11. Difitnah Calon Istri

1640 Kata
Gadis itu pun terkesiap dengan mulutnya yang ternganga saat kakeknya mengatakan jika dirinyalah penyebab masalah besar ini. “Apa? Jadi maksud Ayah, Rheana yang melakukan ini semua?” tanya Anissa dengan penasaran. “Iya, Anissa. Anak kamu ini yang sudah menyabotase calon suaminya sendiri.” Hartanu pun melirik cucunya sendiri yang tampak sangat gugup. Gadis itu pun menggeleng dengan melambaikan tangannya. Mulutnya pun mendadak gagap. “Bu—bukan kok, Bun. Kek, masa Kakek tega sih fitnah cucu Kakek sendiri? Jelas-jelas dia yang maling, kan duitnya juga ada di rekening dia semua,” elak Rheana. Refal pun menatap anak gadisnya dengan tatapan tajam. Mati, kenapa Kakek sampai tahu kalau itu aku penyebabnya? Duh, gimana ini jangan sampai ketahuan, batin Rheana dengan panik. “A—ayah, apa yang dikatakan Kakek ini bohong. Aku mana mungkin melakukan hal itu.” Gadis itu pun meraih salah satu tangan ayahnya. “Ayah lebih percaya dengan aku, kan?” “Refal, kamu bisa lihat video ini.” Hartanu pun memberikan ponsel pribadinya. Refal dan Anissa pun melihat isi video yang jelas Rheana sendiri yang sedang mentransfer ke rekening milik dokter Ari. Mereka pun terkejut melihat putrinya yang sudah bertindak di luar nalar. Bahkan, secara tidak sadar putrinya itu melakukan tindakan yang sangat dilarang. Dan mungkin, jika sang korban tidak menerima bisa menuntutnya. Gadis itu pun menunduk. Dia sangat takut, jika rencana dia yang diberikan oleh asisten kerjanya akan berakhir di sini. “Rheana, sini kamu,” pinta Refal dengan nada yang masih netral. Dia berusaha untuk tidak meluapkan amarahnya saat itu juga. Rasanya, Refal begitu bosan menasihati anak pembangkanya yang satu ini. Melihat Rheana yang tidak bergerak untuk melangkah menuju ke arah ayahnya. Refal pun sampai mengeluarkan suara oktafnya. “RHEANA, AYAH BILANG SINI!” Kelopak mata gadis itu pun terangkat dengan sempurna. Dia pun mendongak begitu gugup terlebih wajah kedua orang tuanya sangat terlihat murka. “I—iya, Ayah.” Refal pun mengambil ponsel milik mertuanya itu. “Lihat ini!” Rheana pun meraih ponsel itu. Dia tidak menyangka, bahkan videonya saat dia menyabotase begitu dekat. Padahal, dia sudah pastikan jika cctv tak mampu menyorot layar begitu detail. Bahkan, suara dirinya yang sangat lirih pun cukup terdengar oleh mereka. “Hah? Gak mungkin,” lirihnya.” “Apanya yang gak mungkin? Jelas-jelas itu kamu yang lakuin masih mau ngelak?” tekan Refal. “Kakek maupun dengan Kakek Andro sudah memasang cctv di setiap dekat komputer sumber keuangan masing-masing usaha kami. Kakek khawatir orang-orang di luar sana bisa bertindak korupsi semaunya. Dan, setelah kami memasang alat sadap kamera terdekat di komputer sudah puluhan kali menangkap orang-orang korupsi dengan hukumannya adalah penjara,” ungkap Hartanu. Anissa pun sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya yang satu ini. “Rheana, Bunda benar-benar tidak menyangka dengan kamu. Apa sih salah dokter Ari sama kamu, sampai segitu teganya kamu memfitnah calon suamimu sendiri? Ternyata, selama ini Bunda sama Ayah membiarkan kamu melihat dunia, tapi apa kamu memilih pergaulan yang salah sampai kamu bertindak nekat seperti ini,” ungkap Anissa dengan rasa kecewa yang besar terhadap anak sulungnya. “Ayah sudah terlanjur menghubungi pihak berwajib. Jadi, kamu siap-siap aja ya menerima hukumannya,” ujar Refal yang semakin membuat gadis itu gemetar. Mendadak kaki Rheana begitu kaku dan susah digerakkan. Darahnya berdesir dengan cepat, jantungnya berdetak lebih cepat seakan dunianya hancur saat keluarganya tidak ada yang membela. Gadis itu pun meraih tangan ayahnya. “Yah, aku melakukan ini semua itu ada sebabnya. Please, jangan sampai aku dibawa polisi, Yah.” “Kamu itu sudah keterlaluan. Dokter Ari dan kami itu sudah membantu kamu. Tapi, kamu tetap saja menganggap kami ini remeh, Rheana! Sekarang, kamu biar tahu rasanya hidup di sana itu penuh dengan perjuangan. Ayah sudah kapok memberikan kata maaf untuk kamu!” Air mata dari pelupuknya itu pun jatuh yang semakin membasahi pipi merahnya. Dia pun bersimpuh kembali di depan kedua orang tuanya. Dia pun memegang kedua kaki ayahnya kembali persis seperti dia meminta maaf hari kemarin. “Ayah, aku gak mau dipenjara. Ayah gak mungkin kan melihat masa depan anaknya curam mendekam di sana? Ayah, tolong cabut tuntutan Ayah,” pinta Rheana dengan memohon. Anissa pun tak bisa berbuat apa-apa dengan keputusan suaminya. Namun, dia pun tidak tega melihat putrinya yang terus-menerus merengek ke ayahnya untuk mendapatkan satu kata maaf. Hal yang biasa Rheana lakukan, jika setelah melakukan kesalahan. Tindak mendapatkan respons dari ayahnya, gadis itu pun melirik ke arah ibu kandungnya. Dia pun bergeser yang memegang kaki ibunya. Gadis itu pun mendongak dengan air matanya yang sudah bercucuran melihat ibunya yang sangat tampak kecewa. “Bunda … bunda tolong bantuin aku biar ayah memaafkan aku. Aku melakukan ini karena ada sebabnya yang tidak mau dijodohkan sama dia, Bun.” Anissa pun hanya bisa menjawabnya dengan menggeleng. Dia pun ikut meneteskan air matanya. Rasanya menyesal terlalu memanjakan putri sulungnya itu. “Bunda … aku gak mau dipenjara. Bunda bilangin ke Ayah suruh cabut tuntutannya. Aku gak mau nanti teman-temanku tahu kalau aku ini akan jadi narapidana,” rengek Rheana yang sudah kewalahan meminta maaf dengan kedua orang tuanya. Tak selang lama kemudian, kedua polisi pun sudah mendatangi rumah Refal. Rheana pun sangat syok, jika dirinya akan segera dijemput oleh kedua orang yang paling dibenci sama orang penjahat. Gadis itu pun segera beranjak lalu memeluk ayahnya dengan kuat. Dia pun menangis tersedu-sedu di benak Refal. Hal yang selalu dia lakukan dan selalu berhasil mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. “Ayah, aku gak mau dibawa. Ayah, tolong maafkan aku. Aku janji gak bakalan lagi bertindak aneh-aneh.” “Ayah sudah capek dengan kebohongan dan kenakalan kamu itu. Ayah ingin kamu belajar supaya lebih menghargai orang, Rheana,” ucap Refal dengan lirih. Gadis itu pun menggeleng. Dia mendongak dengan melihat wajah ayahnya yang sangat datar bertanda kemarahan ayahnya telah di ujung tanduk tanpa ada toleransi. Tidak mendapatkan kasih dari ayahnya. Gadis itu pun melepaskan pelukannya lalu memeluk ibunya dengan paksa. Dia pun merengek ke dalam benak sang ibu. Sebagai seorang ibu, Anissa pun refleks sampai mengelus kepala anaknya. Dia pun tak kuasa menahan tangisnya lalu mencium ubun-ubun anaknya itu. “Bunda … tolongin aku. Bilangin ke Ayah biar cabut tuntutannya. Bunda gak bakalan tega kan melihat Rheana dibawa sama mereka?” Anissa pun menggeleng hal yang membuat gadis itu sedikit mengembangkan senyum. “Berarti, Bunda bakalan belain aku kan biar gak dibawa sama mereka?” Anissa menghapus air mata anaknya. “Maaf Nak, Bunda gak bisa bantuin kamu dalam hal ini. Semua keputusan ada di tangan ayah kamu.” Air mata gadis itu pun berderai