14. Napas Buatan

1291 Kata
Ari pun menerima surat itu yang isinya seluruh kegiatan bersih-bersih rumah. “Baik, Om.” Gadis itu pun memutar bola matanya dengan malas. “Ayah nih, posesif banget sih sama aku,” elaknya. “Ayah bukan posesif tapi care sama kamu. Udah, sekarang Ayah sama Bunda mau berangkat ke kantor.” Mereka pun bersalaman sebelum mereka berangkat kerja. Sementara di rumah tersisa Hartanu, Rheana dan dokter Ari. “Dok, saya mau berjemur setelah ini. Jadi, dokter bisa awasi Rheana.” “Mau saya antar, Kek?” “Nggak usah. Kakek bisa sendiri cari matahari.” Gadis itu pun berkacak pinggang. Dia sangat malas jika harus berduaan dengan calon suaminya itu. “Anda pasti senang kan, saya dihukum seperti ini?” celetuk Rheana. Dokter itu pun menaikan alisnya. “Ini salah Anda sendiri! Makanya, jadi orang gak usah main curang! Anda itu akan tetap saya nikahi seribu cara Anda gagalkan, maka seribu cara pula saya akan maju!” “Hai, mau Anda apa sih? Kalau cinta sama saya bilang, gak usah sok-sokan galak begini?” “Cinta? Bagi saya cinta itu nomor sekian! Sudah, saya akan menconteng dari setiap kegiatan apa yang kamu lakukan.” Rheana pun menarik kertas itu dari genggaman Ari. Kedua bola matanya ternganga melihat banyaknya aktivitas yang diajukan ayahnya. “Apa? Se—sebanyak ini?” “Gitu aja nyerah. Anak mamih banget gak bisa bersih-bersih,” sindir Ari. Gadis itu pun mengepalkan tangannya. “Aku bisa kok. Lihat aja, aku bisa menyelesaikan semua ini sebelum Ayah pulang!” “Ck, ya udah buktikan dong. Jangan cuma ngocehnya doang!” Dia pun memberikan secarik kertas itu. “Nih.” Hal yang pertama gadis itu kerjakan adalah menyapu lantai. Dia yang tak pernah membersihkan pun sampai membuat Ari ketawa sangat kaku sekadar menyapu yang sangat mudah baginya. Setelah itu, Rheana pun harus mengepel lantai. Ini lebih kocak lagi. Biasanya mengepel itu dari depan ke belakang, justru ini kebalikannya. “Kaku banget, mana ada ngepel dari belakang ke depan?” Gadis itu pun menyikap keringatnya. “Hai kulkas tujuh pintu! Bisa gak sih, Anda gak usah komentar! Untung aja saya masih mau menjalankan tugas ini!” “Ya udah kalau mau istirahat. Saya tinggal telepon, Om.” “Dasar, tukang ngadu!” Setelah mengepel. Gadis itu pun melanjutkan membersihkan hiasan rumah termasuk guci dan lain sebagainya sampai dia pun tak kuasa menahan bersinnya. Ari sebagai dokter pun paling risi melihat orang bersin. Dia pun mengambilkan tisu. “Nih.” Rheana mendongak lalu mengambil tisu itu segera. Dia pun memiliki ide jail untuk mengeluarkan ingusnya dengan keras. “Ih, jorok!” Rheana semakin keras mengeluarkan ingusnya, bahkan sudah habis pun dibuat-buat. Dia pun hendak memberikannya ke dokter itu. “Nih.” “Ck, buang sendirilah!” Dia pun hendak menempelkan di kemeja Ari. Namun, segera Ari tangkis membuat gadis itu kehilangan keseimbangannya sampai tisu itu jatuh sendiri. Ari pun dengan cepat menangkap tubuh gadis itu sebelum jatuh ke lantai. Kedua mata itu saling bertemu dalam kedekapan itu. Bahkan, Rheana tidak berkedip saat melihat bola mata Ari yang begitu tajam menatapnya. “Betah banget lihat saya? Kalau naksir bisa bahaya loh,” seloroh Ari. Dengan cepat gadis itu pun melepaskan pelukannya sampai akhirnya dia jatuh sendiri ke bawah. “Aduh,” keluhnya. Ari pun tertawa kecil melihat kerandoman calon istrinya. “Malah ketawa, bukannya dibantuin!” bentak Rheana. “Tadi kan saya sudah bantu, kamu malah sok-sokan bisa lepas dari saya? Kena karma kan?” Setelah itu, gadis itu pun mencari dokter itu. Namun, dia tidak melihat di tempat yang semula. Rheana pun pergi ke dapur untuk mengambil minum lalu mengumpat di bawah pohon samping kolam untuk beristirahat sebentar. Sebuah jepretan itu tampak nyata sampai membuat gadis itu terkesiap. “Dengan foto ini, besok hukumannya pasti ditambah,” ucap Ari. Gadis itu pun beranjak lalu berusaha mengambil ponsel lelaki itu. “Hapus nggak!” “Nggak! Saya akan kasih bukti ke Om, kalau kamu main ponsel