Cerita Kevin

1540 Kata
Azzam terlihat melangkah pelan memasuki ruangan UKS dengan perasaan cemas. Matanya menyapu semua isi ruangan yang lumayan luas itu, tangannya perlahan menyingkap kain sekat yang menutupi ranjang-ranjang disana. Ia bernafas lega melihat Azura sedang makan krim soup dengan lahapnya. Tidak ada orang disana hanya cewek berkerudung itu seorang diri. Azura mendongak kecil dengan kerlingan berharap, saat melihat Azzam yang sudah tersenyum padanya membuat lengkungan pada bibirnya berubah jadi garis lurus. "Gimana perutnya, udah enakan?" Ujar Azzam sudah mendudukan diri di sisi ranjang, Azura tak menjawab malah merunduk dan mengaduk-ngaduk krim soupnya. "Masih marah?" Azura mendongak kecil lalu mengangguk dengan polosnya. "Gue minta maaf," Tutur kembarannya tulus. "Yang masalah Alisa, gue cuma gak mau lo ada masalah sama dia. Itu aja," Azura menggigit bibir bawahnya pelan dengan mata yang sudah memanas. "Tapi diakan udah ngehina lo, udah sepantasnya dia gue jambak. Bukannya minta maaf kayak yang lo lakuin," katanya sudah menangis, ia selalu saja cengeng di depan Azzam. Sang kakak menghela pelan sembari mengangguk dengan tersenyum simpul, "Ia gue tahu. Udah gak usah nangis. Kalau ayah tahu. Gue bisa kena ceramah panjang lebar," katanya sembari mengusap bulir air mata di pipi sang adik, Azura pun tersenyum. "Masih mau istrahat disini, atau mau balik ke kelas?" Tanyanya sembari memegang kening sang adik. Azura menggeleng cepat, "Gue udah gakpapa, gue langsung sembuh. Apalagi habis makan krim soup ini," ujarnya menahan senyum yang hampir terpatri pada bibir mungilnya. "Dari siapa?" Azura merona seketika, "Dari Kevin," balasnya mencicit malu, Azzam menautkan alis merasa pernah mendengar nama cowok yang baru saja adiknya tuturkan. "Ayo balik," katanya lalu berdiri dari kursinya, Azura pun turun dan memakai sepatu yang tertata rapi di bawah lantai. Saat mereka keluar tiba-tiba pintu UKS kembali terbuka, Alvaro berdiri dengan memekik kaget karena kemunculan keduanya. Azura memicing melihat penampakan cowok itu dengan wajah kaget seperti ketahuan mencuri sesuatu. "Ngapain lo disini?!" Jutek Azura kembali ke habitatnya, cowok jangkung itu memutar mata jengah. "Mau ngapelin mbak Dian," balasnya santai membuat Azura mendelik kecil. "Kayak mbak Dian mau aja sama penutup botol kayak lo," Alvaro mendengkus kasar, "Yah maulah, siapa yang gak mau sama gue?" Ujar Alvaro dengan membusungkan d**a, Azura mendelik jijik. "Gue," balas Azzam santai dengan wajah datarnya, Azura dan Al kompak menoleh pada cowok yang hanya memasang wajah polosnya. "Yaiyalah anjir masa lo suka sama gue, emang lo bambu?" Kata Al merasa merinding seketika, "Lo sakit?" Ujar Azura bingung dengan perubahan sang kakak. Gadis itu menjulurkan tangannya pada Azzam yang hanya tersenyum tipis. "Becanda." "Mana ada orang becanda terus mukanya datar kayak lo, ibaratnya lubang hidung pindah keatas, jadinya aneh," cerocos Al panjang lebar masih menghalangi pintu keluar. "Ngomong apa sih lo? Minggir gue mau lewat," jutek Azura lalu mengibas-ngibaskan tangannya menyuruh cowok itu menggeser tubuhnya. Alvaro memaki kasar walau kemudian memberi jalan keluar pada keduanya. "Lo lebih baik sakit lagi dah, biar lo ingat mati jadinya gak kasar-kasar sama gue," Azura berdecak saat melihat Al mengekori mereka berdua, Azzam tak ambil pusing hanya menyimak keduanya yang beradu mulut. "Lo pantas gue kasarin," Al mendelik, "Untung ada kembaran lo, kalau gak udah gue gelindingin lo sampai kelas" Azura memutar mata jengah