Sebelum Mawar mengurung dirinya sendiri dalam kediaman Elysseria, ia seringkali diundang untuk mengikuti perjamuan teh oleh putri para bangsawan lain. Saat itu Mawar masih dipandang sebagai satu-satunya putri Marquis Fullmeir yang sah. Ia akan duduk bersama tujuh sampai delapan perempuan lain dengan rentang usia yang mirip. Umumnya mereka semua akan memakai gaun berwarna pastel, menandakan umur mereka yang masih belia.
Awalnya Mawar rajin untuk mengganti warna gaunnya pada setiap perjamuan teh. Biru muda, merah muda, hingga kuning muda. Meski untuk sesaat, pakaian yang dipertunjukkan adalah pemberitahuan mengenai status bangsawan tersebut.
Namun setelah ibunya meninggal, Mawar selalu mengenakan gaun berwarna abu-abu.
Percakapan yang dulunya seputar desainer, perhiasan, dan kafe terbaru di ibukota kian berubah menjadi mengenai kematian ibu Mawar. Semakin lama, Mawar juga berpikir percakapan para gadis tidak menarik sama sekali. Membosankan. Tiada dari mereka yang tahu-menahu mengenai keadaan politik ataupun ekonomi.
Terdapat satu topik yang selalu diungkit pada setiap perjamuan, yaitu mengenai pernikahan. Hampir semua gadis mendambakan pria yang dinikahinya adalah seorang bangsawan kaya nan tampan yang gagah. Namun mereka juga ingin pria itu memanjakan mereka.
“Bagaimana jika pria seperti itu ada namun bukanlah seorang bangsawan ataupun seorang yang kaya?” tanya Mawar suatu waktu.
Para gadis itu langsung terdiam. Mereka saling melirik satu sama lain, tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Mawar. Hingga akhirnya Daniella, yang tertua di antara mereka menjawab, “Lalu, apa pria itu akan meminta istrinya untuk bekerja fisik demi mencukupi kebutuhan sehari-hari?” Danielle mendecih tidak suka. “Bagaimana seorang istri akan berbahagia bila demikian?”
“Dengan kata lain, maksudmu adalah hanya istri para orang kaya dan bangsawan yang dapat berbahagia karena tidak perlu bekerja fisik?”
“Mawar.” Terdapat nada peringatan dalam perkataan Daniella. “Seorang bangsawan selayaknya menikahi bangsawan lain. Dan untungnya bagi kita, menjadi istri seorang bangsawan tidak perlu untuk bekerja fisik. Kita cukup untuk mengurus masalah kediaman saja. Urusan pemerintahan dan pekerjaan fisik seperti perang ataupun perdagangan selayaknya dipegang oleh lelaki.”
Selayaknya?
Mawar melihat tatapan Daniella tanpa cela. Di balik perkataannya yang terdengar diplomatis, Mawar dapat melihat gadis itu betul-betul memercayai bahwa tujuan hidup seorang putri bangsawan adalah untuk menjadi istri rumahan saja. Dan bahwa baginya tidak ada kebahagian tanpa harta.
Beberapa gadis lain ikut mengangguk mengikuti Daniella.
Lagipula, harta memberi kenyamanan. Rumah yang besar, pakaian yang indah, makanan yang mengenyangkan perut. Bagi mereka yang dari lahir sudah terbiasa dengan kemewahan seperti itu, pasti akan sangat susah untuk melepasnya. Namun apakah benar itu arti kebahagiaan sebenarnya?
Dulu Mawar memiliki sentiment yang sama dengan mereka. Semuanya berubah ketika ibunya meninggal. Ia melihat busuknya para bangsawan. Dan semua pakaian serta perhiasan indah yang diberikan pada Mawar adalah hasil dari skema-skema keji. Jujur, Mawar merasa jijik mendekorasi dirinya di atas kesengsaraan orang lain. Oleh karena itu ia selalu menggunakan gaun hitam atau abu-abu dan bukannya berbagai gaun berwarna cerah yang dibelikan Rendre.
Bagaimana bisa ia merasa bahagia dibalut barang-barang mewah yang membuatnya merasa kotor?
Kupikir mereka lugu. Namun sepertinya mereka pura-puru dungu.
Mawar ingin tertawa ketika mengingat kembali percakapan-percakapannya dengan para putri bangsawan itu. Karena sekarang, Mawar sedang menjalani mimpi mereka.
Tubuhnya terbalut dalam sebuah gaun putih dengan pernak-pernik yang indah. Cadar putihnya menjuntai dari sebuah mahkota perak di atas rambut hitamnya, menutupi wajahnya yang masih bertopeng. Karena lukanya sudah mulai memudar, ia menggunakan topeng yang lebih kecil, berbentuk seperti kupu-kupu berwarna perak. Di tangannya, sebuah rangkaian bunga mawar merah memberikan warna yang kontras dengan gaunnya. Warna mawar itu sama dengan warna manik mata Mawar.
Mawar telah menjadi pengantin untuk seorang bangsawan yang kaya, tampan dan ‘gagah.’ Kepiawaian Victor dalam perang sudah tidak dapat diragukan. Dan ketampanannya? Ya, Mawar harus mengakui pria itu memiliki tampang yang maskulin.
Victor adalah tipe pengantin pria yang diidamkan para putri bangsawan itu. Dengan rambut pirang dan tubuh kekarnya….
Pfft. Apa ini adalah karma untukku?
Mata Mawar menatap pintu sebuah ruangan dengan lekat. Suara terompet memberitahukan para audiens di ruangan itu mengenai kedatangan sang pengantin. Lalu pintu itu terbuka perlahan.
Sebuah karpet merah terjuntai dari pintu hingga altar di ujung ruangan. Dan di depan altar, dua sosok pria berdiri. Satu mengenakan jubah keagamaan yang berwarna putih dan menjuntai hingga kaki, sudah pasti ia adalah pendeta upacara pernikahan itu. Sementara pria satunya mengenakan… pakaian zirah lengkap.
Saat itulah Mawar baru sadar bahwa semua audiens di ruangan itu kian mengenakan pakaian zirah yang sama. Mereka semua adalah pasukan Maraina. Tidak ada satupun pria yang mengenakan pakaian formal selayaknya bangsawan. Dan tidak ada perempuan. Bahkan para pelayan perempuan pun tidak ada. Tidak ada satupun staf kediaman Maraina di dalam ruangan itu. Hanya Lisa dan Mary yang mengantarkan Mawar, itupun mereka menunggu Mawar di depan ruangan.
Dengan cepat, otak Mawar berputar. Satu, bisa saja Victor sudah menyebarkan undangan namun tidak ada bangsawan yang sudi datang. Bila demikian, maka permasalahan politik di Maraina jauh lebih sulit dari yang Mawar perkirakan. Undangan yang diberikan oleh atasan adalah sebuah perintah secara tidak lisan. Menolak undangan tersebut dapat diartikan sebagai pembakangan.
Hal kedua yang Mawar pikirkan adalah….
Victor Maraina… Apa ia berencana membunuhku sedetik setelah kita menyatakan janji? Untuk apa membawa banyak kesatria hanya untuk membunuh Si Buruk Rupa dari Selatan?
… Hari itu bisa saja merupakan hari terakhir Mawar di dunia.
Mawar berusaha menebak ekspresi Victor. Namun pria itu memasang wajah yang pasif. Di balutan baju zirahnya, ia terlihat jauh lebih dingin, tidak dapat ditembus.
Setelah Mawar mencapai altar, ia berhenti tepat di samping Victor. Pendeta mulai berkumandang.
“Saudara-saudara, kita di sini berkumpul untu–“
Mawar mengangkat satu tangannya untuk menghentikan pendeta itu. Semua mata di ruangan langsung menuju Mawar.
“Pendeta, bagaimana bila kita langsung saja menukar cincin dan janji? Sepertinya Yang Mulia Duke harus cepat-cepat pergi menjalankan ekspedisi bersama para kesatrianya. Keamanan Maraina dan Kekaisaran Montserra lebih penting dari upacara pernikahan.”
Hal terakhir yang dipikirkan oleh Mawar adalah Duke Maraina itu sengaja membuat keberangkatannya di hari yang sama dengan hari pernikahannya. Mawar tidak tahu apa yang pria itu harapkan untuk lihat dengan melakukan aksi ini. Tentu, ini merupakan tindakan yang tidak sopan terhadap Mawar. Di hari pernikahannya, Mawar, seorang putri bangsawan dari negeri lain sudah ditinggalkan oleh suaminya. Di malam di mana seharusnya mereka habiskan bersama, Mawar terpaksa menghabiskannya seorang diri.
Mawar langsung mengerti. Kemarin Duke itu memberikan para staf kediamannya impresi bahwa hubungan mereka cukup intim. Hal itu jelas untuk membuat para staf tidak memperlakukan Mawar dengan semena-mena. Namun di depan para kesatrianya, Victor tidak peduli untuk memberikan impresi palsu apapun. Ia mengatakan pada seluruh kesatrianya, pada orang-orang yang sering bersamanya saat keadaan hidup dan mati, bagaimana Victor memandang Mawar sebenarnya.
Bahwa Mawar adalah ‘orang luar’ di kediaman Maraina.
Tidak masalah.
Sebuah senyuman tipis terukir di wajah Mawar. Victor tidak tahu bahwa selama bertahun-tahun, Mawar sudah merasakan menjadi ‘orang luar’ di kediamannya sendiri. Perbuatan Victor tidak seberapa dengan yang dilakukan Rendre dan Anisa. Perbuatan pria itu tidak menyakiti Mawar sedikit pun.
Ketika mereka menutup telinga padamu. Hal yang harus kau lakukan adalah berteriak lebih kencang. Itulah yang dilakukan Mawar saat itu juga.
Aula ruangan itu seketika menjadi hening setelah mendengar perkataan Mawar. Semua orang menatap Mawar dengan mata membulat, sebagian bingung dan sebagian lain terkejut. Seorang pria dengan rambut beruban dan baju zirah berwarna emas terkekeh.
Mawar sudah mempelajari warna kemiliteran di Maraina. Zirah perak adalah untuk pasukan berjalan, seragam berkulit warna cokelat adalah untuk pemanah, mata-mata, dan pengintai. Zirah emas adalah untuk para wakil jenderal dan para ketua divisi. Terakhir, zirah hitam adalah untuk calon suaminya, Jenderal sekaligus Duke Maraina.
Sebelum sang pendeta berbicara kembali, Mawar langsung berjalan menuju seorang pria lain berzirah emas. Dia adalah pria yang hadir saat Mawar membut kontrak pernikahan dengan Victor –Johan namanya. Mawar mengambil cincin yang lebih kecil dan memakaikannya sendiri pada jari manisnya. Cincin itu terbukti terlalu besar untuk jemarinya. Sehingga Mawar akhirnya memakainya pada jempolnya. Ia bisa mendengar lebih banyak kesatria menahan ketawanya di aula.
Kemudian ia mengambil cincin yang lebih besar dan merentangkan tangan satunya. Victor, masih dengan tampang dingin, meletakkan tangan besarnya di atas tangan Mawar. Namun bukannya memakaikannya di jemari tengah Victor, Mawar justru membalik telapak tangan Victor dan meletakkan cincin itu di atas tangan Victor.
“Daripada kau harus melepasnya nanti ketika kau harus bertarung, lebih baik tidak dipakai terlebih dahulu.”
Lalu Mawar menatap pendeta itu. “Pendeta,” panggil Mawar, “Saya menerima pria ini sebagai suami saya.”
Pendeta itu sempat bengong sebentar. Rahangnya seakan terjatuh. Ia tidak percaya Mawar akan memiliki keberanian untuk melakukan itu semua.
“Uh… Oh! Ap– apakah DukeVictor Maraina menerima Mawar Fullmeir seb–“
“Saya menerimanya sebagai istri saya.” Suaranya berat dan nadanya sangat dingin.
“Kalau begitu, mulai sekarang kalian kusahkan sebagai suami dan istri. Kalian boleh berciuma–“
“Kurasa kita bisa melewati ini juga. Bukankah waktu Duke terlalu berharga untuk dibuang seperti ini?” Perkataan Mawar membuat pria tua yang sebelumnya terkekeh menjadi tertawa dengan lepasnya.
Pendeta itu terlihat mematung di tempat. Semua mata jatuh pada Victor, menunggu respon pria dengan jabatan tertinggi di ruangan itu.
Tak disangka Victor menghampiri Mawar. Ia memegang kedua pundaknya dan berbisik sehingga hanya Mawar yang dapat mendengar.
“Sebegitu semangatnya kau mengusirku dari kediamanku sendiri, huh?”
“Tentu tidak,” jawab Mawar dengan nada manis yang dibuat-buat, “Aku hanya khawatir dengan keselamatan Kekaisaran Montserra bila aku menahan Duke terlalu lama. Bagaimana aku bisa egois seperti itu?”
Wajah dingin Victor pecah. Pria itu tersenyum lirih pada Mawar. Kedua mata mereka beradu dalam sebuah peperangan batin. Di balik kata-kata mencemooh mereka, dua insan itu merasa sedikit tertantang satu sama lain.
Mawar yakin, Victor tidak pernah menemui seorang seperti Mawar. Dalam dua Tindakan sederhana, Mawar telah memutarbalikkan pandangan para kesatria terhadap dirinya. Kini mereka tidak bisa lagi tidak menghiraukan Mawar.
Mawar, dengan caranya sendiri, telah mengatakan bahwa ia bukanlah sebuah dekorasi bunga biasa di kediaman Maraina.
Victor melepaskan genggamannya pada pundak Mawar dan memutar badannya menghadap para kesatria. “Kita akan memulai ekspedisi sesuai rencana.” Dengan perintah itu, mereka membuka jalan untuk Victor berjalan hingga pintu ruangan. Setelah Victor menghilang di balik pintu, para kesatria mulai mengikutinya satu per satu.
Pria tua berzirah emas sempat menoleh pada Mawar. Ia membungkuk kecil pada Mawar, sebuah tanda penghormatan. Mawar sendiri bingung mengapa pria itu dengan mudahnya memberikan pengakuan pada Mawar. Namun gadis itu membalas dengan anggukan.
Betapa lucunya hidup.
Orang terakhir yang keluar dari ruangan adalah seorang bocah lelaki. Paul Maraina. Bocah itu menatap Mawar lama. Mata hijau besarnya seperti mencari sesuatu dalam diri Mawar.
Mawar tahu tatapan itu.
Itu adalah tatapan yang dulu ia berikan pada Rendre dan Anisa. Mencari sosok seorang ayah dan kakak yang dapat mencintainya.
Paul sedang mencari sosok seorang ibu dari Mawar. Dan Mawar tidak akan bisa memberikan hal itu. Maka ia memandang rendah bocah itu dengan tatapan dingin. Sedingin yang manik mata merahnya dapat berikan. Bocah itu bergidik melihat tatapan Mawar kemudian cepat-cepat keluar dari ruangan. Sang pendeta pun keluar dari ruangan membawa buku alkitabnya.
Hanya Mawar yang tersisa di ruangan itu. Masih mengenakan gaun pengantin lengkap dengan cadar dan buket bunganya. Entah kenapa, kakinya terasa sangat lelah. Ia melepas sepatunya dan mendudukkan dirinya di atas undakan anak tangga di depan altar.
Ia mengembuskan napas, merangkul perasaan yang sudah sering bersamanya. Kesendirian.
Mawar tertawa getir dalama hatinya sendiri.
Berapa menit upacara tadi berlangsung? Haha... Kurasa bahkan tidak mencapai tiga menit!
Dengan begitu, pernikahan tercepat sepanjang masa telah selesai.