Perjodohan dengan teman

1112 Kata
"Bukan kamu yang aku maksud Dion. Tapi adik kamu." kata Ansel. "Apa kamu memikirkan jodoh untuk adik kamu?" tanyanya lagi. Dion terdiam, dia mulai terpikirkan tentang apa yang di katakan oleh Ansel sepertinya ada benarnya juga. Aku harus memikirkan jodoh untuk adik aku. Setidaknya aku bisa melihat dia bahagia nantinya. Dari pada dia harus bertingkah brutal lagi. Aku tidak bisa bayangkan. Lebih baik aku pura-pura sakit saja. Agar dia mau menikah dengan jodoh pilihanku. "Heh.. Kenapa kamu diam?" tanya Ansel. Sembari meneguk satu gelas kopi hangat di tangan kanannya. "Em.. Apa kamu mau menikah dengan adik aku." "Uhuk.. Uhuk.." Ansel meletakkan kopi hangat itu.m di atas meja. "Apa katamu?" tanya Ansel memastikan. "Kamu menikah dengan adikku. Setelah itu bawa dia pulang ke Indonesia." ucapku. Penuh semangat. Aku ingin yang terbaik buat adikku. Lagian aku sudah tahu Ansel sejak lama. Dia baik, keluarganya juga baik. Ansel juga laki-laki yang bertanggung jawab. Pasti dia bisa membahagiakan Raisa. Ansel terdiam sesaat. Dia memikirkan lagi jawaban apa yang harus diberikan pada Dion. Dia juga tahu Raisa tapi hanya satu dua kali saja. Dia belum pernah melihatnya dari dekat. Tetapi, orang tuanya juga sudah menuntut dirinya untuk menikah. Setiap hati orang tua Ansel selalu memintanya menikah dan menikah. Sampai telinganya terasa sangat gerah mendengar hal itu. "Gimana?" tanyaku. Aku sangat berharap jika Ansel mau menikah dengan adikku. "Baiklah! Tapi, apa adik kamu mau?" tanya Ansel. "Dan, apa kamu tidak masalah adik kamu menikah duluan. Dan, kamu saja belum punya kekasih. Atau, aku akan carikan kamu kekasih nanti." "Gampang soal adikku, aku bisa bilang nanti padanya. Jika kamu mau. Aku akan atur pernikahan kalian. Tinggal kamu hilang orang tua kamu. Setuju atau tidak menikah." kataku. Aku menarik napas dalam-dalam, sekarang mau tidak mau aku harus rela adik aku menikah lebih dulu. Dia juga berhak bahagia. Lagian dia anak perempuan daripada harus pacaran sana sini. Membuat hatiku merasa kesal. Aku memilih jalan terbaik menikahkan Ansel dengan Raisa. "Tapi, apa bisa menikah tanpa cinta?" tanya Angel. Dia mulai ragu jika dirinya tidak bisa meneruskan pernikahan itu. "Cinta bisa timbul kapan saja. Dan dimana saja. Kamu bisa saja jatuh cinta padanya. Dan, sebaliknya Raisa jatuh cinta padamu. Jika kalian terus bersama. Binih cinta pasti timbul di antara kalian." jelasku Ansel menghela napasnya. Untuk kedua kakinya dia mulai berpikir lagi. Sembari meneguk kopi hangat yang belum jadi dia minum tadi. Setelah merasa lega, Ansel meletakkan kembali gelas kopi itu. Dia mengangkat kepalanya menatap Dion. "Baiklah, aku akan mencobanya. Pernikahan satu minggu lagi. Aku tidak mau jika sampai gagal. Pasti keluarga aku sangat malu. Kamu harus membujuk adik kamu. Soal orang tua aku. Mereka memang meminta aku menikah setiap hari. Jadi dia akan senang mendengar kabar ini." jelas Ansel. "Dan, satu lagi. Jangan sampai orang tua aku tahu jika pernikahan ini tanpa cinta. Aku tidak mau jika orang tua aku kecewa mendengarnya. Apalagi aku harus berusaha untuk membuat aku jatuh cinta dengan Raisa. Dan, sebaliknya aku harus membuat Raisa jatuh cinta padaku." "Oke, Deal." kataku. Mengangkat lengan tanganku. Dan, Ansel mengangkat lengan tangannya. Mereka saling memukulkan pelan lengan tangannya menyilang. "Sebagai teman, aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu kalian nantinya." ucapku penuh percaya diri. Apalagi Raisa sangat patuh padaku. Aku yakin dia pasti mau mendengar semua apa yang aku katakan. Tanpa penolakan. "Kamu yakin?" tanya Ansel. "Yakin, jangan ragukan aku." Aku menarik kedua alisku ke atas bersamaan. Aku mulai beranjak berdiri, tak lupa menarik jas hitam yang aku pakai ke bawah. Meskipun aku tahu jas hitam yang aku pakai itu masih terlihat sangat rapi. "Aku kembali dulu, nanti aku akan hubungi kamu lagi. Jangan lupa kamu bilang orang tua kamu. Aku tidak mau jika pernikahan ini ditolak." ucapku, dengan nada sedikit bercanda. "Haha.. Tenang saja, tidak akan ada kata penolakan." ucap Ansel penuh percaya diri. Dia juga bangkit dari duduknya. Berjalan pelan mendekatiku. Seperti biasa, Ansel menepuk punggungnya. "Kita teman lama, jangan ragu akan hal itu." bisik Ansel. Aku menghela napas lega. Akhirnya, apa yang aku pikirkan agar dia pergi dari Arga sudah terwujud. Dengan menikahkan Raisa dan Ansel. Arga tidak akan ganggu Raisa lagi. Dan, sebaliknya Raisa tidak akan bertemu Arga lagi. Biarkan mereka pulang ke Indonesia. Di dubai mereka akan selalu bertemu lagi dan lagi. Raisa pasti tidak akan bisa melupakannya nanti. "Aku kembali dulu, sampai bertemu lagi." Ansel memeluk setengah tubuhku. Sambil menepuk punggung dua kali. "Sampai jumpa lagi calon kakak ipar." canda Ansel. Aku hanya tersenyum tipis, dan membalikkan badanku pergi dari ruangan itu. ** Back Raisa. Sementara berbeda denganku. Aku hanya berbaring di atas ranjangnya. Dengan ponsel di tangan yang selalu dilihat kapan saja. Hari ini dia malas pergi ke kantor membantu kakakku. Bahkan sudah hampir 3 jam setelah pulang dari kantor kakaknya. Dia hanya berdiam diri di ranjangnya. Bahkan belum waktunya pulang Aku memilih pulang lebih dulu, dan tiduran di kamarku yang terlihat sangat luas bagiku. Aku merasa sangat nyaman berada di kamar. Sekarang, entah kenapa aku ingin sekali kembali ke menjadi remaja yang tanpa beban memikirkan apapun. Tak lama bermain sosial media. Seseorang mengirimkan chat padaku. Aku segera membukanya. Kedua mataku terbelalak seketika saat melihat siapa yang mengirimkan chat padaku. Ya, dia adalah Arga. Gimana bisa dia mengirimkan chat padaku saat sekarang aku merasa ingin melupakannya. Kakakku tidak suka aku berhubungan dengannya. Tapi di sisi lain diriku sangat berharap ingin terus bersama dengan Arga. Apalagi hubungan kita sudah berjalan sangat lama. Sudah hampir 4 tahun, kita menjalin hubungan. Dan, dulu hubungan kita tanpa halangan. Entah kenapa sekarang kakak mulai berubah dan tak menyangka jika dirinya malah memisahkan diriku dengan Arga. Meski aku ingin marah pada kakakku. Tapi aku bisa apa, hanya dia satu-satunya keluargaku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dia. Aku juga tidak mau kehilangan kakakku. Mau tak mau, setuju tak setuju aku harus tetap menurut apa kata kakakku untuk menjauh dari Arga. Tapi hati kecil menolak. Aku menghela napasku. Memejamkan mataku, berpikir sejenak membalas atau tidak pesan dark Arga.Tapi otak dan hatiku ingin sekali membalasnya. Seketika aku mencuri apa kata hatiku. Selagi kakak tidak tahu. Aku membuka mataku, menatap layar ponselku yang kini masih menyala. Aku buka dengan ragu chat dari Arga. Arga : Raisa, keluarlah aku tunggu kamu di depan apartemen. Aku pakai mobil warna putih, kamu keluarlah, aku tunggu kamu. Astaga.. Arga di depan apartemen, gimana ini? Seketika aku melompat dari ranjangku. Aku menoleh menatap jam dinding. Jarum jam menunjukan pukul 1 siang. Dan, aku mulai bingung harus menemui dia atau tidak. Aku mulai panik, sekujur tubuhku mulai gugup, ku berjalan ke kesana kemari seperti orang kebingungan mencari sesuatu. Pikiranku mulai kacau. Aku mencoba untuk tenang. Aku berdiri tegak, menarik napasnya dalam-dalam. Dan mulai berpikir jernih. Lalu, menghela napasku perlahan. "Lebih baik aku temui dia sekarang siapa tahu ini terakhir." kataku.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN