Garut, 2004
Gadis kecil berambut ikal berjalan di sisi lapangan basket. Tangannya mendekap erat tumpukan buku yang baru saja dia ambil dari perpustakaan. Langkahnya melambat, dia melihat Demian sedang berbincang bersama kedua sahabatnya. Pipi gadis itu bersemu merah.
Demian, dia adalah kakak kelas Kania, pertama kali dia mengenalnya yaitu saat masa orientasi siswa. Tidak ada interaksi di antara mereka. Sesekali Kania mencuri pandang saat Demian menggiring bola dan memasukkannya ke dalam gawang. Kemudian, saat Kania sedang membaca di perpustakaan Demian akan memandang lekat-lekat gadis itu dari kejauhan.
Kekagumannya terhadap Demian bermula ketika pembagian raport catur wulan satu. Dari pengeras suara diumumkan siapa saja yang menjadi juara umum. Nama Demian ada di antaranya, dia menjadi juara umum kedua kelas 2. Kania kagum, pria kurus yang kelihatannya nakal ternyata pintar. Sejak saat itu, melihat Demian menjadi candu bagi Kania.
Entah dia sadari atau tidak Demian memiliki rasa yang sama. Gadis dengan rambut ikal yang selalu lewat depan kelas telah lama mencuri hatinya. Senyum Kania selalu membayangi malam-malam remaja yang sedang dalam masa puber itu.
"Kania," sapa Demian. Kania sontak menghentikan langkahnya dia berbalik menuju sumber suara. Sementara itu, dia mengeratkan pegangan pada setumpuk buku yang didekapnya.
"Saya?" tanya Kania gugup. Dia menunggu, dadanya seperti sedang menabuh genderang, riuh rendah, ramai sekali.
"Kela, Jang. Tunggu ya." Teman Demian mengangguk, kemudian membiarkan Demian mengayun langkah mendekati Kania.
"Kania, pulang sekolah sama siapa?" tanya Demian.
"Kania dijemput Ayah, kenapa?" tanya Kania kemudian. Gadis itu menundukkan wajah, tidak berani melihat Demian terang-terangan. Demian tersenyum, gadis kecil di depannya benar-benar menggemaskan.
"Kalau ayahnya tidak jemput, kasih tahu ya, nanti aku anterin sampe rumah." Kania hanya tersenyum, kemudian berlalu dengan perasaan yang tidak menentu.
Sementara itu, Demian melompat kegirangan. Akhirnya dia memiliki keberanian untuk menyapa gadis berkulit putih itu. Sungguh, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Ijang dan Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Demian. Seperti seorang balita yang kegirangan kala diberi lolipop.
Setelah itu, keduanya tidak lagi terlibat pembicaraan. Hanya mata mereka yang bicara, Kania akan senyum semringah saat melihat Demian bermain bola sepak atau bola basket di lapangan. Keduanya terlalu malu untuk saling mendekat sekadar bertanya kabar atau hanya berkata 'Hai'.
Pagi itu, sekolah masih sepi, beberapa siswa yang mendapat giliran piket kelas datang lebih pagi. Kania salah satunya. Dengan cekatan dia mengambil sapu dan mulai membersihkan kelas dengan apik. Debu sisa kapur tulis tidak luput dari pandangan, dia membasahi lap kemudian membersihkan sisa debu yang menempel pada lantai bawah papan tulis.
Beberapa teman yang mendapatkan giliran sama, mengerjakan tugas masing-masing. Ada yang membersihkan meja guru, ada yang mengelap kaca bahkan anak laki-laki bertugas mengisi sebuah ember kecil untuk cuci tangan guru seusai menulis di papan tulis.
Kania melongok ke luar kelas, beberapa siswa kelas dua sedang bermain bola basket. Namun, Kania tidak menemukan Demian. Hanya ada Ijang dan Bayu, sahabat Demian. Rasa penasaran mendorong Kania untuk melihat sekeliling. Mencari sosok Demian. Namun, dia tidak ada dimana pun. Hilang begitu saja membuat gadis itu merasa ngilu karena ditikam rindu.
Hari telah berganti, satu minggu lebih Kania tidak melihat Demian. Mungkinkah dia sakit? Batin Kania. Tidak ada teriakan 'Yess' saat bola masuk ke gawang atau ring basket. Tidak ada lagi tatapan teduh yang membuat jutaan kupu-kupu menari dalam perutnya.
Tidak ada pria pelontos yang sesekali menatap Kania. Membuat pipinya bersemu merah, dan tersenyum salah tingkah. Sesakit inikah rindu?