lalu menghentikan langkahnya dan menatap Alvaro tepat. "Alvaro!" Ujarnya tiba-tiba manis dengan perlahan mendekat pada cowok itu, Azzam menghela pelan dengan hanya mengusap tengkuknya. Alvaro berdehem pelan, hampir saja terpana dengan senyuman manis milik Azura. "Gue mau bilang satu hal sama lo," cicitnya malu-malu dengan mengerjap-ngerjap pelan, Kali ini Alvaro bergedik ngeri. "Apa!" balas Alvaro tak santai. "Lo tau guguk gak?" Alvaro menautkan alis sembari menggangguk. "Nah, gue sekarang lagi ngobrol sama guguk," katanya lalu berlalu pergi dengan bangga, Azzam sendiri hanya memukul pelan bahu Alvaro lalu mengekori Azura. Sedangkan Alvaro masih berusaha mencerna omongan cewek itu, "Ngobrol sama guguk? Maksudnya ..." "LAH ANJIR, DIA NGATAIN GUE ANJING?" *** Pemuda berkacamata bening itu tengah duduk di dalam mobil sembari membuang muka ke jalanan memperhatikan hilir-mudik kendaraan yang berlalu lalang dengan padatnya. Ia menghela nafas pelan, lalu menolehkan kepala ke depan saat sosok yang mengemudi memanggil namanya. "Ini bonus buat kamu," wanita paruhbaya itu menyodorkan beberapa lembar uang seratusan padanya, pemuda itu pun menerimanya dengan tersenyum samar. "Kalau bukan karena kamu yang menjadi tutor Alisa, mungkin dia tidak akan bisa mempertahankan prestasinya selama ini. Yah, walaupun dia tidak bisa meraih posisi kamu sebagai murid terbaik di sekolah, setidaknya dia membanggakan saya dan papanya," ujarnya sembari melirik cowok berseragam putih abu-abu itu pada kaca mobil. Alisa yang memang sedari tadi duduk di sebelah kursi kemudi mencebikan bibkrnya kesal. "Gak usah lebay ma, Alisa bisa karena memang Alisa cerdas, gak ada hubungannya sama siapapun tutornya," katanya dengan melirik tak sahabat pada Kevin di kursi penunpang. "Lagian yah Vin, gue pasti bisa dapatin posisi lo sebagai murid terbaik tahun ini," ujarnya dengan percaya diri, Kevin hanya mengangguk lemah tanpa mau menggubris. Mobil pun masih melaju pelan menyusuri jalanan yang di d******i kendaraan beroda empat. "Oh iya, guru-guru udah kasih tahu kapan jadwal olimpiadenya?" Tanya wanita itu lagi, Alisa menggeleng cepat dengan kening mengkerut. "Belum ma, mungkin besok." Ujarnya lalu kembali merunduk pada ponselnya, Kevin sendiri hanya sibuk melirik jam tangan yang melingkar pada pergelangan tangan kanannya. "Mama udah siapin beberapa soal dan juga buku buat persiapan kamu ikut Olimpiade," Alisa memekik senang, keduanya mengobrol seakan Kevin tidak ada di dalam sana. Kevin dan Alisa adalah murid tetap yang mengikuti Olimpiade selama dua tahun ini. Dan besar kemungkinan tahun ini mereka berdua yang akan mendapat kehormatan itu. Mobil pun berhenti di depan rumah sederhana dengan beberapa tanaman di halaman rumahnya, Kevin terlihat membuka pintu mobil sembari pamitan pada mama Alisa dan juga Alisa. "Terima kasih tante, tumpangannya," Clara membalas dengan hanya menarik kedua sudut bibirnya pelan lalu melaju dengan mobil sedan hitamnya. Setelah menatap kepergian Alisa dan juga Clara, Kevin langsung melenggak masuk ke dalam rumah sembari membuka gerbang. Tidak ada orang disana hanya ia seorang diri, ia pun memasuki rumahnya setelah berhasil membuka pintu rumah. Pemuda jangkung itupun langsung melesat ke dalam kamar, menaruh tasnya. Tangannya merogoh uang tips yang dikasih Clara tadi dan menyimpan di dalam topleks sosis yang kosong. Sudah ada beberapa uang disana, ada yang seratusan sampai yang ribuan. Ia menghela pelan, merenggangkan tubuhnya lalu menyalakan lampu belajarnya. Rutinitasnya setiap