"Astagfirullah, " ujar Diba histeris ketika melihat jam di layar ponselnya.
Jam 06.15
Diba melihat teman sekamarnya pun masih bergelut nyaman di atas tempat tidur.
“Ca, kita telat!!!”teriak Diba kehebohan. Dia mengeluarkan suara yang cukup keras, apalagi dia juga linglung Karena baru bangun tidur.
Caca mulai membuka mata, dia lantas kaget ketika melihat jam. Apalagi dia kebablasan shalat.
“Aku belum shalat subuh Dib, “ ujar Caca ingin menangis. Diba mulai mengetahui situasi mereka, dia menyuruh Caca untuk segera shalat walaupun sudah pukul 06.15 pagi.
Memang perbuatan yang dilakukan oleh Caca salah karena dia terlambat untuk menunaikan shalat subuh. Tetapi perbuatan itu belum tentu berdosa karena jika seseorang pada malam harinya kelelahan bukan karena sengaja dan memang ada kegiatan yang penting, menuntut dia untuk bergadang menyelesaikannya karena tidak cukup hari keesokan paginya maka ketika dia tidak bangun saat waktu shalat masuk dan malah bangun ketika mata hari terbit, maka itulah waktu shalatnya.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur atau lalai dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya), “Kerjakanlah shalat ketika ingat.”
Namun sebaliknya, jika pada malam harinya dia melakukan hal yang sia-sia seperti menonton pertandingan bola atau bergadang dengan sengaja maka perbuatan dia kebablasan untuk shalat subuh akan berdosa.
Caca langsung ngancir ke kamar mandi, berbeda dengan Diba yang sibuk memasukan segala peralatan mereka ke dalam tas. Caca selesai membersihkan diri tanpa mandi, hanya menggosok gigi dan mencuci muka. Dia kemudian menunaikan shalat subuh. Diba juga ingin melakukan hal yang sama, namun dia sedang kedatangan tamu bulanan, sehingga apabila dia tidak mandi maka akan terasa tidak nyaman.
“Dib, aku duluan ya. Fakultas jauh ke dalam. Abang aku juga susah banget di hubungi,” teriak Caca dari luar kamar mandi.
“Iya, hati-hati,” balas Diba berteriak agar terdengar dari luar. Diba mandi dengan super duper kilat. Dia juga takut terlambat, apalagi panitian ospek khusus di fakultasnya keliatan galak dan seram.
“Ya Allah, telat banget,” ujar Diba miris. Dia selesai bersiap-siap. Jam 06.40 Dia berlari keluar kosan sambil memegang segala perlengkapan ospek. Sepanjang jalan, dia hanya melihat 1 atau 2 mahasiswa yang sama seperti dirinya.
Perasaan campur aduk, ada rasa was-was dan rasa takut mulai bermunculan. Sampai di gerbang fakultas teknik, dia menarik napas dalam. Di sana sudah berjejer 4 sampai 5 panitia ospek. Dia juga melihat beberapa mahasiswa baru yang tertahan di gerbang karena terlambat. Diba memegang erat tali tasnya yang terbuat dari tali rapia berwarna kuning. Dia melangkah seraya menunduk, jiwa-jiwa keberaniannya sirna karena terlalu banyak orang yang harus dia hadapin. Berbagai alasan berusaha Diba pikirkan agar bisa lolos dari hukuman walaupun itu mustahil.
Panitia itu bukan anak SD Diba, pikiran itu mengacaukan segala alasan Diba yang sudah tersusun rapat.
"Wah… Cari siapa ya Mbak?"
"Maaf saya terlambat kak. " Diba segera mengakui kesalahannya.
“Apa? Saya nggak dengar Mbak ngomong apa!” Ucapan itu seperti bahan leluconan untuk para panitia yang berjaga di gerbang depan.
Diba tahu bahwa senior di depannya ini pura-pura tidak dengar. Kalau mendoakan keburukan untuk orang boleh, maka Diba akan melakukan itu sekarang. Tapi sayang perbuatan itu tidak boleh dan doa yang buruk akan kembali kepada siapa yang berdoa.
“Saya terlambat Kak,”ujar Diba lagi.
Diba melihat name tag panitia ospek yang berada di depannya.
