Part 13

1926 Kata
Luna berusaha menguatkan dan menyemangati Citra yang kini kembali menangis di sampingnya. Tak hanya mengusap-usap lengannya, Luna bahkan memberikannya pelukan hangat hingga wanita cantik itu kembali merasa tenang. “Sabar ya, Mbak. In syaa Allah masalahnya akan segera selesai. Aku juga in syaa Allah akan bantu doakan yang terbaik untuk, Mbak.” “Terima kasih, Dek,” ucap Citra seraya melemparkan senyuman manisnya kepada Luna. “tapi Mbak sebetulnya masih bingung, Dek. Kira-kira langkah apa yang harus Mbak pilih untuk kedepannya? Tetap lanjut, atau memilih berhenti? Mbak betul-betul bingung sekali.” “Sekarang, walaupun suami Mbak ninggalin Mbak kayak tadi, di pinggir jalan. Mbak yakin entah nanti malem, atau mungkin besok, atau besok lusa, dia pasti nyariin Mbak lagi. Menurut kamu Mbak harus gimana ya?” Ditanya seperti itu, jujur Luna sangat bingung sekali harus memberikan jawaban apa. Meskipun jauh di lubuk hatinya ia ingin menyarankan Citra untuk berhenti saja. Mengingat dari apa yang Luna lihat beberapa saat lalu, dan setelah mendengar cerita yang Citra sendiri dengan suka rela ceritakan kepadanya, suami Citra amat sangat menyeramkan. Rasanya susah sekali untuk diubah apabila tidak diiringi dengan kemauan yang kuat dari yang bersangkutan. Namun, rasanya juga sulit untuk menyarankan itu. Luna ini siapanya Citra kan? Hanya orang asing yang baru saja kenal bahkan belum sampai satu jam. Menurutnya terlalu lancang jika ia ikut campur terlalu dalam akan permasalahan yang Citra alami. Ya meskipun Citra sendiri yang meminta saran darinya. “Aku nggak tau, Mbak. Itu pertanyaannya kayaknya terlalu susah deh buat aku, hehe. Jujur aku takut salah. Apalagi kan aku masih cilik banget lah dibanding Mbak. Nikah aja belum kepikiran hehe. Mmm, aku hanya bisa nyaranin ini ke, Mbak. Kalau menurut temen aku yang sering datang ke kajian. Kalau kita sedang bingung dalam membuat keputusan, dalam memilih suatu pilihan, minta bantuanlah kepada Allah. Karena Allah lah yang paling tau apa yang terbaik buat kita. Karena mungkin aja, yang menurut kita baik ternyata tidak menurut Allah. Sebaliknya, yang menurut kita buruk bisa jadi menurut Allah itu yang terbaik buat kita. Sebenernya sih ini ada dalilnya, Mbak, di al-qur’an. Tapi akunya lupa hehe. Kalau temen aku yang rajin dateng ke kajian itu sih udah pasti inget. Bahkan punya catatannya.” Citra menganggukkan kepalanya sesekali. Mencoba memahami apa yang baru saja Luna sampaikan kepadanya. “Mmm, berarti Mbak harus minta bantuan ke Allah ya?” “Iya. Baiknya sih seperti itu, Mbak. Kita melibatkan Allah di setiap keputusan kita. Supaya nggak salah langkah hehe. Oh iya aku baru inget. Namanya shalat istikharah, Mbak.” “Shalat istikharah? Mbak kayaknya baru denger deh, Dek,” ucap jujur Citra seraya menatap ingin tahu ke arah Luna. “Kalau yang Luna tau, shalat istikharah itu ya yang seperti Luna sempat bahas tadi. Shalat yang disunnahkan oleh Nabi Muhammad ketika kita memiliki keinginan, atau memilih keputusan yang terbaik. Untuk tata cara, niat, dan doa yang disunnahkan, nanti aku kasih link-nya aja ya, Mbak. Aku nggak begitu hapal hehe.” “Oke