kembali yang semakin banyak. “Bunda sekarang tega sama aku? Sekali ini saja, Bunda tolong bilangin ke Ayah.” Rheana meraih kedua tangan Anissa lalu mengecupnya. Tidak mendapatkan respons dari kedua orang tuanya. Gadis itu pun melangkah untuk bersimpuh di bawah kaki kakeknya. Sebab dia adalah sumber pencarian dari masalahnya. “Kek, maafkan aku. Kakek, Rheana mohon cabut tuntutan ini. Rheana janji gak bakalan aneh-aneh lagi. Kakek mau kan bilangin ke Ayah biar aku bebas dan bisa bantuin merawat Kakek,” rengeknya dengan meraih kedua tangan Hartanu. “Kakek bisa saja bantuin kamu, tapi rasanya satu juta kesalahan bahkan kamu selalu ulang kembali. Kami sebagai orang tua atasan kamu sudah bosan dengan kesalahan-kesalahan kamu itu. Tapi kamu tenang saja, cucu kesayangan kakek tetap akan menikah dengan lelaki pilihan kakek,” tutur Hartanu. Pupil Rheana pun terbuka lebar. “Jadi, Kakek maafin kesalahan Rheana?” “Walaupun begitu, kamu tetaplah cucu Kakek. Kakek tetap akan memaafkan kamu, Rheana.” Gadis itu pun beranjak lalu memeluk kakek tercintanya di atas kursi roda. “Tapi, semua keputusan ada di tangan Ayah kamu,” bisik Hartanu yang membuat nyali gadis itu menciut untuk meminta maaf kembali dengan ayahnya. Rheana pun melepaskan pelukannya. “Ayah bisa saja memaafkan kamu, Rheana,” ucap Refal dengan tegas. Gadis itu pun melirik ayahnya kembali. Dia pun melangkah lalu memeluk ayahnya kembali dengan santun. Dia merasa bayi dilahirkan kembali setelah usahanya maju untuk mendapatkan kata maaf dari keluarganya terlebih ayahnya. Rheana pun menatap kedua bola mata ayahnya dalam jarak yang dekat. “Ayah, beneran maafin Rheana?” “Ada syaratnya.” “A—apa syaratnya Ayah?” “Minta maaflah sama dokter Ari, dia kan yang sudah kamu fitnah!” “Tapi Ayah, Rhe—” “MINTA MAAF ATAU DIPENJARA!” Rheana pun mengangguk. Untuk saat ini, dia harus menurunkan egonya demi mendapatkan maaf dari kulkas tujuh pintunya daripada mendekam di jeruji besi. Dia pun berjalan mendekati dokter itu. “Dok, sa—saya minta maaf,” ucapnya dengan sangat terpaksa. “Minta maafnya yang benar. Kalau kamu gak ikhlas biar langsung dibawa sama polisi,” ujar Refal. Gadis itu pun menunduk di depan lelaki itu lalu menghela napas dengan pelan. Dia pun harus bisa merasakan kesabaran ini demi mendapatkan tempat aman. “Dok, segala kesalahan saya dengan dokter. Saya minta maaf yang sebesar-besarnya sampai menuduh dokter. Jujur, saya sangat menyesal dengan tindakan ini jika harus berurusan dengan jalur hukum. Apakah, dokter segan untuk memberikan maaf dengan saya?” Kalau saja kamu bukan dari anak orang yang sudah menolong kedua orang tuaku, kamu sudah kubiarkan mendekam di penjara, Rheana. Tapi gak apa-apa, jika kamu lebih memilih di penjara denganku, batin Ari. “Iya, saya memaafkan kesalahan kamu,” sahut Ari dengan netral. Gadis itu pun mendongak. “Sungguh? Dokter telah memaafkan saya?” Ari mengernyitkan dahi. “Iya, memangnya saya bercanda? Asal, ini tindakan kenakalan kamu yang terakhir sebab jika ada lagi, maka kamu harus menerima konsekuensi selanjutnya.” Rheana pun mengangguk. Dia pun melangkah ke ayahnya. “Ayah, berarti tuntutannya sudah dicabut kan? Rheana sudah bebas kan, Yah?” “Masih ada satu lagi, mulai besok selama satu minggu kamu yang menggantikan bibi untuk membersihkan semua rumah ini!” Kedua bola mata gadis itu pun hendak terlepas dari sarangnya. “Apa?” Dia tampak syok sebab itu bukan hal yang menjadi kebiasaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN