Bab 7: Membacakan Dongeng

1659 Kata
*** Malam hari Harold pulang menggunakan mobilnya. Lecet yang ada di bagian depan mobil itu sudah tidak tampak. Memang, siangnya Raffi menyuruh bawahannya memperbaiki mobil itu. Raffi memang selalu bisa diandalkan. Pekerjaan apapun akan mudah kalau Raffi yang mengurusnya. Tidak ada yang tidak mungkin jika seseorang memiliki uang. Harold sengaja memperbaiki mobil itu secepatnya agar Khadija tidak bertanya mengenai insiden tadi pagi. Di rumah, Khadija sedang mengajari anak-anaknya cara membaca. Wanita itu meluangkan waktu untuk mendidik anak-anaknya. Dia selalu ingin Zul dan Zander mendapatkan didikan langsung darinya. Sebab ia percaya bahwa pendidikan tidak selalu datang dari sekolah, melainkan juga dari rumah. Khadija terlalu fokus mengajari dua putranya, sementara Harold hanya memandangi di ambang pintu kamar. Pria itu merasakan keteduhan ketika memandangi istrinya yang sabar mengurus anak-anak mereka. Khadija seakan tidak memiliki stok lelah dalam merawat buah hatinya. Apakah hanya Khadija yang seperti itu? Selama ini, Harold tumbuh di keluarga yang lengkap. Namun, ia tidak mendapati perhatian lebih dari ibunya seperti yang Khadija berikan kepada Zul dan Zander. Harold tidak bisa membayangkan betapa bahagianya Zul dan Zander memiliki ibu seperti Khadija. Harold bangga bahwasanya ia tidak salah memilih pasangan hidup. Khadija adalah segala yang Harold inginkan. Memang wanita seperti Khadija-lah yang Harold damba-dambakan selama ini. Penuh perhatian dan kasih sayang yang tidak tertandingi. Khadija sedang memperbaiki kerudungnya ketika menyadari Harold berdiri di ambang pintu. Dia mendongak dengan mata sedikit membelalak. Salah satu reaksi keterkejutannya. "Mas Harold sudah lama di sana?" tanya Khadija bingung. Bagaimana tidak, seharusnya Harold sudah bergabung dengan mereka sejak tadi. Bukannya mematung di ambang pintu tanpa melakukan apa-apa. Itu sama sekali bukan Harold yang Khadija kenal. "Aku suka memandangi kamu saat bersama anak-anak. Kamu selalu cantik saat bersama anak-anak." Harold mengakui. Bukan hanya kecantikan, tetapi kecakapan Khadija juga yang membuat hati Harold seolah-olah akan meleleh. Setiap kali Harold menyaksikan Khadija merawat Zul dan Zander dengan baik. Harold merasakan ada perasaan senang yang muncul dalam dirinya. Selalu seperti itu. Khadija adalah motivasi terbesar yang Harold miliki. Entah akan seperti apa kehidupan Harold jika tidak ada Khadija. Jika seandainya Khadija pergi maka Harold mungkin akan merasa hancur. "Gombal!" Khadija menggeleng. Dia bukan lagi gadis remaja yang haus akan sebuah pujian. Cinta yang dahulu hanya untuk Harold seorang. Kini terbagi menjadi tiga bagian. Cinta untuk Zul, cinta untuk Zander, dan terakhir cinta untuk Harold. Khadija memfokuskan cintanya untuk Zul dan Zander. Bukan karena ia bosan dengan Harold. Hanya saja, Khadija berpikir kalau anak-anaknya jauh lebih banyak membutuhkan kasih sayang. Sedangkan sisa cintanya untuk Harold. Apalagi, Harold lebih banyak waktu bekerja di luar kota. Lama kelamaan Khadija terbiasa tanpa suaminya. Dia sudah memaklumi keadaan itu. Jika Harold istirahat satu atau mungkin dua hari maka Khadija akan meluangkan hari-hari itu bersama suaminya. Dua hari saja. Namun, itu harus cukup untuknya. Dua hari itu akan menjadi hari paling istimewa untuk mereka. "Aku serius," sela Harold dengan satu untaian senyuman hangat. Khadija menggeleng sebagai tanda tidak percaya. Bukan. Bukan tidak percaya. Hanya saja, Khadija tidak terlalu mempedulikan hal semacam itu? Dia sadar bahwa tanpa Harold katakan pun, Khadija sadar akan cinta lelaki itu. Mencintai anak-anak mereka adalah wujud dari cinta mereka yang sesungguhnya. "Anak-anak kalian mau main bersama Daddy sebelum tidur?" tanya Harold mengalihkan pandangan kepada dua putranya. Harold tidak tahu kalau Zul dan Zander sedang marah padanya atas kejadian pagi tadi. Mereka tidak senang karena Harold tidak