“Imran Syaputra”
“Muhammad Andre”
“Muhammad Zaid”
“Agata Felinsia”
“Renal Apriadi”
Nama itu yang tertulis di name tag mereka masing-masing.
"Wah,.. Baru hari pertama udah telat 20 menit ya! Keren banget.. Emang kampus ini punya bapak kamu? " tanya Imran sambil tertawa meremehkan.
Diba hanya menunduk, dia berharap ada satu panitia baik yang akan menolong.
“Ditanyain tu Mbak!” lanjut Agas mengompori.
“Ulu ulu Mbaknya diam ya, masih pagi kok udah lemas aja.” Agata juga ikut-ikut bersuara.
Diba kembali menunduk, dia sama sekali tidak takut. Untuk apa takut karena sama-sama makan nasi. Cuma jika ada 5 orang di depannya tentu saja dia tidak akan mampu untuk menghindar. Bukan 5 orang yang sibuk menanyainya atau malah mencoba membuat Diba terpojok, tetapi hanya 3 orang. Sedangkan 2 orang yang lain yaitu Andre dan Zaid memilih untuk tidak menghiraukan dan sibuk dengan kertas yang ada di tangan mereka.
“Kalau ditanya jawab,” bentak Imran. Diba sedikit terkejut. Dia mengeratkan genggaman pada tali ranselnya. Dia bukan tipe orang yang sering mendapat bentakan, bahkan hampir tidak pernah. Jadi ketika mendapat bentakan itu, tentu saja psikisnya sedikit terguncang.
“Bu-bukan Kak,” jawab Diba terbata-bata.
"Kak Im jangan galak-galak dong, itu anak asuhan gue," seorang laki-laki datang dengan peluh keringat di wajah. Namanya Renal. Renal merupakan Abang sepupu Caca.
"Oh anak kelompok lo, tolong diajar sedikit. Masih hari pertama udah ngabisin waktu kita di gerbang,” balas Imran terkesan menyalahkan Diba.
Diba sedikit menggerutu di dalam hati, jelas saja yang menghabiskan waktu adalah Imran. Ini malah menyalahkan Diba.
“Iya Kak Im, gue ambil dulu ya.” Renal segera membawa Diba untuk pergi ke study hall. Study hall adalah ruangan besar dan nyaman yang berada di fakultas teknik.
“Kenapa telat?” tanya Renal basa basi.
“Bangun telat karena buat atribut ospek kak tadi malam,” balas Diba jujur. Renal menghela nafas panjang. Dia jadi kepikiran Caca.
“Caca juga telat?” Diba mengangguk.
Pantas saja Caca menghubunginya berulang kali, pikir Renal. Renal bingung bagaimana kabar sang adik. Bisa saja dia juga kena amukan senior di fakultasnya.
“Jangan diulangi lagi. Untung aja kamu teman Adek saya, kalau tidak kamu sudah habis di gerbang sampai nangis.”
Diba sedikit cemberut. Renal langsung menyuruh Diba bergabung dengan teman yang lain. Beruntung sekali Diba bisa di selamatkan oleh Renal, jika tidak betapa memalukan apa yang akan terjadi. Jangan sampai selama ospek Diba malah menangis.
Renal langsung menghubungi salah satu panitia ospek di fakultas sang adik yaitu pendidikan. Beberapa menit mengobrol akhirnya sambungan itu terputus. Setidaknya Renal mampu menjaga sang Adik walaupun dia tidak mengawasi langsung.
“Telat lo?” tanya Abel langsung.
Diba berdehem saja.
“Nggak dihukum?” tanya Abel lagi.
“Enggak, tadi Kak Renal datang nolongin.” Abel sedikit cemberut, padahal dia sudah mengincar Renal untuk dijadikan target kehaluannya. “Jangan mikir aneh, Dia abang teman gue,” ujar Diba seakan tahu ekspresi Abel.
Abel kembali girang. Dia mengayun-ayunkan tangan Diba seperti anak kecil.
“Ada-ada aja,” lirih Diba sambil sedikit tertawa.
Ospek Fakultas di mulai, begitu banyak kata sambutan dari petinggi-petinggi fakultas. Setelah itu dilanjut dengan berbagai lomba seperti lomba yel-yel siapa yang paling kreatif dan heboh, lomba makan kerupuk dan masih banyak lagi.
