04. Calon Suami Pengganti

1586 Kata
“Bunda, yang benar aja dia mau kerja di sini? Kenapa gak di rumah sakit kakek Andro aja?” tampik Rheana. “Udah deh, kamu gak usah ngatur-ngatur Bunda. Toh, ini juga kemauan kakek Hartanu. Kalau saja kinerja kamu bagus ngurus perusahaan Ayah, Bunda gak ikut turun tangan,” sahut Anissa dengan santai. Perempuan paruh baya itu pun melirik lelaki itu. “Dok, mari saya antar ke ruangan Ayah saya.” Lelaki itu pun melirik tajam ke arah gadis itu yang sedang menatapnya dengan sinis. “Ayo, Tante.” Rheana pun sampai mengepalkan kedua tangannya lalu tak sengaja kakinya menendang kaki meja. “Ah, sial! Kenapa juga si kulkas tujuh pintu kerja di sini sih? Berarti aku bakalan ketemu sama dia terus dong?” “Ih, jauh-jauh deh berteman sama mulut lemes. Untung aja tadi malam Ayah masih bisa memaafkan aku, kalau saja tidak sampai memaafkan aku bakalan untal tuh dokter!” Sore harinya, Ari pun sedang menghibur seorang kakek tua itu yang sudah berada di kursi roda dekat kolam renang. Dia mengajak ngobrol dan bercerita yang disambung dengan masa muda kakek Rheana yang selalu digeluti dengan dunia karier. Saat gadis itu sudah sampai terlebih dahulu, dia pun memiliki ide cerdik agar lelaki itu tidak betah kerja di rumahnya. Dia pun mengacak-acak kotak obat miliknya yang berada di meja roda. Dia pun menumpahkan bubur sisa kakeknya yang tidak habis dimakan. “Uh, mampus tuh dokter beresin semua barang ini. Bentar lagi paling bunda sama ayah pulang,” gumam Rheana yang perlahan naik ke atas tangga untuk bersih-bersih. Dan benar saja, gadis itu baru saja sampai di kamar terdengar kericuhan dari ibunya yang cerewet yang berduet dengan ayahnya. “Syukurin tuh dokter, emang enak aku kerjain!” Rheana yang tadinya ingin mandi pun mengurungkan niatnya untuk menaruh tasnya saja. Dia pun berpura-pura untuk menimbrung sedikit kericuhan itu. “Dok, kenapa gak diberesin dulu kalau mau ngobrol sama Kakek?” tanya Anissa. “Anissa, tadi pas kami tinggal ruangan ini masih bersih kok. Ayah yakin ya enggak, Dok?” Hartanu menambahkan. “Iya, Tante. Tapi, kenapa setelah kami tinggal jadi berantakan begini ya?” Seorang gadis yang berganti sandal saja menuruni anak tangga dengan santai. “Halah, itu paling kerjanya gak becus, Bunda. Tuh lihat aja masa kotor banget lantainya sampai bubur aja jatuh dari meja. Emang dia itu kerjanya gak bener. Atau jangan-jangan mau rampok ke rumah orang kaya lagi?” tuduh Rheana yang menatap lelaki itu dengan dingin. “Maaf, saya tidak ada niatan hal negatif seperti itu. Saya kerja di sini niatnya tulus untuk membantu kesembuhan kakek itu saja, Tante,” elak Ari. Kalau kamu mau bermain api denganku, akan aku layani sampai aku mendapatkan air untuk memadamkanmu, Rheana! gerutu Ari. Ari pun menganggap bahwa itu adalah ulah Rheana untuk menjatuhkan harga diri di depan keluarganya. “Sudah, Bun. Biar nanti bibi yang beresin. Dok, tunggu kami dulu ya mau bersih-bersih,” ujar Refal. “Baik, Om.” Ih, kok Ayah sama Bunda main iyain aja sih? Minimal dimarahin kek, curang banget giliran aku salah aja segudang emosi dituangkan di depan wajahku, batin Rheana. Dokter dingin itu pun sudah selesai tugas untuk hari ini. Dia pun berniat untuk segera pulang sebab sudah gumoh melihat tatapan Rheana yang membuatnya emosi. “Dok, mau ke mana?” tanya Anissa. “Saya mau pulang aja, Tante.” “Lho, papah sama mamah kamu kan mau ke sini. Sudah, pulangnya nanti saja sama mereka.” Ari pun mengerutkan dahi, dia tidak tahu-menahu orang tuanya hendak bersilaturahmi ke tempat kerjanya itu. “Memangnya, ada perlu apa ya, Tante?” “Sudah, kamu duduk aja. Nanti kita tunggu orang tua kamu ke sini ya.” Ari pun terpaksa duduk di deretan meja makan itu. Awalnya dia sangat menghindari makan malam dengan keluarga Anissa, bukan karena dia tidak suka. Namun, dia sangat ilfeel jika makan berhadapan dengan Rheana yang pasti selalu membawa masalah entah kecil ataupun besar. Beberapa menit kemudian, akhirnya orang tua Ari pun sudah sampai yang langsung segera disambut Anissa jika sudah ada sahabatnya bermain ke rumahnya. Mereka pun duduk yang tak jauh dari putra tunggalnya yang terlihat