menjadikan Zul dan Zander sebagai prioritas. Anehnya. Harold malah sibuk mengurusi penggemarnya. "Tidak," kata Zul. Anak itu menunjukkan tatapan lesu. Zul mengucek-ucek matanya kemudian menambahkan perkataannya sebelumnya, "Aku mengantuk." Harold menoleh ke arah Zander, dan anak itu menguap, menguatkan argumen yang diberikan kepada Harold kalau anak itu sedang mengantuk. "Aku juga mengantuk, Daddy." Harold menganggukkan kepala. Dia sadar bahwa memang, ia tidak diperkenankan menahan anaknya yang sudah ingin tidur. Ini memang sudah jam malam Zul dan Zander. Biasanya anak itu tidur di jam setengah sembilan malam. "Baiklah. Kalian langsung tidur saja. Daddy pun juga sudah mengantuk." Khadija tidak mengatakan apa-apa dalam beberapa detik ketika suaminya keluar dari kamar anak-anak mereka. Khadija paham betul bahwa Zul dan Zander sebenarnya belum mengantuk. Mereka hanya sedang mencari alasan agar tidak menghabiskan malam mereka bersama sang ayah. Harold tidak menyadari kalau kedua putranya sedang tidak mau bermain dengannya karena mereka masih kepikiran kejadian tadi pagi. Saat Harold lebih memperhatikan penggemar ketimbang kepada Zul dan Zander. Mereka berpikir ayah mereka lebih senang mencari perhatian. Harold tidak tahu kalau ada tanggung jawab besar yang ia pikul. Bahwa Harold seharusnya memperhatikan Zul dan Zander lebih banyak dari yang biasa ia berikan. "Masih marah dengan Daddy?" Akhirnya Khadija bersuara ketika ia merasa waktunya sudah tepat menanyakan itu. Khadija menebak apa yang tengah dipikirkan anak-anaknya. Bagaimana pun juga Khadija lebih banyak meluangkan waktu untuk anak-anaknya? Jadi, ia lebih mengetahui lebih banyak dari yang Harold ketahui. Khadija lebih paham Zul dan Zander ketimbang Harold. "Daddy tidak sayang kami," bisik Zul, dan langsung dibenarkan Zander lewat anggukan kepala. "Tidak begitu, Nak." Khadija langsung membantah pernyataan kedua putranya. Dia tidak mau Zul dan Zander membenci Harold untuk hal yang semestinya tidak mereka lakukan. Inilah yang Khadija cemaskan sejak lama. Ketika Harold terjun ke dunia musik. Harold pernah menggeluti dunia bisnis. Namun, ia tidak menyukai dunia itu. Harold bersikukuh ingin terjun menjadi penyanyi. Kala itu, Khadija cemas. Khadija takut profesi Harold sebagai penyanyi justru menciptakan jarak antara pria itu dan Zul maupun Zander. Kesibukan Harold membuatnya terpisah dari buah hatinya. Lalu, tampaknya ketakutan itu perlahan-lahan terbukti. "Bunda hanya mau bilang kalau apa yang kalian pikirkan tentang Daddy itu tidak benar. Daddy sayang kalian berdua." Khadija mengusap rambut kedua putranya. Berharap itu bisa menenangkan Zul dan Zander. Dua anak itu membutuhkan Khadija untuk meyakinkan bahwa sosok ayah mereka merupakan sosok ayah yang baik. "Kalian jangan berpikiran macam-macam ya. Kalian harus tahu kalau Daddy dan Bunda sayang kalian berdua apapun yang terjadi. Hanya saja, kadang-kadang keadaan membuat kami lalai." Khadija mengharapkan semua kalimat hiburan yang ia ucapkan bisa membuat dua putranya tenang. Khadija terus mengusap rambut milik kedua putranya. Setelah itu, ia pamit keluar dari kamar Zul dan Zander. Khadija harus bicara pada Harold. Dia harus menyelesaikan lermasalahan ini. *** "Mas Harold. Aku mau memberitahukan sesuatu!" Harold sedang merangkai kata dalam buku catatan musiknya. Buku itu digunakan Harold saat menemukan kata yang cocok dibuat sebuah lagu. Kata-kata puitis selalu menjadi kesukaan pendengar musik. Bagi Harold, menuliskan gambaran kehidupan melalui lirik lagu adalah pekerjaan paling penting yang harus ia lakukan sebagai penyanyi profesional. Dia akan mendapatkan lebih banyak keuntungan apabila menciptakan lagu sendiri. Berbeda jika ia membeli lagu milik orang lain. "Bicara saja," sahut Harold. Pria itu masih sibuk menciptakan tangga nada yang pas untuk lagu garapannya. Lagu itu tidak terlalu bagus di mata Harold. Dia masih perlu menciptakan aransemen yang baru agar rasa dari lagu