Agenda Ospek hari pertama tidak bisa membuat Diba semangat dan malah membuatnya kian malas untuk ikut. Apalagi senior bernama Imran yang sering menatap dengan tajam.
Sore hari di tutup dengan pengenalan organisasi-organisasi yang ada di Kampus tersebut, Dari BLM, BEM, Himpunan programer, Atek (anak teknik), pecinta alam, Organisasi social , dan masih banyak lagi.
"Kami berharap rekan-rekan calon mahasiswa mau bergabung bersama organisasi BEM untuk kemajuan kampus kita. Begitu banyak keuntungan jika berpartisipasi dengan kami,... "
"Basi," lirih Diba spontan. Dia sudah tahu bagaimana buruknya organisasi di kampus tersebut. Dia mendapat informasi akurat dari sang kakak yang dulu memang berkuliah di sini.
"Apa yang basi Dib? " tanya Abel bingung.
"Omongan tu orang," jawab Diba sambil memalingkan matanya.
"Parah lo ya, Padahal BEM di sini terkenal dengan kumpulan cowok ganteng dan Hitz. Ah gue bakal daftar, terima ataupun ditolak itu urusan nanti, " ucap Abel antusias.
"Serah lo Bel, Gue saranin nggak usah. Semua nggak seperti yang kita li-"
"Wah ada yang nggak suka sama BEM ni, " potong seorang laki-laki yang baru pertama kali di lihat oleh Diba maupun Abel.
Abel melihat sosok cowok di depannya ini dengan wajah berbinar, pesona yang berwibawa serta senyum yang lebar membuat siapapun jatuh hati.
"Saya ngomong sama kamu lo dek, Adiba Habibatul Mustofa? " senior tersebut mengeja nama Diba dengan penekanan.
Diba tidak menghiraukannya, Abel berulang kali menyenggol bahu Diba agar mau menjawab apa yang ditanyakan sosok senior ganteng di belakang mereka.
“Untung cuma saya yang dengar kamu ngomong gitu, kalau yang lain saya nggak jamin kamu bakal baik-baik aja.”
Diba bergidik ngeri. Apa dia bakal jadi bahan bulyan? Sungguh mulut Diba tidak bisa di ajak bekerja sama.
“Hahaha, jangan pucet dong.”
"Oke Mari kita perkenalkan Presiden Kampus yang kebetulan kemaren berhalangan untuk bisa hadir. Ya kita sambut dengan meriah Aris Pratama,"
"Wah Kamu buat saya jadi tertarik, Diba, " Ucap senior tersebut sambil berdiri untuk maju ke depan. Ya dia adalah Aris Pratama, sosok Presiden Mahasiswa yang terkenal dengan kegantengan dan keaktifannya di dalam kampus.
"Dibaaaa dia presiden kampus, Aduh ganteng plus baik lagi, " ucap Abel kehebohan. Bahkan Abel langsung berubah girang padahal mereka berdua sama-sama pucat beberapa saat yang lalu.
Hal itu karena siapa? Ya tentu saja karena Aris Pratama.
Sesi pengenalan organisasi Kampus selesai, agenda selanjutnya adalah perlombaan tebak-tebakan.
Diba memegang perutnya yang mendadak sakit. Dia sadar bahwa sudah menjadi kebiasaan saat datang bulan di hari kedua ia akan merasakan sakit.
“Kenapa?” tanya Renal tiba-tiba. Dia memperhatikan sang junior yang selalu memegang perut.
“Sakit perut kak,” jawab Diba pelan.
“Dia datang bulan kak,” sambung Abel lagi. Renal mengangguk paham. Dia menginstruksikan agar Diba ke ruang kesehatan.
Diba di tuntun oleh Abel menuju ke ruang kesehatan, banyak yang melihat ke arah mereka tetapi mereka tidak menghiraukan.
“Kemana?” tanya Imran yang berdiri di depan pintu study hall.
“Ke ruang kesehatan Kak,” jawab Abel takut.
“Tadi pagi sehat aja, kok sore mendadak sakit,” sindir Imran. Renal yang melihat anak kelompoknya di hadang oleh Imran langsung turun tangan. Dia juga bingung kenapa Imran selalu cari gara-gara begini.
“Cih, anak orang udah pucat masih aja di hadang,” ujar Renal kesal. Dia langsung bergerak ke sisi pintu Study hall.