hari, setelah pulang sekolah ia akan langsung berkutat dengan beberapa buku tebalnya. Langganan seorang Kevin Wijaya. Matanya melirik foto yang ia tempel pada tembok, ada wanita paruhbaya dan juga pemuda yang sedang tersenyum lebar di sana. Ia tersenyum kecut menatap potret kenangan manisnya bersama sang ibu yang kini masih terbaring di rumah sakit. "Maafin Kevin ma, belum bisa bikin mama bangga," ujarnya merasa bersalah, merasa tidak ada gunanya ia menjadi satu-satunya putra ibunya. Menjadi tulang punggung buat keduanya, menjadi tutor untuk beberapa temannya agar mendapat upah. Uangnya bisa ia tabung untuk biaya rumah sakit dan juga hidupnya. Kalau sekolah, alhamdulillahnya Kevin dikarunia otak pintar dan bisa mendapat beasiswa disana. *** Seorang gadis tengah duduk pada meja belajarnya dengan mata yang sibuk merunduk pada buku tebalnya. Kamarnya dipenuhi dengan tempelan kertas kecil yang bertuliskan rumus-rumus dan juga beberapa rangkuman yang ia tulis. Di dalam ruangan yang luas itu terlihat pengap tanpa jendela, di samping tempat duduknya terdapat lemari berisikan buku-buku di sana. Hidup gadis itu tidak jauh-jauh dari buku. Ketukan pintu dari luar kamarnya tak membuat ia menghentikan aktifitas belajarnya. Clara, sang mama langsung masuk dengan menenteng minuman hangat dan cemilan untuknya. "Ini makan dulu, mama udah bikin cemilan kesukaan kamu dan juga minuman anti stress," Alisa terkekeh sembari meraih cangkir yang mamanya sodorkan, ia pun menyecap sedikit lalu meletakannya lagi. "Makasih ma," Clara mengangguk kecil lalu mencolek lengan Alisa pelan, "Kenapa ma?" Wanita paruhbaya itu menghela kasar lalu beranjak dari duduknya. "Mamanya Kevin masih di rumah sakit kan?" Alisa mengangguk dengan mata yang masih fokus pada bukunya. Clara tersenyum miring, "Gimana kalau kamu bikin Kevin gak jadi ikut Olimpiade?" Alisa menghentikan aktifitasnya lalu mendongak kecil pada mamanya. "Maksud mama?" "Kamu ini bodoh atau gimana? Ikut Olimpiade itu bisa jadi nilai tambahan buat kamu dan juga Kevin. Kalau dia tidak ikut Olimpiade otomatis kamu bisa lebih unggul dibanding dia," Alisa menggeleng cepat. "Alisa gak mau, itu sama aja mama ngeremehin kemampuan Alisa. Mama tenang aja. Alisa bakalan belajar lebih keras lagi biar bisa masuk Universitas yang mama sama papa pengen, tanpa harus ngorbanin siapapun," Clara memutar mata jengah lalu memegang kedua pundak Alisa agar menghadap kearahnya. "Seberapa pun kamu berusaha kamu akan tetap kalah telak sama kepintaran Kevin," Ujar mamanya dengan menatap mata Alisa tepat, gadis itu diam-diam meremas rok diatas lututnya. "Kevin itu genius, mau dia belajar ataupun tidak. Dia bakalan dapat nilai sempurna, gak kayak kamu," lanjut mamanya lagi. Alisa menelan ludah sembari menggigit bibirnya. "Harus bangat mama bandingin aku sama Kevin?" "Harus, karena Kevin adalah patokan kamu sekarang. Nilai kamu jauh dari nilai dia, jadi mama nyusun rencana ini buat dia gagal ikut Olimpiade. Supaya kamu dapat sedikit celah buat menang," Alisa menggigit bibirnya kesal, ingin menentang namun selalu saja ia tidak berdaya. Clara selalu saja mengintimidasi anaknya seperti itu, nilai sempurna selalu saja jadi acuan. Alisa sendiri sampai lelah dengan sikap kedua orang tuanya. "Terserah mama," kata Alisa pasrah, membuat senyuman miring terpatri pada bibir bergincu merah itu. Yang kuat menindas yang lemah, yang berotak akan kalah dengan mereka yang beruang. Itulah hukum dunia yang seringkali membuat geleng kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN