River segera menahan tubuh yang hampir terjatuh. Dia tahu kalau perkataannya barusan sangat mengejutkan, tetapi tidak tahu sampai membuat Rana pingsan. Kini wanita itu berbaring di atas sofa dengan mata mengerjap-ngerjap setelah menghabiskan waktu di alam mimpi.
"Kenapa denganku?" tanya Rana, terus memijat kepala yang terasa pening.
"Jika aku mengatakan bagaimana kau bisa berakhir seperti sekarang, tidak tahu apakah kau akan pingsan lagi."
Perlahan kesadaran Rana pulih, tangannya segera mengambil posisi menyilangi d**a. "Kau tidak—"
River mengerlingkan mata seraya menghela napas panjang. "Tidak," selanya. "Kau perlu mengingatnya kembali bahwa kita sebelumnya menaiki pesawat."
Rana menoleh pada pesawat yang bentuknya seperti mobil. Dia tetap tidak bisa menerima penjelasan tentang pesawat berbentuk mobil atau mobil berbentuk pesawat, memikirkannya saja bagaikan benang kusut yang sulit diurai. Namun, dibandingkan itu semua dia ingat bagaimana bisa sampai berbaring di atas sofa, lebih tepatnya alasan kenapa dia pingsan.
"Ada apa? Kenapa menatapku begitu lekat?" tanya River, setengah penasaran.
"Dilihat dari mana pun, aku tidak bisa berpikir kalau kau sudah berumur cukup tua."
"Orang-orang yang kau lihat tidak jauh berbeda, bahkan di antara mereka yang menginginkan untuk mengurus bayi bisa terus memproduksi. Ini bukan seperti seorang wanita yang melahirkan saja, tetapi dari mereka ada yang menciptakannya dengan cara merakit bayi. Entah itu berbentuk apa saja, bahkan yang aneh dan tidak pernah ada di duniamu."
"Meskipun begitu, bukankah kau juga manusia? Bagaimana dirimu bisa terlihat masih muda? Aku berpikir bahwa di dunia ini juga tidak ada yang namanya vampir." Rana menjauhkan punggung, memperhatikan pria di depannya dengan saksama. "Yah, tidak cukup membuktikan anggapanmu pada orang sepertimu, kulit pucat dan terlihat tidak pernah dijemur oleh matahari. Jika kau melepaskan jas laboratorium itu, mungkin akan mirip dengan yang ada di dalam film. Ah, tapi imajinasi tentang seorang dokter adalah vampir juga banyak dinikmati. Kau yang sekarang sudah cocok dikategorikan sebagai sosok vampir."
River menipiskan bibir. "Sayangnya, aku adalah seorang peneliti dengan jas laboratorium. Maaf, tidak bisa memenuhi imajinasimu mengenai vampir." Dia bangkit, beranjak dari tepi sofa.
"Kau belum menjawab pertanyaanku."
River tetap melangkah sampai meja komputernya, duduk di sana dan mulai bekerja. "Jika itu tahun dua ribu dua puluh dua, maka nama dunia ini masih Bumi. Semakin berkembangnya zaman, semua orang ingin menyempurnakan kehidupan. Nama Stardust diluncurkan dengan harapan dunia baru yang lebih nyaman untuk ditempati. Banyak perubahan terjadi, termasuk usia seseorang di muka Stardust. Setiap bayi yang baru lahir ke dunia akan diberikan ramuan umur panjang, hanya bisa dikonsumsi satu kali dalam hidup. Efek dari ramuan itu, manusia akan menua lebih lambat dari yang seharusnya."
"Apa kau memiliki ramuan itu?"
River memutar kursi, menaikkan sebelah bibir. "Kau juga menginginkannya?"
Rana menaikkan dagu sedikit, berusaha menyembunyikan niatnya, akan tetapi juga tidak bisa memungkiri. "Setiap orang menginginkan umur panjang, bukan? Meskipun hidupku datar saja, tapi aku ingin melihat banyak hal di dunia."
"Kau tahu kalau Stardust adalah versi pembaruan dari Bumi. Tanah ini tetap sama, meskipun kau datang dari tahun yang berbeda. Berumur panjang bukan berarti tidak akan pernah mati."
"Tapi aku belum pernah mengonsumsi ramuan umur panjang. Kau berkata bahwa setiap bayi yang lahir ke dunia akan mendapatkannya, lalu bagaimana dengan aku yang sudah dewasa ini baru mulai mengonsumsinya?"
"Jarang sekali ada bayi yang tidak mendapatkannya. Jika ada, maka akan terhitung sebagai produk cacat."
"Jadi, maksudmu, aku adalah produk cacat?"
"Kau akan lebih cepat menua dibandingkan kami, karena itu kau disebut sebagai nenek moyang. Bukan hanya dalam segi kehadiranmu dari masa lalu, tapi juga karena fisikmu akan lebih cepat menua."
"Dengan kata lain, walaupun aku berada di dunia Stardust, hukum alam di Bumi masih terikat denganku di sini?"
"Kurang lebih begitu. Kau hanya makhluk terdampar, seperti paus yang menunggu waktu pulang. Jika tidak menemukan jalannya, maka akan menjadi tulang belulang."
Rana terdiam cukup lama, begitu rumit isi kepalanya karena penuturan yang didengarnya tadi. Kalau begitu, lebih baik jika dia kembali ke dunianya secepat mungkin, bukan? Siapa yang ingin tamat begitu saja di dunia asing?
Pada saat kepala dipenuhi banyak pikiran, Rana tersita perhatiannya. Dia menyipitkan mata dan segera bangkit dari sofa. Tidak menunggu lama untuk dia mendekati meja komputer dan meraih sebuah benda.
"Kenapa ini ada padamu?!"
River kelabakan, dia lupa mengenai hasil curiannya di tengah malam. "A—apa itu? Kenapa bisa ada bersamaku?"
Rana menggenggam benda di tangannya dengan erat. Dia jelas tidak suka jika ada orang lain yang mengambil barangnya tanpa izin. "Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu. Bagaimana barang milikku bisa ada bersamamu, River?"
"Oh, itu ... aku pikir kau menjatuhkannya ketika pingsan. Potato yang mengira kalau benda itu sebagai penemuanku, meletakkannya di ruanganku. Dan, dan ... sureprize! Sekarang ada di dalam genggamanmu."
"Benarkah? Kalau begitu, mari kita tanyakan pada Potato untuk menemukan kebenarannya."
Tepat saat Rana berbalik pergi, lengannya ditarik hingga tidak sengaja membuat dirinya duduk di pangkuan pria itu. Keadaan yang canggung membuat keduanya tidak dapat bergerak dengan cepat, sampai tiba-tiba pintu terbuka dan memunculkan sosok Potato.
Potato seketika menghentikan roda kakinya berputar. Dia yang jadwalnya menyediakan minuman untuk sang pemilik langsung berbalik arah. Entah situasi macam apa yang terjadi, dia berpikir bahwa dirinya tidak seharusnya berada di sana.
"Potato tidak melihat apa-apa, Potato tidak melihat apa-apa."
"Ah, Potato! Ini tidak seperti apa yang kau bayangkan!" seru dua orang yang membuat kesalahpahaman serempak.
Setelah pintu ditutup, suasana kembali hening, kian canggung ketika sadar bahwa mereka bergeming. Rana segera berdiri dan memberi jarak pada kedekatan mereka, sedangkan River berdeham sambil memperbaiki jas putihnya yang sebenarnya tidak perlu dirapikan.
"Semua karena kau mencuri benda milikku."
"Kau seharusnya menanyakannya tadi," ucap River, masih berusaha membela diri.
"Aku akan menanyakannya jika kita tidak—" ucapan Rana terhenti, akibat membayangkan kejadian memalukan tadi. Apa sebenarnya yang dia pikirkan sampai-sampai membiarkan dirinya duduk di pangkuan seorang lelaki?
"Sudahlah. Aku tidak punya waktu untuk ini."
Rana yang hendak pergi ditarik kembali dan kali ini kewaspadaan meningkat. Tidak akan ada lagi adegan di mana Rana duduk di pangkuan lelaki. Dia dengan cepat memberatkan tubuhnya agar tidak mudah ditumbangkan.
"Ada apa lagi?!" Rana semakin frustrasi dengan suasana canggung yang belum sepenuhnya hilang.
River sendiri terpaksa menarik wanita itu, menahannya lebih lama. Dia tidak bisa membiarkan Rana tahu ketika sampai di kamar bahwa ada dua benda serupa, bukan?
"A—apa kau akan terus menyebutnya sebagai benda milikmu?"