1. Perlahan dan manis.

1404 Kata
Wanita asing itu tiba-tiba saja melingkari lengannya pada leher Ravin tanpa ragu-ragu, tersenyum dengan tatapan matanya yang tajam menuju ke arah Ravin. Kala itu Ravin yang heran dengan apa yang telah dilakukan oleh wanita asing itu hanya bisa terdiam. Bingung dengan segala dugaan yang ada di dalam benaknya. "Ka-kamu siapa?" "A-apa yang akan kamu lakukan?" Ravin yang gugup dan tak bisa berpikir jernih itu hanya ketakutan sambil mengangkat kedua tangannya. Berusaha menghindari jarak tubuhnya dengan wanita asing tersebut agar tidak terlalu berdekatan. Akan tetapi, wanita itu tampaknya tidak peduli dengan apapun reaksi gugup Ravin. Ia malah semakin tersenyum dengan lebar dan menarik tali pengikat celemek yang Ravin kenakan. "Sudah aku bilang aku pacarmu!" tegas wanita itu lagi yang semakin membuat Ravin menganga heran bersamaan dengan celemek yang entah bagaimana sudah diambil alih oleh wanita asing tersebut. Kisah ini terjadi begitu saja, tiba-tiba dan tanpa aba-aba kedatangannya. Seorang wanita asing yang menyusup begitu saja, wanita yang tanpa izin dan perintah berusaha untuk menyelinap ke hati Ravin yang dingin. Bermula dari hari yang sangat indah dengan pancaran matahari yang bersinar dengan sangat cerah. Cahaya mentari yang seolah hanya menyoroti kafe yang baru saja dibuka pagi itu. Sebuah kafe milik Ravin yang ia kelola dengan segenap hatinya. Kafe tersebut cukup nyaman dan memberikan kesan sangat segar dengan tanaman hijau yang tertata rapih sebagai hiasannya, semakin terasa lebih indah lagi berkat pantulan cahaya matahari yang bersinar menembus jendela besar di kafe tersebut. Kesejukan pagi itu pun masih bisa menembus ventilasi kafe tersebut dengan baik, membuatnya semakin terasa nyaman dan betah untuk bersama-lama di kafe tersebut. Belum lagi suara musik mengalun pelan terdengar hingga ke pelosok kafe tersebut. Tak terkecuali pada dapur kafe di mana saat ini Ravin sedang berdeham dengan penuh suasana riang, menyanyikan lantunan lagu yang ia dengar. Tatapan mata Ravin masih fokus pada cake yang berada di hadapannya. Cake yang ia buat dan akan di hias sepenuh hati untuk adik tercintanya Nara, sebagai sebuah pemberian tulus dari Ravin yang sangat menyayangi adiknya tersebut. "Apa lagi yang kurang, ya?" gumam Ravin sambil menerka kekurangan dari hiasan cake yang ia buat. Ravin menarik tubuhnya sedikit menjauh dari cake tersebut, ia melihat nyaris ke setiap sudut cake itu dan matanya menelisik dengan teliti hiasan cake tersebut. Pikiran Ravin kala itu penuh dengan cara agar lebih mempercantik hiasan cake tersebut. Membuatnya menjadi cake yang paling indah untuk Nara. "Hmm.. Nara harus menyukai cake buatanku kali ini!" gumam Ravin yang masih berpikir keras bagaimana cara untuk menghias cake tersebut agar lebih terlihat cantik. "Aha!!!" teriakan Ravin terdengar meriah dengan suaranya yang tebal dan terdengar tegas. Tampaknya Ravin mendapatkan sebuah ide cemerlang untuk menghias cake tersebut. Saat itu Ravin pun berniat untuk mengukir nama Nara dengan whipped cream di atas cake tersebut. Penuh tekad yang membara Ravin pun mengeluarkan suaranya sambil mengukir satu per satu huruf dari nama Nara. Ia mengeja satu per satu dari huruf tersebut. "N" "A" "U" "R" "A" Sejenak seakan tidak ada yang salah dari ukiran nama tersebut, Ravin pun telah mengeja nama tersebut yang rasanya tidak akan mungkin akan salah. Akan tetapi, beberapa detik dari lengkapnya ukiran nama tersebut. Ravin pun mulai kembali berteriak sambil menatap sebuah huruf yang seharusnya tidak ada di sana. "U????" Ravin bingung dengan huruf 'U' yang tiba-tiba terukir di atas cake tersebut. Rasanya ia sudah benar mengeja nama Nara tadi dan tidak mungkin ia salah meletakkan huruf. "Tapi, kenapa tiba-tiba tersemat huruf U?" Ravin semakin kebingungan dan mulai bertanya-tanya. Tanpa Ravin sadari, ternyata saat Ravin mulai mengeja nama Nara. Naura yang saat itu diam-diam menyusup ke dapur tersebut ikut memandu huruf demi huruf tersebut dan itulah yang membuat Ravin tanpa sengaja menyematkan huruf "U" di atas cake tersebut. "Iya, sudah benar kan. Naura!" "N, A, U, R, A!" ulang Naura sambil mengeja kembali satu per satu huruf yang tertera di cake itu. Seorang gadis berambut pendek dengan bola matanya yang bersinar itu tersenyum pada Ravin dengan sangat lebar. Tanpa rasa bersalah, ia terlihat percaya diri dengan segala apa yang keluar dari mulutnya tadi seakan bukan sebuah dosa baginya mengubah hadiah yang seharusnya bertuliskan nama Nara menjadi namanya yaitu Naura. "Hei!!" Sudah pasti kehadiran orang misterius itu membuat Ravin tidak nyaman dan mulai meninggikan suaranya kasar. Tatapan Ravin juga terlihat sangat dingin pada sosok wanita asing yang begitu saja menyusup ke dalam dapurnya. "Kamu siapa? kenapa ada di dapurku?" tanya Ravin kesal pada gadis tersebut. "Aku, pacarmu!" jawab sang gadis dengan santainya sambil tersenyum dengan cerah. "Hah!! Bagaimana mungkin kamu pacarku. Kita saja belum saling kenal!" Ravin benar-benar kesal dengan gadis yang sembarangan masuk ke dapurnya itu dan malah mengucapkan hal yang tidak masuk akal. Dapur yang kerap lebih berharga bagi Ravin yang seorang koki, dapur yang sama berharganya dengan sebuah tempat harta karun itu disusupi oleh orang asing. Akan tetapi, senyuman Naura justru merekah begitu mendengar ocehan tajam dari Ravin tentang kehadirannya yang tidak diundang. "Kalau begitu, kita kenalan dulu agar aku bisa menjadi pacarmu!" ucap Naura seraya mengulurkan kedua tangannya pada Ravin. "A-apa?" Wajah Ravin memerah. Ia sama sekali tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal tersebut dengan santai dan seakan itu adalah hal yang biasa. Ravin benar-benar tidak habis pikir dengan tingkah liar Naura. "Pe-pergi sana, dasar bocah!!" Tanpa mau lagi mendengar segala omong kosong yang Naura tunjukkan. Ravin pun mendorong tubuh Naura keluar dari dapurnya. Ia memaksa Naura untuk melangkah, memegang kedua bahu Naura dan terus mendesak hingga Naura benar-benar sudah keluar dari dapur sucinya itu. Tentu saja, Naura tidak menyerah begitu saja dengan mudah. Ia terus berteriak dan mengoceh tentang menjadi kekasih Ravin. Membuat telinga Ravin ikut bersemu merah dan Naura sama sekali tidak membiarkan pengawasannya pada Ravin mengendur. Ia terus mencecar Ravin. "Kamu bilang aku bisa jadi pacarmu kalau kamu kita sudah kenal!" "Sekarang kita kenalan, namaku sama seperti yang tertera di cake itu." "Naura, ingat itu namaku Naura!" Teriakan itu benar-benar memekakkan telinga, mengusik debaran hati Ravin yang semula begitu datar dan monoton. Ravin mendapatkan lawan yang tangguh secara tiba-tiba. Ia pun kewalahan dengan tingkah gadis tersebut yang bagaikan sebuah petasan tak terkendali. Bagai bunga api yang membara dan bisa saja membakar segalanya. "Hei, kita resmi pacaran, kan!" teriak Naura yang masih diseret keluar oleh Ravin. "Pacaran, apaan?" Kekesalan benar-benar terlihat dari wajah Ravin, namun itu justru membuat Naura sedikit senang. Meski hanya sebuah tanggapan kecil. Tapi, itu adalah sebuah kemajuan yang baik bila dibandingkan dengan Ravin yang hanya diam dan menganggapnya seolah tidak ada. "Kita sudah kenal. Berarti kita sudah pacaran, dong!" Naura masih tidak menyerah dengan argumennya itu. "Pokoknya kita sudah sah pacaran. Kamu juga sudah mengukir namaku di atas cake itu! Artinya kita adalah sepasang kekasih!" Seketika Ravin terdiam begitu, mendengar teriakan Naura tadi. Ia kembali teringat dengan cake yang sudah susah payah ia buat, cake yang rencananya ingin ia berikan untuk Nara kini malah terukir dengan nama Naura. "Oh, Tuhan cake-nya!" "Gara-gara kamu, sih!" Ravin yang kesal itu akhirnya kembali pada cake yang belum siap ia buat dan omelan Ravin pun dimulai. Setelah berpikir cukup keras untuk memperbaiki cake yang sudah bertuliskan nama yang salah itu, Ravin akhirnya tidak punya pilihan lain selain tetap menggunakan cake yang sam, tanpa sempat untuk membuat yang baru dan tak ingin merusak hasil kerja kerasnya yang sebelumnya. Ravin pun pada akhirnya hanya menutupi huruf "U" tersebut dengan tanda silang yang juga terbuat dari whipped cream. Ada satu hal yang ternyata tanpa Ravin sadari, yaitu keberadaan Naura di dapurnya saat ini. Naura tampaknya telah berhasil menyusup tanpa mendapat gusuran lagi dari Ravin. Naura menjadi kegirangan di dalam hati dan kini ia terus mengoceh saat itu pada Ravin, ia sengaja bersikap bahwa ia tidak terima jika huruf "U" tersebut di hilangkan seperti itu. "Berisik!! Nanti akan aku buatkan untukmu. Ini punya Nara. Bukan Naura!" tegas Ravin yang sudah sampai pada puncak emosinya. Sudah pasti hal itu membuat Naura semakin tersenyum dengan lebar. Ia telah berhasil menyusup sedikit demi sedikit ke dalam hati Ravin. "Lihat saja, lain kali aku tidak hanya akan berhasil masuk ke dapurmu, aku juga akan masuk ke hatimu Ravin. Secara perlahan dan manis, tentunya!" Naura mengambil sedikit cream dari atas cake dari huruf "U" tersebut dan menjilatnya lembut di ujung bibirnya. "Ya, slowly and sweet!" ucap Naura lagi, pelan. Naura Salsabila jatuh cinta pada Rana Ravinda Edrea atau biasa di panggil Ravin. Sejak pertama kali ia melihat Ravin. Naura yang selalu ceria itu langsung menetapkan Ravin sebagai kekasihnya. "Pokoknya aku sudah mencap kamu sebagai milikku!" ucap Naura tepat saat pertama kali ia melihat Ravin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN