Seolah Ravin memiliki perasaan untuk Naura, kembalinya Ravin pada Naura itu membuat Naura sedikit berharap. Hanya saja, ia tidak berani mengakui apa yang saat ini Ravin lakukan untuknya.
“Kenapa kamu kembali setelah mengatakan hal itu padaku?”
“Apa aku masih boleh berharap untuk bisa memilikimu?”
Pertanyaan itu terlintas di dalam pikiran Naura, bergulat antara hatinya yang saat ini senang melihat Ravin lagi dan pikiran negatifnya tentang Ravin yang sempat berkata kasar seperti itu padanya.
Ini adalah kali pertama Ravin berkata seperti itu, apa lagi ucapan itu terasa sangat kasar, seakan Naura benar-benar tidak pantas berada di sisi Ravin. Belum lagi segala masalah hidup yang tidak bisa Naura jabarkan itu membuat Naura tidak lagi berani untuk berharap. Apa lagi, dengan kondisi Naura yang saat ini terlihat begitu menyedihkan.
“Bukan sekali atau dua kali kamu menolak aku. Kali ini kamu mau apa lagi?” benak Naura lagi seraya menatap heran pada Ravin yang kala itu tiba-tiba saja kembali dan mengelap ingusnya.
“Tidak usah terlalu baik jika kamu memang membenci aku. Aku tidak butuh di kasihani!”
“Biarkan saja aku mencintaimu seperti biasanya, aku tidak berharap kamu akan menerima perasaanku jika kamu melakukannya karena terpaksa!”
Andai kata Naura memiliki keberanian. Ia ingin mengatakan hal itu pada Ravin. Ia juga punya harga diri, mengejar satu pria yang berkali-kali menolaknya, tentu saja membuat hati Naura terluka, meski ia tidak memperlihatkan kesedihannya itu.
Akan tetapi, apa yang Naura rasakan untuk Ravin benar-benar tulus. Sejak pertama ia menetapkan hatinya untuk Ravin, Naura sudah merasakan perasaannya yang tulus itu untuk Ravin. Apa lagi, semakin Naura mendekat pada Ravin maka semakin Naura mengenal sosok Ravin yang luar biasa.
Ravin adalah pria paling baik dan sempurna di mata Naura. Pria yang pernah mengusir sedihnya dengan memberikan sepotong makanan manis yang ia sukai. Sebuah tindakan sepele yang sebenarnya mengandung ketulusan yang besar. Lalu, tidak hanya sampai di sana, ia juga menyadari jika Ravin sangat disayangi oleh para pekerjanya. Karena Ravin selalu memperkejakan dengan baik para karyawannya, ia juga rajin bersedekah dengan membagikan banyak kue buatannya pada siapa saja tanpa pandang bulu. Bahkan Ravin yang kerap terlihat dingin dan selalu berteriak kesana-kemari itu ternyata adalah pria yang sangat mencintai adiknya.
“Jika dengan adikmu saja kamu bisa seperti ini, apa lagi dengan istrimu!”
Seperti itulah yang Naura pikirkan tentang sosok Ravin. Ravin yang mungkin akan selalu melindungi keluarganya melebihi apapun. Kasih sayang yang tulus yang mungkin tidak akan bisa Naura temukan pada pria manapun.
Apa lagi, sejujurnya. Naura juga sadar dengan tindakan nekat yang ia lakukan. Naura sungguh sadar jika ia mendekati seorang pria saja sudah mengartikan bahwa ia harus mengesampingkan harga dirinya.
“Sejak awal aku menyadari jika apa yang aku lakukan adalah sebuah hal yang mustahil. Aku juga tahu jika mendekatimu seperti ini meruntuhkan harga diriku. Aku juga sejak awal tidak berharap kamu akan meladeni aku.”
“Sungguh mungkin saja selama ini aku hanya mengincar kebaikan hatimu untuk menjadi pelampiasan hidupku. Membuatmu menjadi salah satu tujuanku untuk hidup, menjadikan kamu satu-satunya motivasi untukku bisa bertahan.”
Tidak ada yang tahu seperti apa perasaan Naura yang sebenarnya, apa yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan dan apa pula yang tengah menyakitinya. Naura selalu menutupnya dengan senyuman, semua berakhir hanya dengan sebuah senyuman yang sulit dibedakan antara senyuman yang tulus atau bukan.
Bahkan, Naura sendiri tidak menyangka jika Ravin ternyata meladeninya, Ravin membiarkan Naura tetap berada di sisinya meski Naura adalah orang asing. Coba pikirkan saja secara logika, mana ada wanita yang mau mengejar cinta dari pria yang tidak ia kenali. Itu adalah sesuatu yang sangat mengerikan jika memang ada. Tidak semua orang yang mulanya berkesan baik itu adalah benar-benar orang yang baik. Banyak pula dari mereka adalah orang jahat yang memiliki topeng kebaikan.
“Tapi, kamu benar-benar pria yang baik, bahkan tampaknya aku benar-benar mencintai kamu Ravin!”
Bisikan itu nyata dari hati terdalam Naura, membuat Naura jangankan marah dengan satu perkataan kasarnya itu. Naura malah sekali lagi mencoba menutupi kesedihannya dengan keceriaan yang ia miliki. Karena Naura masih tidak ingin menyerah akan sosok Ravin yang sudah menggerakkan hatinya, membuat dia memiliki satu tujuan hidup terakhirnya.
“Kenapa?”
“Kenapa kamu kembali dan mengelap ingusku seperti ini? Bukankah kamu bilang tadi amit-amit?”
Akhirnya kalimat itu pula yang keluar dari Naura, tapi saat ini tidak bercampur dengan kepedihan yang Naura perlihatkan, melainkan hanya rengekan dari Naura yang nyaris sama seperti biasanya.
Ravin tentu tidak bisa berkata-kata, ia sudah cukup menyesal saat ia tak sengaja salah bicara yang sudah ia duga akan menyakiti Naura. Padahal Ravin tidak ada niat sama sekali untuk mengatakan hal tersebut. Hanya saja, mulut dan otaknya yang tidak bisa memilah kata yang baik membuat dirinya menyakiti wanita pertama yang begitu menginginkan cintanya.
“Sungguh, aku minta maaf. Maafkan aku Naura!”
“Jujur saja, sebenarnya aku salah tingkah, aku bingung menghadapi wanita. Apa lagi, …”
Akan tetapi, belum usai Ravin mengatakan isi hatinya yang mungkins aja akan membuat Naura benar-benar berhasil memiliki Ravin. Pada akhirnya Ravin kembali tercengang dan tak bisa berkata apa-apa akan tingkah Naura yang luar biasa itu.
“Aku tidak mengerti kamu bicara apa?”
“Tapi, yang jelas. Ravin aku belum selesai!”
Naura yang saat itu masih dalam kondisi duduk. Mendadak bangkit dari posisinya dan langsung berdiri tepat di depan Ravin. Menatapnya dengan kedua bola matanya yang bengkak dan nyaris tak lagi memperlihatkan bola matanya itu.
“Hidungku masih mampet dan telingaku rasanya sulit mendengar. Pokoknya aku belum siap!”
Setelah mengatakan hal ambigu itu, tiba-tiba saja Naura langsung menyisihkan ingusnya pada kemeja Ravin yang sebenarnya sudah dari tadi Naura genggam.
Ternyata tangisan Naura yang benar-benar dari hati itu membuat Naura terus terisak dengan ingus yang bahkan tidak bisa di ajak berkompromi. Naura tidak konsentrasi dengan apa yang Ravin bicarakan karena sibuk menarik ingus yang terus menetes dari tadi. Walau Ravin sudah menyisihkannya sekali, tapi ingus itu tetap datang bak kereta api yang tidak memiliki rem, berjalan lancar dengan cair dan terkadang nyaris tidak bisa di tarik. Sementara itu isakan tangisnya juga malah semakin menjadi-jadi. Sehingga, dalam kondisi tersebut. Mana mungkin Naura bisa mendengar dengan baik apa yang Ravin katakan.
“Ini salahmu yang kembali padaku dan mengusap ingusku. Artinya kamu memperbolehkan aku melakukannya.”
Hingga akhir, Ravin yang saat ini terpojok hingga ke kulkas itu benar-benar menjadi pria yang tidak berdaya. Rasa bersalah yang semula ia rasakan sirna begitu saja akibat ulah Naura yang tiba-tiba saja malah semakin aktif membuang ingusnya pada Ravin.
“Hei, hentikan. Ini baju baru tahu!”
Rasa iba itu berubah menjadi rasa kesal yang tak tertahankan. Ravin mencoba mendorong tubuh Naura, tapi ruang gerak Ravin benar-benar terbatas saat ia sudah terpojok begitu saja. Sementara Naura kini berkuasa lebih atas Ravin yang sudah terpojok itu.
“Kamu milikku, memangnya kenapa dengan baju baru ini. Kamu yang lebih dulu membuatnya menjadi lap ingus!”
Teriakan demi teriakan kini kembali terjadi, sebuah hal yang rasanya sudah tidak asing lagi bagi Naura dan Ravin. Dua orang yang tidak akan mungkin mau mengalah antara satu dan lainnya.
“Lagian kenapa kamu memakai baju baru di saat kita akan mengajari aku memasak. Padahal kamu tahu aku benar-benar baru belajar masak yang pasti akan mengacau nantinya!”
Naura tetap tidak ingin di salahkan, meski kali ini ia sedikit merendahkan nada suaranya, tapi ia masih tidak bisa mengikuti jalan pikiran Ravin yang sembrono itu. Bahkan Ravin yang semula tidak ragu mengelap ingus tersebut dan kini rasanya semua adalah kesalahan Naura saat Naura malah menjadikan baju baru Ravin itu benar-benar sebagai lap ingusnya.
Berbeda dengan Ravin, saat ini Ravin justru terlihat kesal dengan Naura yang sama sekali tidak peka.
“Hei, aku pakai baju yang bagus karena akan mengajari kamu bikin bolu.”
Terlepas dari segala hal yang sebelumnya terdengar samar oleh Naura, tapi apa yang kali ini Ravin katakan justru terdengar sangat jelas di telinga Naura.
“Ma-maksudnya kamu memakai ini demi aku?”
Sambil menggenggam kedua tangannya di depan, Nauar menatap haru Ravin yang saya ini justru menganga lebar tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulutnya sendiri.
“Sial, aku salah bicara lagi!”
Helaan napas dalam pun terdengar dari Ravin, menunjukkan penyesalannya telah mengakan hal yang jujur itu dari hatinya.