Hingga keesokan harinya Kania mendapat kabar tentang Demian dari Ijang dan Bayu. Lelaki yang selalu dia nantikan dan kedua orang tuanya mengalami kecelakaan di kota Bandung sepuluh hari yang lalu. Rasa sedih merayapi relung hatinya menyadari bahwa dirinya bukan siapa-siapa Demian. Bahkan hal sepenting ini dia lewatkan begitu saja. Senyum manis Demian ketika tidak sengaja manik mata mereka bersirobok tiba-tiba saja terlintas dalam ingatan Kania.
"Kania, ada yang cari kamu di luar," kata Elsa, teman satu kelas Kania.
"Siapa?" tanya Kania seraya berdiri hendak melangkah menuju luar kelas.
"Lihat saja sendiri."
Kania membuka pintu yang terbuat dari kayu jati, kemudian melongok dan mendapati sosok Demian. Pria kecil itu memakai perban di kepala dan lengannya. Bahkan Demian berjalan di bantu dengan kruk. Kania membeku, matanya tertutup kabut tipis. Dengan satu kedipan kabut tipis itu berubah jadi tetes kesedihan.
"Kania," sapa Demian saat melihat gadis pujaan hatinya keluar dari kelas.
"Kakak, Kania ikut berduka cita. Maaf tidak melayat ke rumah Kakak, Kania tahunya belakangan," ucap Kania tulus.
"Tidak apa-apa, terima kasih. Aku kemari cuma mau pamit Kania." Mendengar kata Pamit, Kania merasa ada sambaran petir, padahal siang itu matahari tengah terik-teriknya bersinar.
"Kakak mau kemana?" Kania terlihat sangat sedih.
"Aku sudah yatim piatu. Satu-satunya kerabatku adalah Paman dan Bibi, mereka tinggal di Bali, dan aku harus ikut kesana." Terasa sangat berat kala anak lelaki itu berkata demikian. Dia terus menatap gadis di depannya, gadis yang kini berani melihat Demian tanpa menunduk. Ada luka di sana, Demian melihatnya dengan jelas.
"Bali?" tanya Kania dengan suaranya yang tertahan. Gadis ikal itu merasakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Ada himpitan di dadanya yang membuatnya merasakan sesak. Ingin rasanya berkata agar Demian jangan pergi, di sini saja. Agar setiap pagi pemilik mata bening itu dapat melihat Demian kala memasukkan bola ke dalam ring basket.
"Ya aku harus pergi ke Bali.” Demian berheni sejenak, terlihat jelas lelaki kecil itu menghela napas.
“Kania aku suka sama Kania, sayang sama Kania," ungkap Demian, Kania hanya mengangguk, dia menunduk dalam-dalam tidak berani menatap wajah lawan bicaranya.
"Kania, juga." Suaranya nyaris tidak terdengar.
"Berjanjilah Kania, tunggu aku kembali, setelah lulus SMA nanti kita akan bertemu lagi." Demian menyentuh tangan Kania ragu-ragu. Kania tidak menolak, ada kehangatan kala keduanya berjabat tangan.
"Aku janji, akan menunggumu." Suaranya Kania nyaris hilang ditelan gemuruh dalam dadanya, jika tidak dia tahan mungkin pipinya sudah basah.
"Meskipun jarak memisahkan kita, percayalah, hatiku selalu bersanding di sisimu. Jaga dirimu baik-baik, jangan bersedih karena nanti aku akan kembali. Aku pergi dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Jaga diri Kakak baik-baik. Kania janji, Nunggu Kak Demian hingga kembali lagi ke Garut." Kali ini Kania benar-benar menyeka air matanya. Kemudian Demian pergi, dia berjalan perlahan. Menciptakan irama kala ujung kruk beradu dengan ubin. Kania bergeming, dia terus menatap laki-laki itu untuk terakhir kalinya.
Jabat tanganku, mungkin untuk yang terakhir kali
Kita berbincang tentang memori di masa itu
Peluk tubuhku usapkan juga air mataku
Kita terharu seakan tidak bertemu lagi
Bersenang-senanglah
Karena hari ini yang kan kita rindukan
Di hari nanti sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karena waktu ini yang kan kita banggakan di hari tua
Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Sampai jumpa kawanku
Semoga kita selalu
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan
Bersenang-senanglah
Karena hari ini yang 'kan kita rindukan
Di hari nanti ....
(Sebuah kisah klasik – Sheila On 7)