Bab 5: Bad Day

1952 Kata
*** Merawat anak adalah tugas penting yang seharusnya dilakukan oleh orang tua. Anak membutuhkan perhatian orang tua. Oleh karena itu, peran orang tua sangat dibutuhkan dalam perkembangan buah hati. Harold menyadari bahwa ia memiliki waktu yang lebih sedikit bersama anak-anaknya. Zander dan Zul sudah sekolah. Mereka membutuhkan perhatian Harold. Ketika Harold sudah bangun, dua anaknya sudah memakai seragam sekolah lengkap. Mereka sudah siap diantar ke sekolah. Khadija terlihat kesusahan memakaikan putranya sepatu sekolah. Dia melayani kebutuhan anaknya sambil menaruh ponsel di telinganya. Khadija sedang berbicara dengan seseorang lewat teleponnya. Menyaksikan kesibukan istrinya itu membuat Harold mengiba. Begitulah sulitnya menjadi wanita karir sekaligus ibu, di saat bersamaan. Sebagai suami, Harold sangat jarang meluangkan waktu untuk anak-anak mereka. Awalnya ia pikir mencari nafkah adalah satu-satunya tugas dirinya sebagai kepala keluarga. Nyatanya masih banyak tugas yang semestinya ia lalui. Harold lalai dalam beberapa tugas yang sekiranya bisa ia lakukan. "Aku yang akan mengantar anak-anak ke sekolah!" ujar Harold menghentikan kesibukan istrinya. Khadija sampai menaikkan alis karena tidak menyangka suaminya akan menawarkan bantuan itu. Selama ini Khadija memahami kesibukan suaminya. Jadi, ia tidak pernah mendesak Harold untuk mengurusi kebutuhan anaknya secara langsung. Dia sudah terbiasa dengan tanggung jawab merawat anak-anak mereka. "Oh. Bantuan yang bagus! Makasih ya, Mas. Aku makin sayang sama kamu." Setelah memasang sepatu Zander, Khadija bangkit dan memberikan ciuman di pipi suaminya. Harold hanya diam, membiarkan istrinya memberikan hadiah di pagi hari. "Mas Harold urus anak-anak ya. Aku mau bahas kerjaan dulu sama Mas Azzam," ujar Khadija. Telepon genggam masih ada di tangan Khadija. Wanita itu mengerling sebelum akhirnya menjauh dari suaminya. Khadija akan mengurus pekerjaan penting pagi ini. Harold masih mematung memperhatikan dua jagoan kecilnya mengambil tas yang sudah disediakan ibunya. "Hari ini Daddy yang antar?" tanya Zul girang. Jarang sekali Harold mengantar mereka. Itulah sebabnya Zul tampak lebih semangat. Diantar ayahnya seperti kado spesial di pagi hari. Biasanya Harold masih sibuk di kasur jika pagi hari tiba. Sangat berbeda dengan hari ini. Harold bangun pagi dan bersedia mengantar Zul dan Zander ke sekolah. "Ya. Daddy yang akan antar," jawab Harold. Pria itu mengambil satu potongan kue yang ada di meja kamarnya. Dia memang belum sarapan. Dia baru saja keluar dari kamar mandi mencuci muka saat menyadari kesibukan istrinya. Kesibukan yang membuat hatinya mengiba. "Kalian sudah sarapan atau belum?" tanya Harold memastikan. Harold bertanya sembari mengunyah kue yang ada di tangannya. Dia terlalu lapar sampai lupa kalau kue itu mengandung gula. Pada dasarnya, Harold seorang selebriti. Diet gula adalah salah satu bagian penting yang harus ia ingat. Meskipun seringkali ia lupa. Siapa yang bisa menolak manisnya gula? Pria itu menghindari mengonsumsi gula terlalu banyak. Makanan pokok pun ia memilih nasi merah. "Belum," sahut Zander. "Baiklah. Kalau begitu. Kita semua turun sarapan," ajak Harold. Zul dan Zander antusias. Pagi ini mereka menyantap sarapan dengan lahap. Mungkin karena mereka bahagia akhirnya bisa diantar ke sekolah oleh sang ayah. Senyum mengembang tak lepas dari wajah mereka. Harold memperlakukan kedua putranya seperti raja. Harold ingin Zul dan Zander bahagia. Keinginan lelaki itu sepertinya berhasil. Pagi ini akan menjadi pagi yang indah untuk anak-anaknya. Sesuatu yang memang ia harapkan terjadi setiap harinya. *** "Apakah malam ini Daddy akan muncul di TV lagi?" tanya Zul ketika sudah berada di dalam mobil. Melihat ayahnya mondar-mandir di televisi sudah menjadi hal yang menyenangkan hati Zul. Ada kebanggan tersendiri ketika ayahnya muncul di TV nasional. Zul sangat senang membicarakan ayahnya kepada teman-temannya. Anak itu benar-benar bahagia memiliki ayah yang berprofesi sebagai penyanyi. Ayah yang muncul di TV nasional nyaris setiap minggu. "Sepertinya tidak. Daddy sibuk menyanyi di tempat lain. Mungkin dia hari lagi baru bisa muncul di TV." Harold berujar sembari tetap fokus memandang ke jalan raya. Sangat disayangkan Mercedes Benz merah miliknya mengantri di jalanan. Pria itu menghela napas karena masih terjebak macet juga. Dia mulai berpikir apakah ada acara sehingga pagi ini terjadi kemacetan parah. "Daddy ingin menyanyi di mana? Lain kali ajak Zul menyanyi juga. Zul senang bernyanyi. Zul ingin menjadi seperti Daddy." Anak-anak selalu menjadikan orang tua mereka sebagai cerminan. Begitu pun dengan Zul. Entah sudah berapa kalinya ia mengatakan keinginan menjadi penyanyi. Anak itu tertarik menjadi seperti ayahnya yang dicintai banyak orang. Zul berpikir bahwa menjadi seperti ayahnya adalah bagian paling keren dalam hidupnya. Perjalanan menuju sekolah macet. Harold yang tadinya fokus menyetir kini lebih banyak berbincang dengan anaknya. Mendengarkan ocehan-ocehan Zul membuat Harold lebih semangat. Dia merasakan sebuah kehangatan menjalar dalam dirinya. Zul dan Zander adalah sumber kebahagiaan yang ia miliki. "Daddy senang jika Zul ingin seperti Daddy. Bagaimana denganmu, Zander? Jika sudah besar kamu ingin menjadi apa?" tanya Harold. Harold mengalihkan perhatian kepada anak lelakinya yang lain. Zander tengah serius dengan permainan robot-robot mini yang ia bawa dari rumah. Zander memang suka bermain ketimbang belajar. "Jadi apa saja, Dad. Yang penting jadi orang baik," jawab Zander enteng. "Cita-citamu sangat buruk," komentar Zul karena anak itu percaya bahwa cita-cita seharusnya menghasilkan uang. "Kau harus jadi penjahat saja kalau sudah besar. Hihihi." Zul cekikikan. Zander langsung membulatkan mata setelah mendengarkan saran kembarannya. Dia tidak suka bila diminta menjadi penjahat. Zander memukul pelan lengan Zul. Kedua anak itu bertengkar sehingga pandangan Harold teralihkan. Harold terpaksa menenangkan dia anaknya. "Hei. Jangan bertengkar!" tegurnya. Tidak hanya bicara semata, Harold langsung memisahkan tangan anak itu. Tindakan Harold tersebut cukup gegabah karena sekarang mobilnya malah menubruk mobil di depannya. Memang tidak kencang. Akan tetapi, tetap saja, Harold baru saja membuat masalah. "Astaga! Apa yang barusan aku lakukan?" batin Harold yang merasa khawatir. Mobil di depannya berhenti. Seseorang dari dalam sana keluar. Wanita yang sekiranya sepuluh tahun lebih tua dari Harold. Memakai seragam ASN Sepertinya akan meminta pertanggung jawaban dari Harold. "Lihatkan? Kalian sudah membuat Daddy dalam masalah. Lain kali, jangan bertengkar jika berada di dalam mobil." Harold menasihati dia anaknya. Zul dan Zander tidak bicara. Mereka menunduk karena baru saja membuat ayah mereka dalam masalah. Setelah itu, Harold menepikan mobil agar bisa menyelesaikan permasalahan yang sudah ia perbuat. Dia harus bertanggung jawab atas kelalaian dirinya. Beruntung tidak terjadi kecelakaan besar. Hanya tabrakan kecil yang masih bisa ia atasi. "Kalian tunggu di sini. Daddy akan keluar." "Iya," decit Zul dan Zander dengan suara muram. Harold turun dari dalam mobil. Tadinya, wanita yang ditabrak ingin marah-marah. Namun, saat mengetahui yang menabraknya adalah Harold Arash. Seorang penyanyi yang tenar saat ini. Pemilik mobil yang ditabrak Harold pun terlihat menyunggingkan senyum. "Maaf atas kelalaian saya. Boleh saya minta nomor teleponnya? Saya akan bertanggung jawab," kata Harold berinisiatif. Orang itu tidak langsung membalas perkataan Harold. Dia malah tertarik membahas betapa terkenalnya Harold di lingkungan orang itu. "Boleh saya minta foto, Mas? Saya nge-fans banget sama Mas Harold," ujar ibu itu. Harold tidak pernah menolak jika ada penggemar yang meminta foto. Jadi, Harold menyambut hangat. Wanita itu pun melakukan foto selfie nyaris dua puluh kali, membuat instastory empat kali, lalu meminta Harold Arash mem-follow back akun instagramnya. "Maaf, Bu. Saya sedang buru-buru. Bisa kita bahas masalah mobil ibu sekarang? Saya akan menghubungi manajer saya untuk mengurus mobil ibu," kata Harold. Ya, ia selalu bergantung pada bantuan dari Raffi. Harold sangat bersyukur memiliki manajer yang siap sedia membantu jika Harold sedang dalam masalah. Mengapa Harold selalu dirundung masalah seperti ini. Ya ampun! "Enggak bisa, Mas. Jangan mentang-mentang Mas Harold artis. Mas Harold bisa melakukan apa saja. Begini saja, Mas Harold bayar seratus juta masalahnya akan beres sekarang!" tegas wanita itu yang ternyata mata duitan. Mata Harold sampai membelalak sempurna. Bukan karena ia tidak memiliki uang. Harold hanya tidak percaya ada orang yang mengaku penggemar tetapi malah memeras hartanya. Seratus juta rupiah terlalu banyak untuk perbaikan mobil murah yang lecet sedikit saja. Itu malah setara dengan harga mobil bekas yang masih mulus. Harold menghargai uang. Dia tidak senang dengan orang yang suka menghambur-hamburkan uang. "Loh, kok 100 juta, Mbak. Lecet seperti ini tidak semahal itu. Lecet seperti ini satu juta sudah cukup," kata Harold. Pria itu menoleh ke dalam mobilnya. Tampak Zul dan Zander sudah tidak bisa menunggu di dalam mobil. Ya, memang wanita yang ada di hadapan Harold sekarang sengaja menunda-nunda waktu. Pertama, ia meminta Harold berfoto dan membuat video untuk postingan sosial medianya. Lalu, kemudian ia berusaha memeras uang Harold akibat kelalaian Harold menabrak mobilnya. "Ini rusaknya parah loh, Mas. Kalau Mas Harold enggak mau bayar ya tinggal ngomong aja. Liat aja. Nanti aku bakalan sebarkan sikap pelit Mas Harold hari ini. Memangnya 100 juta untuk penyanyi itu terlalu banyak ya? Katanya penyanyi terkenal!" sindir wanita itu. Suasana semakin tidak kondusif karena dua orang anak gadis datang meminta foto lagi. Sebenarnya Harold tidak bisa. Namun, dua gadis itu memelas. Harold terpaksa meladeni dua gadis itu terlebih dahulu. Kemudian berhadapan lagi dengan wanita si pemeras uang. Harold tidak mau terjadi masalah baru. Jadi ia menuruti wanita itu. Harold mengirim uang sebesar seratus juta rupiah menggunakan rekeningnya. Harold berpikir uang bukanlah segalanya. Yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah menyenangkan anak-anaknya. Lihatlah, Zul dan Zander memasang wajah muram. "Daddy sangat lama," komentar Zander ketika Harold sudah masuk ke dalam mobilnya. "Maaf, Nak." Harold mengecek jam di tangannya. Anaknya sudah terlambat. Segera Harold mengemudi dengan kecepatan yang lebih. Keadaan jalanan semakin lama semakin membaik sehingga berselang beberapa menit Harold bisa sampai ke sekolah anaknya. Saat sudah sampai, Harold berencana mengantar dua anaknya masuk ke dalam gedung sekolah mereka. Namun, lagi dan lagi seorang penggemar menghalangi Harold. Penggemar itu meminta foto. Bukan hanya satu orang. Ada lima orang yang mengantri meminta foto. Harold meladeni mereka karena ia pikir kegiatan foto itu hanya sebentar. Biasanya memang hanya sebentar Ternyata, lima orang itu setara dengan 10 orang. Kegiatan foto itu menghabiskan banyak waktu Harold. Zander dan Zul sampai bosan menunggu. Mereka masuk ke dalam gerbang sekolah mereka tanpa diantar ayahnya. Ketika anak-anaknya sudah tidak ada, Harold baru menyadari kalau ia telah membuat anaknya menunggu. Harold menghela napas lelah. Menjadi publik figur yang baik justru membuat tugasnya sebagai ayah terbengkalai. Dia jarang mengantar anaknya ke sekolah. Sekalinya ada waktu. Dia malah membuat anak-anaknya merasa muram. Harold gagal ke jadi ayah hari ini. Dia gagal menjadikan anaknya prioritas. Jika Khadija tahu Harold membuat dua anaknya sedih. Entah apa yang akan dikatakan Khadija kepada dirinya. *** Harold termangu sesaat. Kadang-kadang ia jenuh apabila situasi membuatnya berada di pihak bersalah seperti sekarang ini. Harold menyia-nyiakan waktu bersama putranya. Bagaimana bisa ia mengutamakan penggemar daripada anak kandungnya sendiri? Hari ini benar-benar menyebalkan. Pertama ia terperangkap macet. Kedua, ia berurusan dengan wanita cerewet, sampai harus merelakan uang ratusan juta rupiah. Ketiga, ia mengabaikan anak-anaknya demi meladeni keinginan penggemarnya berfoto. Harold melirik mobilnya. Sebenarnya ada lecet di mobil itu. Harold sudah mengorbankan seratus juta sebagai uang ganti rugi atas kerusakan mobil orang lain. Sementara mobilnya sendiri juga mengalami kerusakan. "Wah, ada lecet juga ternyata," gumam Harold sambil mengeluarkan napas lelah. Harold hanya perlu menghubungi bengkel andalannya untuk memperbaiki kerusakan pada mobilnya. Toh, setiap hari Harold dijemput manajernya. Akomodasi Harold sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak perusahaan jika ada kegiatan bernyanyi. Memakai mobil pribadi hanya digunakan Harold ketika sedang menghabiskan waktu bersama istri dan juga anak-anaknya. Mobil mewahnya berguna untuk melakukan hal-hal pribadi saja. Tidak lebih. Setelah puas melihat-lihat sedikit kerusakan di mobilnya, Harold memilih untuk masuk ke dalam mobilnya. Di dalam sana ia merenung sebentar. Pria itu senang memikirkan sesuatu dalam hidupnya. Memikirkan makna hidup yang sebenarnya. Tak lama, Harold melajukan mobilnya menuju kantor di mana Raffi berada. Paling tidak, Harold bisa mengetahui jadwalnya hari ini. Berkali-kali Raffi memberitahu jadwal pria itu. Berkali-kali pula Harold melupakan perkataan manajernya. Obat tidur membuat Harold mudah sekali melupakan suatu hal, bahkan mengingat jadwal pekerjaannya sekalipun. Harold tidak semestinya melupakan tentang jadwal bernyanyinya. Itu adalah bagian penting yang semestinya Harold perhatian. Artinya, jika ia tahu setiap detik jadwalnya, ia bisa meluangkan waktu untuk anak-anak dan istrinya. Entahlah, ini sudah takdir hidup Harold. Dia hanya perlu mengikuti ke mana takdir hidup akan membawa hidupnya. . Instagram: Sastrabisu
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN