Garut, 2014
"d**a Ibu masih sakit?" tanya Kania seraya menyajikan teh tubruk hangat dengan wajit, angleng dan burayot dalam satu piring.
"Sudah enakan, cuma napas rasanya tidak plong," jawab Ibu Juwariyah, kemudian dia membuka kulit jagung kering yang membungkus angleng dengan tangan sedikit gemetar.
"Ibu pias, pananganna oge tiis, ngaleueutna di lebet we, Bu," titah Pak Ari, pada istrinya yang sedang menikmati penganan berbahan dasar beras ketan berkualitas agar menikmati itu semua di dalam saja.
"Di sini segar, Pak. Dalam rumah rasanya pengap, Ibu gak bisa napas rasanya." Meski Ibu Juwariyah berkata sudah tidak sesak, Kania melihat sang Ibu masih tampak berusaha keras untuk menghirup udara pagi.
"Bu, Kania antar ke klinik, ya," ajak Kania.
Ibu Juwariyah membalas dengan gelengan lemah, matanya menerawang, mengamati beberapa ekor ayam yang sedang mengais tanah. Mendengar kata klinik membuatnya sedikit takut, bukan takut dokter atau jarum suntik. Melainkan takut pada kemungkinan penyakit yang dia derita.
"Mau atuh, Bu. Bapak khawatir ibu sakit jantung," tutur Pak Ari polos, sontak di hadiahi pululan pelan oleh istrinya.
"Kania memangnya tidak ke sekolah?" tanya Ibu Juwariyah.
"Kan lagi Ujian negara, Bu, yang mendapat jadwal ngawas hanya guru-guru yang sudah PNS. Kania libur empat hari." Kania terus meyakinkan ibunya, dia membujuk dan merayu agar sang ibu menghilangkan rasa takut dan mau berobat agar mendapatkan penanganan yang tepat dan tidak tersiksa karena sesak.
"Ya sudah, Klinik dokter Yvone aja ya, Ibu rasanya cepet sembuh kalau yang periksa dokter Yvone." Ibu Juwariyah memang terlihat tidak sehat, meski enggan, tetapi akhirnya dia harus menyerah. Perlahan perempuan usia senja itu menyeruput teh tubruk yang masih hangat mengepulkan asap.
"Sugesti itu, Bu, tetap Allah yang menyembuhkan." Pak Ari kemudian berlalu, mengambil sapu lidi dan mulai membersihkan halaman dari guguran daun mangga kering.
***
"Jadi ibu saya sakit apa, Dok?" tanya Kania setelah dokter memeriksa keadaan Ibu Juwariyah.
"Dugaan saya, Ibu terkena sakit paru-paru, baru dugaan ya, Bu. Untuk memastikan Ibu tetap harus rontgen dan cek darah. Ini surat pengantar untuk ke laboratorium, silakan menunggu hasilnya di tempat yang sudah kami sediakan. Nanti bawa kembali ke ruangan saya, tidak perlu antre lagi, langsung saja masuk." Dokter Yvone menyerahkan sebuah amplop kepada Kania.
"Terimakasih, Dok, mari Bu kita ke lab dulu." Kania kemudian memapah Ibunya dengan sangat hati-hati. Suasana klinik yang penuh dengan antrean sedikit menguatkan ibu Juwariyah, bahwa di luaran sana masih banyak orang yang lebih sakit dari pada dirinya. Bahkan, di antara mereka ada yang menggunakan kursi roda karena tidak mampu berjalan.
"Kania, rontgen sakit tidak?" Kania tersenyum, berusaha menguatkan sang ibu.
"Enggak, Bu, cuma di foto saja," jawab Kania lembut.
"Oh, yang hasilnya hitam itu ya, mirip negatifnya film zaman dulu?"
"Leres, Bu." Kania mengiyakan, dengan lembut dia menuntun Ibu Juwariyah, belahan jiwanya.
Ibu Juwariyah menjalani serangkaian tes, diambil sampel darah, dahak, dan terakhir rontgen. Kania dengan sabar menemani ibunya yang terlihat lemas dan pucat. Anak perempuan yang sudah beranjak dewasa itu membiarkan sang ibu menyandarkan kepala di bahu nya.
Sudah tiga hari Ibu Juwariyah mengeluh sesak, dadanya nyeri, jika malam menjelang subuh batuk tak kunjung henti. Sebulan terakhir berat badannya menurun drastis, Kania curiga ibunya menderita penyakit diabetes, tetapi setelah cek di apotek gula darahnya normal.
"Atas nama ibu Juwariyah," panggil seorang petugas melalui pengeras suara.
Kania segera menghampiri petugas, Sebuah amplop kecil dan amplop besar seukuran poster sudah berada digenggamannya. Kemudian ibu dan anak gadisnya itu berjalan menjauhi laboratorium menuju ruangan praktik dokter Yvone.
"Saya rujuk ke spesialis paru ya, Bu. Namanya Dokter Rizal. Tempat praktiknya di rumah sakit Intan Husada atau kalau ada BPJS silakan ke rumah sakit umum."
"Parah ya, Dok?" tanya Ibu juwariyah cemas.
"Tidak, Bu. Dari hasil rontgen ada cairan yang harus di keluarkan." Pernyataan dokter tak ayal membuat Kania dan sang Ibu lemas.
"Di Operasi, Dok?" tanya Kania kaget. Dokter Yvone tersenyum lembut.
"Tidak, disuntik sedikit di bawah ketiak. Tidak usah khawatir."
Ibu Juwariyah yang pucat terlihat semakin pucat, dia hanya diam tidak banyak menanggapi. Sementara itu, Kania terlihat begitu cemas dengan keadaan ibunya. Mereka berdua tidak banyak berbicara, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Dengan menggunakan angkutan kota, mereka melanjutkan perjalanan menuju tempat praktik dokter spesialis paru-paru. Dokter Yvone menyarankan agar besok saja supaya Ibu Juwariyah tidak lelah. Namun, perempuan yang telah melahirkan Kania itu bersikukuh ingin segera menyelesaikan pengobatan saat itu juga.
Angkot yang mereka tumpangi berhenti di depan alun-alun kota Garut, tepat ketika suara azan zuhur dikumandangkan oleh muazin dari mesjid agung.
"Bu, salat dulu, yuk," ajak Kania sesaat setelah turun dari angkot.
"Iya ayo, tempat dokternya masih jauh?" tanya Ibu Juwariyah.
"Lumayan, nanti kita lanjutkan perjalanan pakai angkot yang warna hijau, ya, Bu." Ibu Juwariyah hanya mengangguk, dia pasrah.
Kania memapah ibunya, menaiki undakan di teras mesjid. Para pedagang di pelataran mesjid sejenak menghentikan perniagaannya kemudian berbaur bersama jemaah yang hendak mendirikan salat zuhur. Setelah berwudu, wajah Ibu Juwariyah nampak segar bercahaya, begitu pun dengan Kania. Gadis itu terlihat begitu cantik dan anggun mengenakan mukena berwarna ungu, yang disediakan oleh mesjid.
Setiap tarikan napas Kania terselip doa dan harapan untuk kesembuhan sang ibu, air mata tumpah tatkala keningnya menyentuh lantai bersujud kepada Sang Pemilik Kehidupan.
"Bu, maafkan Kania, ya." Kania terisak seraya mencium punggung tangan surganya.
Dengan lembut Ibu Juwariyah mengusap kepala Kania, kemudian memeluk putri semata wayangnya, mereka terisak bersama, dalam kesedihan yang tidak berkesudahan.
Rumah sakit tempat praktik dokter Rizal terlihat lengang, hanya terlihat beberapa pasien yang sedang antre di ruang tunggu. Kania mendaftar kemudian ibunya langsung mendapatkan penanganan di UGD, dokter Rizal mengambil tindakan setelah membaca hasil lab dan rontgen Ibu Juwariyah.
"Bu, maaf ibunya harus rawat inap, silakan selesaikan administrasi terlebih dahulu, agar kamar untuk pasien segera dipersiapkan," tutur seorang perawat kepada Kania.
"Tidak rawat jalan saja, Dok?" Kania langsung bertanya kepada dokter Rizal.
"Kasihan ibu kalau harus bolak-balik, Dek. Biar saya observasi dulu satu malam," jawab dokter Rizal dengan ramah.
"Baik, Dokter," jawab Kania lemah.
Alih-alih mendaftar untuk rawat inap Kania duduk dan menangis di ruang tunggu depan meja resepsionis, kemudian berusaha tegar dan menghubungi ayahnya di rumah. Dia diserang rasa takut, karena bagaimana pun dia tahu, ibunya tidak baik-baik saja. Berulang kali dia melirik ke arah jam dinding, rasanya lama sekali menunggu hingga sang ayah tiba di rumah sakit itu.
Satu jam kemudian Pak Ari datang dengan membawa sebuah tas berisi pakaian ganti. Kania yang melihat ayahnya lantas berdiri dan mencium tangannya dengan takzim. Matanya tertutup kabut tipis, tetapi dengan segenap kekuatan dia tidak membiarkan kabut itu luruh melewati pipinya. Dia tidak ingin memperlihatkan kesedihan di depan kedua orang tuanya.
"Ibu masih di ruang tidakan, Pa, belum mendapat kamar karena Kania belum selesaikan administrasi pendaftaran," terang Kania kepada ayahnya.
"Biar ayah saja, kamu tunggu di sini ya," perintah pak Ari.
Bersamaan dengan itu, dokter Rizal keluar kemudian menyerahkan satu buah botol bekas air mineral berisi cairan hitam persis seperti kopi.
"Ini cairan dalam paru-paru ibu," ungkap dokter Rizal.
Kania dan ayahnya kaget melihat cairan itu, pantas saja Ibu Juwariyah merasa sesak dan sakit di sekitar d**a. Pantas saja dia seperti tersiksa dengan batuknya. Kania menyeka air mata, pertahanannya jebol juga sementara ayahnya memeluk dan mengusap punggungnya dengan penuh kasih sayang.