itu tercipta. "Lagu yang menarik," komentar Khadija saat melihat satu bait yang tertulis di bawah tangga nada. Sebenarnya Khadija tidak terlalu paham musik. Dia hanya ingin mencairkan suasana hening yang terjadi di antara mereka. Mengingat Khadija akan membicarakan hal serius. Hal yang sangat penting bagi kelangsungan hubungan rumah tangga mereka. "Ya. Ngomong-ngomong. Apa yang mau kau katakan sebelumnya?" Harold menutup buku musik miliknya. Buku itu ditaruh di atas nakas, kemudian menarik Khadija masuk ke dalam dekapannya. Rasanya akan lebih nyaman jika mereka saling bicara dalam keadaan mesra. "Zander dan Zul marah kepadamu, Mas. Mereka bilang kamu lebih sibuk dengan penggemarmu." Seketika Harold diam. Dia mengangkat alisnya dengan helaan napas ia keluarkan dari dalam hidungnya perlahan-lahan. Khadija menyentuh tangan suaminya. Hanya agar Harold merasa lebih semangat. Mendidik anak memang sebuah tantangan besar bagi mereka. Apalagi Harold dan Khadija memiliki kesibukan sebagai pekerja. "Tadi pagi, memang sempat ada fans yang meminta foto." Harold melirik istrinya yang memberikan tatapan simpati. "Terkadang penggemar tidak pernah mengerti kehidupan pribadiku. Tapi, di sisi lain aku tidak bisa menyalahkan mereka. Aku mulai berpikir kalau karirku sebagai tokoh publik tidak bersahabat dengan aku yang menjadi sosok ayah." Harold berusaha memahami keadaannya yang terjadi antara dirinya dan sang anak. Tampaknya Harold memang keterlaluan telah mengorbankan anak-anaknya demi penggemar dirinya. "Ya. Tapi kamu tidak perlu mencemaskan itu sekarang, Mas!" "Lalu apa yang harus aku lakukan?" Sejujurnya Harold bingung. Dia tidak memiliki ide apapun mengenai keadaan yang menimpa dirinya dan sang anak. "Kamu hanya perlu menghibur anak-anak. Bacakan dongeng sebelum tidur agar mereka merasa senang. Kurasa itulah yang perlu kamu lakukan sekarang, Mas." Khadija memberikan satu ide. Membacakan dongeng memang salah satu hal yang membuat Zul dan Zander bergembira. Mereka senang jika mendengarkan cerita-cerita bahagia. Cerita khas anak yang memiliki nilai-nilai dan hikmah kehidupan. "Ya, benar. Mereka memang senang dongeng. Aku memang hanya perlu membacakan dongeng untuk Zul dan Zander," pikir Harold. Pria itu memberikan kecupan hangat di ujung kepala istrinya. Kemudian bergegas meninggalkan kamar. Dia masuk ke kamar anak-anaknya. Zul dan Zander belum tidur. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun saat Harold masuk ke kamar mereka. Meskipun begitu, Harold tetap mengusahakan mendekati kedua anaknya secara persuasif. "Hai, anak-anak!" sapa Harold sambil tersenyum. Zul maupun Zander tidak membalas perkataan ayahnya. Keadaan itu membuat Harold masuk tanpa diperintah. Harold mulai mengambil posisi di tengah-tengah Zul dan Zander. "Daddy minta maaf. Daddy tahu Daddy salah." Harold berujar dengan nada muram. Memang ia sedih dengan keadaan antara dirinya dan anak-anaknya. Zul dan Zander cukup terkesiap karena mereka tidak memberitahu kepada sang ayah bahwa mereka sedang marah. "Daddy tidak salah." Tiba-tiba Zul bicara. Anak itu ikut merasakan kesedihan ayahnya. Tidak ada anak yang sanggup membenci orang tuanya lama-lama. Saat Harold meminta maaf, saat itulah Zul maupun Zander tersentuh. Mereka masih anak-anak Harold yang tumbuh dengan kasih sayang. "Tapi Daddy mengabaikan kalian berdua," ungkap Harold lagi. Zander tidak bicara. Akan tetapi anak itu seketika masuk ke dalam dekapan sang ayah. Bukan hanya Zander, Zul ikut masuk ke dalam pelukan ayah mereka. "Daddy sayang kalian." "Zul juga sayang Daddy!" "Zander sayang Daddy." Setelah lama berpelukan, Harold menawarkan untuk membacakan dongeng untuk anak-anak itu. Zul dan Zander bersemangat menyambut tawaran itu. Mendengarkan dongeng sebelum tidur merupakan hal menyenangkan bagi Zul dan Zander. Beruntung sekali mereka kembali mendapatkan itu dari ayah mereka. . Instagram: Sastrabisu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN