Mas Harsa membiarkan amplop itu tergeletak di atas meja. Dia seperti tak berniat menyentuhnya sama sekali.
"Apa perlu kujelaskan?" tanyaku ketika melihatnya tetap bergeming. Mungkin dia bingung, mengingat selama ini Mas Harsa hanya mengurus segalanya di awal, sedangkan detail setiap bulan pengaturan keuangan, aku yang mengelola.
Tanganku meraih amplop itu kembali dan mengeluarkan berkasnya satu per satu.
"Mbak Ninik juga boleh memperhatikan, karena nanti Mbak yang akan mengatur harta Mas Harsa," ucapku. Kulirik wajah yang menurutku biasa saja itu. Namun, khas putri Jawa. Mungkin itu yang membuatnya begitu istimewa di mata Ibu dan Mas Harsa.
'Maaf, Mbak. Kuserahkan estafet yang cukup berat ini padamu, agar Mbak tidak tuman ingin mengambil sesuatu karena terpesona pada keindahan luarnya,' batinku.
"Ini berkas rumah." Kuserahkan beberapa lembar kertas penting kepada Ninik. Perempuan itu menerima dengan binar pada wajahnya. Matanya fokus menatap lembaran itu, sepertinya sedang membaca tulisan-tulisan yang ada di sana. Selanjutnya, berkas berharga itu diraih oleh Ibu. Wanita itu pun turut mengamati lembaran itu secara seksama dengan binar wajah yang serupa.
"Ini ...." Aku mengamati sebuah kertas lain yang terselip di antara berkas. Dahiku berkerut, mencoba mengingat-ingat benda itu.
"Oh ... ini daftar harga mobil. Kemarin saya dan Mas Harsa sempat berencana untuk membeli mobil tahun ini agar jika bepergian tidak repot menyewa rental. Tapi belum sempat terealisasi. Mungkin nanti kalian bisa lanjutkan rencananya," ucapku sambil menyodorkan kertas itu padanya.
Aku tercenung sesaat, perih rasanya setiap mengingat moment yang dulu indah bersama Mas Harsa, tetapi kandas oleh hadirnya perempuan dari masa lalunya.
'Kuat ...! Kuat, Safira! Tidaklah setiap resah dan ujian yang kau terima adalah agar kau semakin tangguh dalam menjalani hidup. Semua akan indah pada akhirnya, jika itu belum indah, maka itu pun bukanlah akhir.' Aku menguatkan diri sendiri.
"Ini BPKB sepeda motor yang Mas Harsa pakai." Tanganku kembali mengeluarkan satu isi amplop dan menyerahkannya kepada mereka.
"Mbak Ninik, rumah dan sepeda motor ini, saya dan Mas Harsa beli saat awal-awal kami menikah. Rumah ini kami beli ketika belum sebesar dan sebagus ini. Kami poles pelan-pelan setiap bulan agar terlihat indah seperti sekarang." Kujeda kalimatku, mengamati reaksinya atas kalimat yang aku ucapkan. Apakah dia peka bahwa itu adalah sindiran untuknya yang hanya ingin mengambil hasilnya saja. Apakah dia mempunyai rasa sungkan atau justru merasa diuntungkan?
Aku menggeleng kecil, meringis miris. Binar wajahnya tidak berubah. Dia bahagia surat itu berpindah ke tangannya. Padahal jika aku menuntut rumah ini, sangat berhak. Hanya saja aku tidak mau ribut hanya perkara harta yang bisa kucari sendiri. Harta bisa dicari, ketenangan harus diciptakan.
"Kami membeli rumah ini dengan mencicil di Bank," lanjutku, "Ini catatannya. Cicilan dibayar paling lambat setiap tanggal 15. Besar cicilan per bulan empat juta lima ratus ribu rupiah. Jangka pinjaman sepuluh tahun. Sudah berjalan tiga tahun, tersisa tujuh tahun lagi," terangku. Air muka Ninik spontan berubah, tak lagi bening, tetapi keruh.
'Ah, Mbak. Kok, mau enaknya saja. Sekali dapat yang tidak enak langsung begitu. Ini baru permulaan, di dalam amplop masih banyak.'
Kuserahkan lembaran bercap nama bank itu padanya sambil tersenyum manis. Agar sedikit berkurang pahit yang ia terima ketika lembaran itu berpindah padanya dengan menatap senyumku itu.
"Ini catatan leasing sepeda motor Santi, karena kemarin Santi minta ganti model terbaru jadi kredit baru berjalan lima bulan. Jangka waktu kredit 36 bulan. Per bulan delapan ratus ribu. Bayarnya di kantor leasing, Mas Harsa tahu tempatnya. Jatuh tempo setiap bulannya tanggal sepuluh. Jika terlambat, per harinya dikenakan denda dua puluh lima ribu rupiah." Kuserahkan akad kredit itu padanya. Ia menerima enggan.
"Ini nomor rekening listrik, listrik perbulan biasanya minimal satu juta dua ratus ribu," terangku. Tagihan listrik ini yang setiap bulan selalu kukeluhkan. Penghuni rumah sulit untuk diminta berhemat.
"Ini struk terakhir PDAM. Nanti kalau bayar, bawa struk terakhir ini. Kisaran perbulannya tiga ratusan ribu."
Satu per satu catatan aset hutang itu di terima Ninik dan disaksikan Ibu. Binar wajah mereka tak lagi terang. Tangan Ninik gemetar menerima setiap lembarnya. Berbeda dengan saat memberi berkas rumah tadi.
"Ini ATM gaji Mas Harsa." Aku mengambil benda pipih seukuran tiga jari itu dari selipan dompet dan mengulurkannya pada Ninik. Kali ini wajah perempuan itu sedikit cerah.
"Hanya saja isinya sudah kubayarkan semua tagihan serta untuk tambahan Bapak dan Ibu pulang kampung kemarin. Jadi sudah kosong," jelasku. Pelak saja memupus binar terang wajahnya dan menjadikan redup kembali.
"Setiap bulan dana yang masuk tujuh juta delapan ratusan ribu," jelasku.
"Ya, puyeng-puyeng begitulah, Mbak, mengaturnya," kekehku miris, "Pengeluaran memang gak sebanding dengan pemasukan. Untuk membantu, Mbak Ninik bisa lihat catatan pengeluaran yang aku buat setiap bulan ini." Kuserahkan sebuah buku padanya.
"Biar lebih terarah. Ini sudah lengkap pengeluaran untuk kebutuhan dapur dan pernak-perniknya, alat mandi, alat kebersihan, uang pegangan untuk Mas Harsa, Bapak, Ibu dan Santi, juga biaya kuliah Santi." Di luar uang semester Santi, jumlah pengeluaran pada catatan yang kubuat hampir setara dengan gaji Mas Harsa.
"Kalau dicatat begini, kita bisa mereka-reka uang yang harus disisihkan, Mbak," lanjutku.
Mas Harsa mengurut dahi sambil tetap menunduk. Sementara yang lain tampak pucat kesi. Ibu bahkan terlihat ternganga. Mungkin beliau benar-benar syok. Biarlah, biar dia tahu kehidupan anaknya yang sebenarnya. Anak yang beliau bangga-banggakan hebat dengan posisi baik di kebun. Yang diketahuinya bergaji besar.
Dari luar, selama ini Ibu melihat keuangan Mas Harsa cukup mewah. Sehingga beliau selalu membanggakan anaknya dan meremehkanku. Ibu tidak tahu bagaimana usahaku mencukupi semuanya. Kulakukan agar mereka nyaman, tidak perlu memikirkan sulitnya mencari nafkah.
Sekarang Ibu sendiri yang menyingkirkanku. Semoga saja calon menantunya yang sarjana itu mampu mengatasi semuanya. Menjadikan beliau tetap sebagai ratu di rumah ini.
Yang terlihat indah dari luar, memang belum tentu seindah dalamnya. Kita sering lupa bahwa mata memiliki kemampuan pandang terbatas. Kita tidak tahu masalah apa yang dialami seseorang, yang tidak mampu dicerna oleh mata.
Ninik duduk terpaku. Dia tercenung setelah mendengar penjelasanku. Aku 'kan hanya berbaik hati menjelaskan agar dia tidak syok ketika sudah menikah nanti. Namun, sepertinya sama saja. Tahu sekarang atau setelah menikah sama syoknya.
Apa boleh aku mensyukurkannya dan tertawa jahat?
'Rasain!' Aku terkekeh dalam hati.
"Lalu bagaimana mau makan jika ATM itu sudah kosong?" ketus Ibu sewot.
"Ibu tidak usah khawatir," sambutku lembut, "Ibu punya anak dan calon menantu sarjana. Pasti mereka bisa mengatasi semuanya dengan baik. Saya saja yang SMA bisa melakukannya." Aku menyindir.
"Lagi pula, saya rasa beras dan segala kebutuhan dapur cukup hingga akhir bulan. Hanya masalah belanja lauk dan sayur harian, itu gampanglah bagi Mas Harsa. Dia 'kan hebat. Iya 'kan, Mas?" tanyaku. Kukembalikan pujian yang selalu Ibu dengungkan untuk Mas Harsa.
"Entah sial apa, hebat-hebat beristrikan kamu yang tidak berpendidikan." Salah satu kalimat Ibu yang cukup melukai, yang beliau ulang berkali-kali.
"Sarjana, punya jabatan bagus di kebun, eh, dapat istri hanya bocah SMA." Kalimatnya yang lain, tapi senada.
Begitu rendah aku di mata Ibu karena hanya sebagai lulusan SMA. Pendidikan itu memang penting. Aku memang bukan orang beruntung yang bisa mengecapnya hingga jenjang sarjana. Namun, tamat SMA pun bukanlah suatu kesialan.
Ilmu tak hanya bisa diperoleh dari pendidikan formal. Lebih baik aku yang hanya tamat SMA, dari pada perempuan itu yang sarjana, tetapi tidak mampu menimbang rasa. Tidak beradab dan mau saja masuk ke dalam rumah laki-laki yang sudah mempunyai anak istri.
Hidup itu tak hanya tentang pendidikan, tak kalah penting kepribadian. Sikap itu tidak sekadar menyangkut ilmu, yang paling penting adalah adab.
Mas Harsa terdiam, tak mau menanggapiku. Atau mungkin saja tidak mampu. Nafkah lahir saja masih kurang begitu, tetapi belagu untuk beristri lagi.
Laki-laki itu berkali-kali menghela napas berat, menyandar, menunduk, mengurut dahi, atau mengusap kasar wajah coklatnya. Itulah akibatnya jika melakukan sesuatu tidak dipikirkan dengan matang. Hanya menurutkan nafsu.
"Apakah masih ada yang perlu kita bicarakan lagi, Mas?" tanyaku pada laki-laki itu.
"Jika tidak ada, aku ijin untuk menempati kamar Emyr," pintaku. Kami memang telah menyediakan kamar khusus untuk Emyr, dan akan menambah kamar jika nanti punya bayi lagi. Namun, impian itu kini hanya meninggalkan luka.
"Ya." Mas Harsa menjawab lemah.
"Semoga Mas bahagia," ucapku. Kulayangkan senyum terakhir pada mereka semua sebelum beranjak. Lalu langkahku tegak menuju kamar, memindahkan semua benda pribadi ke kamar yang direncanakan untuk Emyr. Bersama malaikat kecilku itu, malam ini aku memulai status baru.