deh. Makasih banyak ya, Dek,” ucap tulus Citra seraya menatap Luna dengan tatapan berterima kasih. “Sama-sama, Kak. Udah mau maghrib nih, Mbak. Bentar lagi juga adzan. Kita ke masjid deket-deket sini dulu ya? Nanti selesai shalat aku anter Kakak ke penginapan terdekat. Udah mau malem juga,” usul Luna yang dengan senang hati Citra setujui. Karena bagi Citra, memiliki teman di saat-saat seperti ini saja ia sudah sangat - sangat bersyukur. Teman yang dengan senang hati mau mendenger keluh kesahnya. Membantu menguatkan serta memberinya semangat, serta mengingatkannya akan Tuhan. Padahal ia dan Luna baru saja saling kenal. Setelah mendapatkan persetujuan dari Citra, keduanya pun bergegas pergi menuju tempat tujuan. Sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari taman. Luna hanya perlu membelokkan mobilnya satu kali ke arah kanan, kemudian mengemudikannya selama beberapa menit. “Yey, sampe. Yuk, Mbak, kita turun,” ajak Luna setelah selesai memarkirkan mobilnya di halaman masjid. Namun yang terjadi setelahnya, bukannya ikut turun dari mobil seperti ajakan Luna barusan, Citra justru tak melakukan pergerakan sama sekali. Masih setia duduk di kursi penumpang depan. Mengetahui itu, Luna mengerutkan keningnya heran. “Lho? Kok Mbak nggak ikut turun? Lagi datang bulan, ya?” tebak Luna karena hanya itu alasan yang menurutnya paling masuk akal di balik tidak turunnya Citra dari dalam mobilnya. “Mbak lagi nggak datang bulan sih sebenernya. Tapi Mbak kayaknya nunggu di sini aja deh, Dek. Kamu aja yang masuk,” tolak Citra secara halus. “Soal mukena ada banyak kok, Mbak, di dalem. Aku juga nggak bawa.” Luna berusaha untuk kembali menebak, dan membujuk Citra agar ikut turun. Tapi tetap saja. Citra masih tak bergerak dari tempat duduknya. “Hehe, bukan soal itu kok. Seriusan deh. Mbak lebih baik tunggu di sini aja.” Mendengar jawaban dari Citra, Luna justru semakin dibuat tak mengerti. Kalau tidak sedang kedatangan tamu bulanan, bukan juga dikarenakan tidak membawa mukena, lalu karena apa kalau begitu? “Kenapa nggak ikut shalat aja, Mbak? Biar sekalian gitu maksudnya. Soalnya kalau nunggu sampe di penginapan dulu takutnya udah keburu isya,” ucap Luna memberi saran. “Mmm, sebenernya Mbak malu mau bilang ini sama kamu. Mbak.. Mbak udah lupa tata cara shalat itu ngapain aja. Surat-surat yang harus dibaca aja Mbak udah nggak inget deh kayaknya. Soal wudhu juga sama. Dan lagi, Mbak sebenarnya merasa nggak pantas untuk masuk ke dalam. Ke dalam rumah Allah. Mbak udah terlalu lama meninggalkan perintah-Nya.” Luna menerbitkan senyuman manisnya setelah beberapa saat didera kebingungan. “Ternyata itu alasannya,” ucapnya dalam hati. “Mbak nggak perlu malu sama aku. Nanti aku bantu ya? Kita lakukan semuanya sama-sama. Dan soal ucapan Mbak yang terakhir itu, Mbak nggak boleh bilang seperti itu. Tidak ada kata terlambat, Mbak, untuk kembali, selama kita masih bernapas. Apalagi kalau kita betul-betul serius untuk bertaubat dan telah menyesali kesalahan yang telah kita perbuat. Allah itu Maha Pemaaf. Maha Pengampun.. Kita masuk ke dalem bareng-bareng ya, Mbak?” Dan betapa bersyukurnya Luna saat dilihatnya Citra menganggukkan kepalanya mantap, diiringi dengan setetes air mata yang mengalir melewati pipinya. “Alhamdulillah. Mari, Mbak.” Luna betul-betul memegang ucapannya. Setelah Citra turun dari mobilnya, Luna langsung mengajaknya menuju tempat berwudhu. Membantu mengingatkan Citra tentang tata cara berwudhu yang baik dan benar. Dilanjutkan dengan tata cara melaksanakan shalat, yang kemudian langsung dipraktikkan secara berjamaah bersama imam. “Ya Allah.. Hamba memohon maaf kepada-Mu. Hamba dulu terlalu sombong hingga abai akan perintah - perintahMu. Namun kini, bismillah.. Hamba ingin kembali ya Allah.. Kembali menjadi hamba-Mu yang taat. Yang senantiasa menjalankan setiap perintah-Mu, serta menjauhi segala hal yang Engkau larang. Hamba betul-betul bertobat ya Allah. Hamba menyesal telah memilih untuk jauh dari-Mu. Hamba mohon.. Terimalah taubat hamba, dan ampunilah segala dosa-dosa hamba, Yaa Allah.. Yaa Ghafur.. Yang Maha Pengampun..” “Ya Allah.. Hamba juga ingin berterima kasih kepada-Mu. Terima kasih karena Engkau telah mengirimkan seorang gadis cantik nan baik hati kepada hamba. Yang dengan izin serta bantuan dari-Mu, dia telah membantuku lolos dari laki-laki itu. Bahkan telah mengingatkanku akan diri-Mu. Mengingatkanku agar aku segera kembali berada di jalan-Mu. Sungguh, Engkau sangat baik kepada hamba. Terima kasih ya, Allah..” Doa Citra setelah ia menunaikan kewajiban shalatnya, dengan derai air mata yang mengalir deras. “Yuk, Mbak, kita ke penginapan sekarang. Aku barusan cari di internet ternyata di daerah deket sini ada penginapan. Aku liat review-nya juga bagus-bagus. Penilainnya juga oke.” *** Setelah mengantarkan Mbak Citra ke penginapan, Luna langsung tancap gas menuju cafe, tempatnya dengan Ana dan Clarissa membuat janji. Sesampainya di sana, Luna langsung mengedarkan pandangan matanya ke segala penjuru cafe. Mencari keberadaan kedua sahabatnya. Namun entah kenapa hasilnya nihil. Luna tak menemukan keberadaan mereka. “Apa mereka masih belum sampe ya? Tapi masa sih. Perasaan tadi si Clarissa janjinya bakal langsung datang kalau udah siap. Apa jangan-jangan mereka nggak jadi dateng lagi? Kalau iya awas aja!” dumelnya dalam hati, seraya kembali mengedarkan pandangan matanya ke segala penjuru cafe. Siapa tahu ia saja yang kurang teliti. Padahal dua orang yang dicari sudah datang sejak tadi. Namun, “beneran nggak ada coba. Mereka kok nggak ngasih kabar apa-apa sih?!” ternyata mereka memang belum datang. “Selamat malam, Mbak Luna,” sapa seorang waiters cantik dari arah belakang tubuhnya. Membuat Luna seketika membalikkan badan untuk menyapanya. “Hai.. cafe sekarang rame ya.” “Iya, Mbak, alhamdulillah. Oh ya, Mbak Luna dari tadi celingak celinguk di sini pasti lagi cari temen-temennya ya?” tebak waiters cantik itu. “Kok tau? Iya nih, aku emang lagi nyari mereka. Kamu liat?” Waiters cantik itu menganggukkan kepalanya singkat seraya tersenyum manis ke arah Luna. “Bukan liat lagi, Mbak. Tadi bahkan kita sempet ngobrol sebentar pas mereka pesan. Mereka masih pada di mushola, Mbak. Mbak Luna tunggu aja di mejanya. Letak mejanya yang nomor tujuh. Itu yang deket jendela.” “Syukurlah.. Aku kira mereka nggak jadi dateng. Oke deh. Aku tunggu mereka di sana. Makasih ya udah ngasih tau aku.” “Hehe. Sama-sama, Mbak. Ya udah aku mau lanjut kerja lagi.” Pamitnya, bersamaan dengan Luna yang melangkahkan kakinya menuju meja nomor tujuh. Tak tahu harus melakukan apa selama masa menanti kedatangan kedua sahabatnya dari mushola, tanpa sadar pikirannya sudah melanglang buana ke mana-mana. Luna melamun.. “Kayaknya keputusan aku untuk nggak percaya sama yang namanya laki-laki dan cinta adalah keputusan yang tepat deh. Nggak Ayah, nggak laki-laki itu, semuanya sama. Laki-laki emang jahat! Dan cinta, terlalu membutakan!” ucapnya dalam hati. Awalnya Luna sudah ingin melunak. Mencoba untuk memikirkan ulang terkait keputusannya yang tidak akan pernah menjalin hubungan dengan yang namanya laki-laki, apalagi menikah. Mengingat betapa inginnya sang Mama melihat dirinya memiliki pasangan hidup, hingga menangis bahkan sangat merasa bersalah atas kejadian pahit di masa lalu. Tapi setelah melihat kejadian tadi. Betapa tempramental serta kasarnya laki-laki itu kepada Citra. Juga dari apa yang Citra ceritakan kepadanya. Menurutnya laki-laki itu semuanya saja. Bukannya menyayangi dan menghormati wanita, tapi justru menyakiti mereka. Entah itu dengan berselingkuh, berkata kasar, bahkan berlaku kasar dengan menggunakan tangan. Dan cinta.. Cerita sang Mama juga Citra juga menyadarkannya kalau ternyata cinta itu membuat para wanita sengsara. Bukan mendapatkan kebahagiaan seperti apa yang digembor-gemborkan banyak orang. “Dor!” ucap seseorang yang berniat untuk mengagetkan Luna dari arah belakang, yang meskipun terdengar pelan berhasil membuat Luna terperanjat kaget luar biasa. “Astaghfirullah, Ana! Kaget tau!” “Lagian kamu ngelamun sih! Lagi ngelamunin apaan hmm? Ooo, jangan-jangan lagi ngelamunin cowok ya?” “Jangan sok tau! Kalian kok lama banget sih? Ketiduran di mushola atau gimana?” Dari pada harus menceritakan apa yang baru saja ia lamunkan, Luna lebih memilih untuk mengubah arah pembicaraan. “Kamu, Lun! Kenapa harus negative thingking sih? Kenapa nggak nebaknya kita itu kalau selesai shalat doanya khusyu’ dan panjang, dzikirnya juga begitu. Yang baik-baiklah pokoknya. Ini kok malah nebaknya kita ketiduran sih?! Emang kita keliatannya kayak muka bantal apa?!” “Kalau Clarissa sih mungkin aja dia doa dan dzikirnya panjang. Kalau kamu sih aku nggak kebayang. Susah kayaknya buat berbaik sangka sama kamu kalau soal ini. wkwk.” “Jahat kali kamu ini!" ucap Luna yang diakhiri dengan mencemberutkan kedua daun bibirnya. "Wkwk Udahan yuk. Kita langsung ke pembahasan intinya aja biar nggak kemaleman. Jadi tujuan kamu ngajak kita ketemuan di sini ada apa, Na?" tanya Luna seraya menatap penasaran ke arah Ana. "Soal Rayhan. Katanya kalian mau bantuin aku supaya bisa deket sama dia?" tanya Ana semangat seraya menatap sahabat-sahabatnya dengan penuh antusias. "Heran deh sama ini anak. Kenapa bisa sebucin ini ya dia sama Rayhan? Aku harap kamu tidak akan terluka, Na," ucap Luna dalam hati seraya menatap dalam Ana yang berada di seberang tempat duduknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN