Ada dua orang yang nyaris tidak berbusana berada pada satu ruangan yang sama. Sang pria yang semula hanya bergulat dengan harga dirinya dan juga ular berbisa yang mulai mengamuk itu kini harus di hadapi pada sebuah lembah dari dua buah gunung kembar yang terlihat samar dengan kemeja yang saat ini sudah terbuka.
"Ularnya ingin mendaki gunung!"
Ungkapan itu keluar begitu saja dari Ravin, semakin diperjelas dengan pandangan mata Ravin yang tertuju hanya pada lembah yang ada di antara dua gunung tersebut.
Naura memicingkan matanya, ia memang melihat hal yang juga cukup indah dari Ravin dan saat ini Ravin juga melihat apa yang ia inginkan. Sesuatu yang sebenarnya cukup adil bagi keduanya.
"Pernah lihat ular terjepit di antara gunung?"
Sebelumnya Ravin mengakui jika apa yang ia ucapkan juga sedikit di luar batas, namun di saat Naura yang justru menawarkan hal tersebut. Perasaan resah Ravin jadi semakin tidak karuan seakan seluruh bayangan hal yang menakjubkan terbersit begitu saja.
Akan tetapi, itu semua tidak bisa serta merta meredakan rasa kesal yang sebelumnya ada di hati Ravin.
"Ah, aku hampir lupa dengan tujuanku membuka pintu ini!" gumam Ravin yang kini langsung mendekati Naura dengan terburu-buru.
"Jawab aku dengan jujur Naura, ular siapa yang sebelumnya sudah pernah kamu jinakkan?"
Ravin tampaknya tidak bermain-main dengan pertanyaannya itu. Sedangkan Naura tidak mengerti alasan dari kemarahan Ravin, ia malah terlalu gugup dengan kondisi canggung mereka saat ini.
"Ah, itu!!"
Kala Naura tidak bisa menjawab dengan benar, di saat yang sama emosi Ravin semakin tidak karuan. Ia kesal bukan main saat Naura yang tampak begitu lugu dan polos itu ternyata pernah memiliki pria lain. Entah bagaimana rasanya, Ravin seakan tidak mau terima kenyataan tersebut.
Akan tetapi, Ravin sadar akan satu hal. Selama ini memang dirinya yang selalu menolak Naura, menganggap Naura tidak serius padanya dan selama ini pula Ravin sebenarnya tidak bertanya apapun tentang Naura. Bisa dibilang jika sejak awal Ravin sama sekali tidak mengenal Naura.
"Apakah begitu mudah bagimu untuk menggoda seorang pria?"
"Apa kamu menganggap aku sebagai pria yang mudah?"
Pertanyaan itu bertubi-tubi Ravin lontarkan, dengan amarah yang juga terlihat sangat jelas. Sebuah hal yang sama sekali tidak di sangka oleh Naura.
"Apa aku salah bicara?" tanya Naura dengan suara yang setengah berbisik, memikirkan dimana letak kesalahannya.
"Tidak kamu tidak salah bicara, justru kamu sudah bertindak dengan tepat."
Tampaknya Ravin mendengar ucapan dari Naura tersebut, tetapi pandangan mata Ravin tidak lagi memperlihatkan belas kasihan. Amarah Ravin mungkin tidak akan bisa diredam. Lalu, saat Ravin mengungkapkan hal lainnya. Naura benar-benar tersentak dengan perkataan Ravin tersebut.
"Aku tampaknya terlalu membiarkan kamu di sekitarku!"
Jujur saja, Naura kali ini sedikit tersinggung dengan apa yang Ravin katakan. Pasalnya sejak awal ia juga yakin jika ia memiliki harapan untuk bisa bersama dengan Ravin. Ravin tidak pernah benar-benar mengusiranya, Ravin pula yang terlihat memberikan sedikit kesempatan untuk Naura dan Ravin pula yang kerap terlihat menikmati keberadaan Naura di sisinya. Lalu, yang paling penting lagi untuk saat ini. Justru Ravin yang memulai semua kekacauan ini saat ia menerobos masuk ke ruangan tersebut.
"Ravin, bukankah sejak awal kamu yang memprovokasi aku?"
"Terlepas dari aku pernah memiliki pria lain atau tidak memang apa peduli kamu?"
"Kamu bahkan tidak melihatku sama sekali selama ini. Apapun ketulusan yang aku tunjukkan untuk memilikimu memangnya kamu pernah melihatnya?"
Teriakan demi teriakan tak terelakkan dari keduanya. Suasana cukup tegang kala itu.
Petir menyambar cukup menggelegar, hujan yang turun pun mendadak jadi semakin lebat. Sedangkan waktu terus bergulir dan keduanya masih pada posisi mereka yang sama. Setengah tidak berbusana dengan tatapan lekat antara keduanya yang tidak memperlihatkan sedikit pun niatan untuk mengalah.
"Apa kamu lupa? Jika yang aku inginkan itu adalah kamu Ravin. Sejak awal, terlepas seperti apa masa lalumu aku ingin berada di sisimu sebagai masa depanmu."
Naura yang biasanya selalu ceria itu kini mendorong tubuh RaviN cukup kuat. Tentu saja, Ravin yang memang sudah tidak mau lagi mengalah akhirnya membiarkan Naura mendorongnya hingga ia keluar dari ruangan tersebut.
Pintu pun dibanting cukup keras oleh Naura dan begitu pintu itu tertutup, Naura pun kembali berteriak dengan cukup keras.
"Aku belum pernah pacaran, makanya Ravin jadilah pacarku saja."
Jujur, Ravin tidak mengerti apa yang sebenarnya telah membuat dia begitu emosi saat Naura meladeni provokasinya tadi. Pasalnya apa yang Naura katakan semua adalah benar, jika ia selama ini bahkan tidak mau benar-benar mencoba menanggapi Naura dengan serius dan di saat Ravin merasa bahwa nyatanya Ravin tidak seperting itu bagi Naura. Amarah itu benar-benar seakan sudah menguasai dirinya.
"Ah, aku benar-benar menyedihkan!"
Ravin hanya menghela napasnya dengan perasaan di hatinya yang campur aduk dan penampilan konyol dirinya di hadapan wanita yang berulang kali telah ia tolak.
Intinya, tak tahu dengan cara apa Ravin mempu melewati jeratan yang telah membuatnya tersesat untuk beberapa saat tersebut. Ia pun tidak paham bagaimana bisa adegan pawang ular itu kelak akan mengacaukan nyaris setengah kehidupannya ke depannya lagi. Bisa ditebak oleh semuanya, jika kelak Naura akan menjadikan hal tersebut sebagai salah satu ledekannya kelak pada Ravin.
Terlepas dari segala kejadian mengejutkan yang terjadi tiba-tiba itu, faktanya sampai saat ini. Ravin benar-benar membiarkan Naura masih berada di sekitarnya. Pembahasan mereka dan segala kejadian di kala hujan itu pun berakhir begitu saja, seakan tidak ada hal genting di dalamnya sesuatu yang membuat hubungan mereka nyaris berakhir begitu saja. Walau sesekali Naura memang berbisik untuk menjinakkan ular milik Ravin sebagai ledekannya.
"Aku tidak bisa membiarkan Naura bertindak liar pada pria lain. Kasihan pria yang akan menjadi mangsanya kelak!"
"Apa lagi, Naura juga mengatakan jika yang ia inginkan itu adalah aku!"
Sesekali saat Ravin memikirkan hal tersebut, ia pun kembali ingat tentang kejadian pawang ular yang sempat terjadi tersebut. Menjadikan Ravin seakan benar-benar hanya pria yang peduli pada tubuh dan kegiatan mistis tarian ular saja.
"Sial, kenapa aku malah memikirkan itu terus!"
Belakangan ini Ravin benar-benar tidak bisa konsentrasi yang ada di pikirannya hanya penuh dengan sejuta adegan dewasa antara dirinya dan Naura.
"Ah, tampaknya melihat tubuh Naura malah berdampak buruk bagi kewarasanku!"
Sekeras apapun Ravin menepis pikirannya, sebesar itu pula bayangan menakjubkan itu muncul dalam pikirannya. Lantas, tentu saja hal itu malah membuat Ravin semakin bertindak kasar pada Naura.
Selayaknya hari ini, hari yang sempat Ravin janjikan untuk mengajarkan Naura membuat sebuah bolu gulung di rumahnya.
"Aku sudah janji untuk mengajarkan kamu membuat bolu gulung. Janji tetaplah sebuah janji, dan aku bukan pria yang akan mengingkari janjiku!"
Berdalih akan janji itu lah kini Naura pun mengunjungi rumah Ravin untuk belajar membuat bolu gulung seperti yang Naura inginkan.
Hari itu, Naura terlihat penuh semangat menanti kegiatan yang akan mereka lakukan bersama di dapur. Naura sebenarnya sempat cemas jika amarah yang tak sengaja ia perlihatkan itu malah akan berdampak buruk pada hubungannya dengan Ravin nantinya. Tapi, ternyata Ravin masih membiarkan dirinya berada di sekitar Ravin. Walau tidak bisa dipungkiri jika Ravin selama ini malah semakin terlihat kasar dan dingin padanya. Setidaknya, Ravin masih membiarkan Naura ada di sisinya saja, itu semua sudah cukup bagi Naura yang memang sangat ingin berada di dekat Ravin.
"Tak peduli kamu berteriak padaku, meledekku berkali-kali, atau malah kamu yang mendorong pergi. Tapi, itu semua sudah cukup. Karena aku yakin suatu saat nanti, kamu akan menjadi milikku."
Tekad itu masih sama sejak awal, tidak tergantikan dan semua itu semakin di perkuat setelah kejadian luar biasa tersebut, Ravin masih saja membiarkan Naura di sisinya. Apa lagi saat ini, Ravin malah berdalih untuk mengajarkan Naura membuat kue.
"Cintaku, aku sudah datang!" teriak Naura begitu ia menginjakkan kakinya di rumah Ravin.
"Kamu sedang apa cintaku? Jangan bilang kamu sedang membuat adonan cinta untuk buah hati kita!"
Perkataan dari Naura tampaknya semakin sulit untuk disensor. Tentu saja, tanggapan Ravin juga masih sama seperti sebelumnya. Ia tidak terlalu ambil pusing dengan apa yang Naura katakan.
"Jangan berisik, nanti kamu mengganggu adikku!"
"Cepat kemari aku sudah menyiapkan segalanya!"
Jujur saja sejak awal Naura sudah menduga apa yang mungkin akan Ravin lakukan dengan janjinya tersebut dan sesuai dugaan, begitu ia sampai di rumah Ravin. Ravin sudah menunggunya dengan seluruh bahan yang sudah ia persiapkan untuk membuat kue bolu.
Meski ia tidak yakin Ravin menyiapkan itu semua agar Naura tidak mengacaukan bahan makanan atau memang karena Ravin juga ikut tidak sabar untuk membuat kue bersama dengan Naura.
Apa pun itu, bagi Naura yang saat itu begitu semangat untuk mulai belajar membuat kue.
"Waaah, pasti seru!" teriakan pertama yang keluar dari mulut kecil Naura saat ia akhirnya melihat Ravin di dapurnya.
Beberapa saat yang lalu, Naura bahkan sudah membayangkan Ravin yang gagah merangkul tubuhnya dan membantu Naura mengaduk adonan dengan tepung yang sedikit menempel di wajahnya, Ravin yang menyadari noda tersebut dan mulai mengusapnya dengan jarinya. Serta bayangan Ravin yang terlihat tampan serta berwibawa saat mengajarnya mengaduk adonan dengan otot lengan pada adonan itu saat memberikan contoh pada Naura. Bayangan itu muncul begitu saja, bak adegan romantis dalam sebuah n****+.
Mulanya begitulah yang Naura bayangkan. Namun, siapa yang menyangka jika ternyata adegan romantis bak sebuah drama dalam n****+ itu harus ia lalui justru bagaikan neraka yang kejam dan tiada ampun.
"Jangan memasukkannya sembarangan!"
"Kamu sudah menimbangnya atau tidak?"
"Taruh sesuai dengan berat yang disarankan!"
Teriakan demi teriakan justru adalah yang terdengar dari dapur tersebut. Bisa dibilang dari pada disebut mengajar memasak kondisi saat itu tak ada bedanya dengan pelatihan militer yang sadis, bak medan perang yang penuh dengan ledakan bom.
"Huh, perhatikan aku dengan benar. Gunakan mata indahmu itu untuk mempelajari semuanya dengan baik!"
Senyuman Naura kembali merekah mendengar pujian yang terdengar penuh keyakinan akibat suara tinggi Ravin yang sebenarnya sedari tadi masih penuh dengan teriakan.
Ravin menyadari senyuman itu dan ia hanya bisa menghela napasnya dan menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana bisa dia menangkap dengan jelas pujian tersebut tapi melewatkan semua arahanku untuk mengajarkannya membuat bolu gulung!" benak Ravin yang terus menerus mencoba menerka isi pikiran ajaib dari Naura yang selalu tidak pernah bisa ia tebak.
Meski saat ini Naura memerhatikan Ravin dengan baik, tapi arah pandangan Naura tidak mengarah pada adonan yang sedang Ravin persiapkan.
"Oi, perhatikan arah pandanganmu!"
Sekali lagi, Ravin meneriaki Naura dengan nada yang cukup tinggi bersama rasa kesal yang semakin terlihat jelas.
"Aku sudah memerhatikanmu dengan benar, kok!"
"Adonan!"
"Lihat ke arah adonan, adonanlah yang harus kamu perhatikan, Naura. Bukan wajahku!"
Omelan Ravin itu tidak bisa menutupi telinganya yang memerah. Naura terlalu memandang wajahnya dengan tajam. Naura tersenyum setiap kali mata mereka bertemu dan Ravin sesekali salah tingkah akan pandangan tersebut.
"Cih, apa benar dia jatuh cinta padaku? Kenapa dia bisa menatapku seperti itu?"
"Bukannya yang jatuh cinta itu biasanya malu-malu!" benak Ravin lagi, masih dengan tatapan tajam Naura yang mengarah padanya.
Sosok Naura benar-benar sangat misterius bagi Ravin, segala tingkahnya yang ajaib itu membuat Ravin semakin tidak paham tentang apa yang mungkin sebenarnya Naura rasakan.
"Benarkah kamu mencintaiku?"
Pertanyaannya itu pun terus berulang dan Ravin pun nyaris menyerah dengan apa yang ia rasakan sendiri.
Terlepas dari itu semua Ravin harus tetap berkonsentrasi untuk mengajarkan Naura membuat bolu gulung.