“Dia sakit,” ujar Renal. Imran bersikap bodoh amat. “Terus?”
“Ya jangan di halangi, mau tanggung jawab kalau anak orang pingsan?” tuntut Renal.
“Alah manja amat dah, baru bentar doang langsung tepar,” ujar Imran. Dia berlalu pergi begitu saja.
“Udah sana buruan di antar,” suruh Renal. Dia kasihan melihat Diba sudah tidak bertenaga.
“Uwu banget si adegan tadi hahaha.” Abel malah tertawa mengingat-ingat kejadian yang baru saja terjadi.
“Udah Bel, sakit ini.”
“Eh, iya iya Dib. Sory.”
Abel segera membawa Diba ke ruang kesehatan. Di dalam sana banyak mahasiswa yang juga tidak merasa baik. Abel langsung pkembali ke study hall karena dia tidak boleh berada di ruang kesehatan terlalu lama.
Diba berusaha menahan sakit diperut, tinggal 30 menit lagi segala kegiatan Ospek Fakultas hari petama selesai.
Setelah segala kegiatan selesai, pukul 17.00 mahasiswa di bubarkan. Diba bingung harus pulang bagaimana. Perutnya sangat sakit, bahkan untuk berjalan pun dia merasa pendangannya berkunang-kunang.
WhatApp
Caca :Assalamu’alaikum, kata Abang Renal Diba sakit.
Diba : Wa’alaikumsalam, iya Ca.
Caca : Masih bisa pulang nggak?
Diba : huaaa, nggak bisa Ca. sakit banget.
Caca : Udah ketebak, dulu di SMA juga gitu kan. Tunggu di sana aja, ntar aku ke sana sama bang Renal.
Diba : Maksudnya?
Caca : Tunggu aja di sana, Nanti aku sama Bg Renal jemput pakek mobil dia.
Diba : Macihhh
Read
Beberapa kali panitia bidang kesehatan menawarkan untuk mengantar Diba, tetapi Diba langsung menolak dengan halus.
“Ayo Dib,” ajak Caca yang baru datang. Diba tersenyum, dia sedikit lega karena Caca mau menjemput.
“Sakit banget ya?” tanya Caca khawatir.
Diba tidak bisa berpura-pura baik, karena perutnya memang sangat sakit.
“Ets sampai di jemput sama Kak Renal ya,” ujar Agata kaget. Bukan hanya Agata, Imran pun kaget.
“Apaan dah lo semua,” balas Renal tidak suka.
“Cewek lo Nal?” tanya Imran to the point.
“Bukan, kita balek dulu.” Renal segera masuk ke dalam mobil.
“Lah kalau bukan, ngapa di jemput segala?”
Kaca mobil terbuka, ternyata ada seseorang lagi di dalam mobil.
“Sejak kapan lo cerewet? Dia lagi sakit dan jangan mikir aneh-aneh. Lo semua udah dewasa kan?”
Semua terdiam, ternyata Zaid yang mengeluarkan kata-kata itu.
“Kita cabut dulu, nanti siap maghrib kita rapat. Gue sama Renal juga mau rapat sama anak pusat.”
Zaid segera menutup kaca mobilnya.
Mereka di dalam mobil dalam keadaan hening. Diba tambah pucat.
“Beneran dia nggak apa-apa dek?” tanya Renal khawatir.
“Nggak tahu juga bang,” balas Caca tak kalah khawatir.
“Bawa ke klinik depan aja bentar,” ujar Zaid memberi usul.
Mobil Renal berhenti di sebuah klinik, Diba sudah tidak ada tenaga hanya pasrah. Dia tidak memikirkan tentang biaya lagi. Biasanya dia akan lebih memilih menahan sakit daripada mengeluarkan biaya untuk pergi berobat.
Setelah selesai, Diba dan Caca di antarkan ke kosan. Tepat saat azan maghrib berkumandang mereka sampai di depan kos. Diba berterima kasih banyak walau tubuhnya masih lemas.
Caca membaringkan Diba di tempat tidur, dia juga membantu Diba melepaskan hijab. Sebelum beristiahat, Diba dipaksa oleh Caca untuk memakan roti agar bisa meminum obat. Hanya 2 gigitan, dia langsung meminum obat. Diba berharap esok hari akan baik-baik saja.