sebelum semuanya selesai.” “Anda bisa gak sih gak usah jadi tukang ngadu! Saya ini lelah ingin istirahat!” “Istirahat boleh, tapi jangan main ponsel. Budek Anda, tadi ayah Anda sendiri yang bilang kan?” tekan Ari. Gadis itu pun menghela napas. “Ya udah aku mau lanjut, tapi hapus dulu fotonya.” “Lanjut bersihin kolam, kalau sudah bersih saya hapus.” “Ya udah, tapi janji ya.” “Hmm.” Rheana pun mengambil jaring daun untuk membersihkan kotoran di atas kolam renang. Dia pun berusaha untuk mengambil dedaunan yang jatuh hampir di tengah kolam. Bahkan, dia sampai mencondongkan badannya untuk mengambil dedaunan di tengah kolam favorit ayahnya. “Ih, susah banget sih.” Rheana menyeka keringatnya. Dia harus bisa membersihkan kolam favorit ayahnya yang lebih dalam dari kolam milik ibunya. Dari segi kriteria hukuman untuk hari ini membersihkan kolam adalah yang paling berat di antara yang lainnya. Dia pun melirik Ari yang sedang tertawa di dalam rumahnya saat melihat tingkahnya yang tidak bisa mendapatkan daun yang berada di tengah. “Dasar, dokter aneh! Awas aja ya, kalau udah nikah sama aku bakalan tak unyeng-unyeng!” gerutu Rheana. Gadis itu pun maju selangkah yang kini kakinya sudah mentok di garis pembatas. Dia pun lebih mencongkan tubuhnya sampai menggigit bibir untuk mendapatkan beberapa daun yang cukup lebar itu dengan serok daun. Namun, keseimbangan gadis itu pun roboh yang tak bisa mendapatkan daun itu sampai tercebur di kolam renang milik ayahnya. Sontak, Ari yang melihatnya pun sampai tertawa puas melihat Rheana tercebur di kolam tersebut. Gadis itu pun tidak bisa mengeluarkan kepalanya dari dalam air. Dia hanya bisa mengeluarkan kedua tangannya yang membuat Ari semakin aneh melihatnya. “Kok, gak keluar-keluar sih?” gumam Ari yang semakin tidak percaya. “Woy, gak usah sok perhatian gitu!” Gadis itu pun masih bergerak dengan cara yang sama. “Rheana, udah deh menepi sekarang!” Tangannya semakin tenggelam membuat lelaki itu semakin cemas. “Jangan-jangan dia …?” Lelaki itu pun segera berlari lalu menceburkan diri ke kolam renang sedalam dua meter untuk menarik gadis itu. “Rhe, bangun, Rhe.” Ari menepuk pipi gadis itu. Namun, tidak ada jawaban dari Rheana yang sudah pingsan. “Ya ampun, apa kamu gak bisa berenang, Rhe?” Ari pun menepikan diri lalu mengangkat tubuh gadis itu ke pembatas kolam. Dia semakin ketakutan dengan Rheana yang belum juga terbangun. Terlalu lama Ari menolongnya, sampai gadis itu susah mendapatkan oksigen di dalam. Dia pun menjambak rambutnya sendiri secara tidak sadar, dia telah melukai calon istrinya sendiri. Dia pun menekan denyut nadinya. Ari semakin panik saat tak menemukan denyut nadi gadis itu. “Rhe, bangun.” Dia menepuk-nepuk kedua pipinya. Gadis itu pun masih tidak sadarkan diri. Ari semakin panik bagaimana jika dia yang disalahkan sampai tidak becus mengawasinya. “Apa, aku bantu dia pakai napas buatan aja ya?” gumam Ari. Namun, dia tak pernah melakukan hal itu kepada pasien perempuan mana pun. Sungguh, hati Ari sangat bimbang jika sampai melakukan hal itu dengan perempuan yang masih belum dinikahi. Akan tetapi, keselamatan gadis itu lebih penting. “Rhe, maafkan aku ya jika melakukan ini denganmu. Hanya ini caraku untuk membantu kamu. Semoga saja, kamu tidak membenciku kelak,” ucap Ari. “Ya Tuhan, maafkan aku jika aku sampai lancang begini. Ibu sudah mengatakan padaku jangan melakukan hal ini dengan perempuan, tapi kali ini aku melanggar perintahmu, Bu.” “Rhe, aku calon suamimu. Aku siap dengan risiko apa pun yang kamu alami. Bahkan, aku siap menukarkan diri ini denganmu yang seperti ini.” Lelaki itu pun mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke wajah gadis itu yang masih pingsan. Dia pun dapat melihat semua aura wajah Rheana yang semakin memucat. Ari pun memejamkan matanya untuk memberikan napas buatan, agar dia tidak berpikir lebih jauh dengan gadis yang berada di depan wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN