berangkat."
"Ck, dasar cowok galak. Pantes Celyn nolak kamu, tingkah kamu saja begitu menyebalkan," tukasnya.
"Apa aku begitu menyebalkan?" tanyanya.
"Ayo cepat, nanti kita ketinggalan pesawat," ujar Dina mengalihkan pembicaraan.
Arvan mendelik, lalu masuk ke dalam lift menuju basemen. Di perjalanan menuju Bandara, Dina meminta izin kepada Ervan untuk memasukkannya ke dalam grup alumni.
"Untuk apa?" tanya Arvan.
"Nanti aku masukkan ke dalam grup alumni," jawab Dina.
"Grup alumni sekolah?" Dina mengangguk. "Ah, tidak perlu, aku tidak mau bergabung dengan orang-orang yang hanya membicarakan pencapaian dan membanding-bandingkan hidup mereka," sambungnya.
Dina berdecak mendengar penuturan Arvan yang tujuh puluh persen benar adanya.
"Celyn juga gabung di grup alumni. Akhir pekan ini kami mau mengadakan reuni di restoran Viola," papar Dina.
"Aku tidak peduli," cibirnya.
"Oke baiklah. Namamu aku coret dari daftar peserta," oceh Dina. Arvan mencoba mengabaikan Dina dan memilih untuk fokus dengan ponsel yang ia pegang.
***
Celyn membuka pesan yang di kirim oleh Deril. Ia tersenyum, lalu membereskan semua pekerjaannya yang sudah selesai.
"Aku pulang duluan ya," ucap Celyn berpamitan dengan Kiki.
"Iya, hati-hati," ujarnya sembari melambaikan tangan.
Celyn menyunggingkan senyum saat Deril merentangkan tangannya di samping mobil.
"Beri aku pelukan," ungkap Deril. Bukannya memberi pelukan, Celyn malah memukul tangan Deril kemudian masuk ke dalam mobil. "Pelit sekali, padahal aku hanya meminta pelukan."
"Apa kau tidak malu di lihat orang lain," oceh Celyn.
"Tidak apa, kau memang milikku," jelasnya.
"Oh iya, akhir pekan ini apa kamu bisa menemaniku ke acara reuni sekolah?" tanya Celyn. Deril terdiam tak menjawab ucapan Celyn. "Itu jika kau tidak sibuk," sambungnya merasa tidak enak.
"Aku akan menemanimu," tukas Deril kemudian melajukan mobilnya.
Mendapat sinyal hijau dari Deril, Celyn kemudian menghubungi Dina untuk memastikan jika dia akan datang ke acara tersebut.
"Halo, Dina. Ini aku Celyn."
"Iya, aku tahu karena aku menyimpan nomormu. Ada apa, ada yang bisa aku bantu?" tanyanya.
"Aku hanya ingin memberitahumu jika aku akan datang ke acara reuni."
"Benarkah, kau memang harus datang. Aku ingin berkumpul dengan teman-teman SMA kita dulu. Bye the way, apa kamu datang dengan pasanganmu?"
"Iya, aku datang bersama pacarku."
"Ah aku iri. Apa pacarmu tampan? aku penasaran pria seperti apa yang berhasil menaklukan hatimu," paparnya.
Asik berbincang dengan Celyn, Dina tidak sadar jika di belakangnya Arvan tengah menguping pembicaraan mereka.
"Pacar--"