sangat dingin seperti enggan untuk menyambut orang tuanya. “Ari, kamu kenapa, Nak? Kok, wajah kamu pucat sekali?” Imel mengangkat wajah putra tunggalnya itu. “Ih, dasar anak mamih,” gumamnya sampai membuat telinga Ari memanas. Ingin sekali air hangat yang ada di depannya dia siram ke wajah gadis itu. Namun, hal itu tidak mungkin Ari lakukan di depan keluarga besarnya. “I—itu Bu, aku gak apa-apa kok,” sahut Ari dengan gugup, jika menjadi bahan pusat perhatian. “Oh iya, bagaimana kalau langsung dikatakan saja pokok pembicaraan kali ini?” sambung Hartanu kakek dari Rheana. Ari dan Rheana pun merasa terpanggil dan kaget ada apa dengan pokok pembicaraan sampai kedua orang tua mereka harus berhadapan? “Ya sudah, sebelum makan malam dimulai. Ada yang Bunda dan Ayah katakan ke kamu, Rheana.” Anissa menggenggam tangan putri sulungnya itu. Gadis itu pun menyipitkan matanya. Dia menaruh curiga besar dengan ibunya. “Bun, mau bicara apa sih? Kok, kayaknya horor banget tatapannya.” Perempuan paruh baya itu pun menghela napas sebentar lalu menatap semua orang yang duduk di meja makan. “Jadi, kedatangan ibu dan ayahnya dokter Ari ke sini ada niatan untuk menjodohkan kalian. Rheana, kamu mau kan nikah sama dokter Ari? Biar keluarga kita semakin erat tali silaturahminya, kamu mau kan, Sayang?” Anissa mengelus pipi anaknya itu. Kedua bola mata gadis itu pun membulat. “Apa? Bun, yang benar aja main jodoh-jodohin aku sama dia? Pokoknya, aku gak setuju dijodohin sama duda kulkas tujuh pintu!” Gadis itu pun berdiri tiba-tiba yang menyerocos dengan nada yang tinggi. “Rheana, jaga omongan kamu ya. Duduk sekarang juga!” pinta Refal. Dia sangat malu dengan tingkah putrinya walaupun dengan anak asisten kerjanya. Bibirnya saling menggigit dengan kedua tangannya yang mengepal, akhirnya gadis itu pun duduk kembali sesuai instruksi dari ayahnya. “Tante Maaf, kenapa bisa ada perjodohan ya? Ini maksudnya apa?” tanya Ari dengan segudang rasa penasarannya. Ari pun tak kalah terkejutnya di depan mereka. Walaupun begitu, dia pun berusaha untuk menjaga wibawanya sebagai seorang dokter dan lelaki yang sangat cool. “Maaf Dok, jadi kan kemarin dokter sudah tahu bahwa perjodohan Rheana dengan Vito dibatalkan. Dokter tahu sendiri kan, anak saya mau dibawa ke hotel oleh sembarang laki-laki? Nah, niat kami para orang tua itu setuju jika kalian itu menikah,” sahut Anissa. “Dok, saya sebagai Ayah dari Rheana sangat khawatir dengan pergaulannya. Keluarga kami sudah mengetahui, bahwa bulan depan Rheana akan menikah dan kami sudah menyiapkan semuanya. Sayang sekali jika dibatalkan, dan saya rasa dokter sangat cocok untuk menjadikan peran saya untuk mendidik Rheana,” ungkap Refal. Dokter itu pun menoleh ke arah kedua orang tuanya yang mengangguknya dengan perlahan untuk menikah dengan gadis yang selalu membuatnya marah itu. “Bagaimana Dok, mau kan nikah sama anak, Om?” tanya Refal dengan penuh harapan. Ari pun memejamkan matanya lalu menghembuskan napas dengan perlahan. Dua detik kemudian, lelaki itu pun mengangguknya. “Iya, Om. Sa—saya mau nikah sama anak Om.” Dia sekilas melirik gadis itu yang menatapnya dengan tajam. “Apa? Nggak, Rheana gak mau nikah sama dia, Yah.” Gadis itu pun menggoyang-goyangkan lengan Refal yang sama sekali tidak meresponnya. “Rhe, dokter Ari itu lelaki yang sangat berwibawa dan disiplin. Kakek juga sangat setuju jika kalian menikah dan kita bisa menyambung tali silaturahmi sejak dulu,” tutur Hartanu. Kedua tangan gadis itu pun menggebrak meja dengan keras. Dia memang anak paling keras kepala yang tidak suka diatur, sehingga membuat dunianya sangat bebas. “Pokoknya, Rheana mau mogok makan! Sebelum kalian membatalkan perjodohan ini!” Gadis itu pun enyah dari meja makan lalu segera naik ke atas kamarnya. Anissa yang hendak mengejar pun dicegah tangannya oleh Refal. “Sayang, biarin aja. Tuh anak emang gak bisa diajak ngomong baik-baik.” Pagi harinya, Ari pun sudah berada di rumah itu kembali untuk mengerjakan tugasnya sebagai dokter spesial kakek Hartanu. Rheana yang melihat Ari sedang menyiapkan obat dan sarapan itu pun menarik jas putih Ari menuju ke belakang rumahnya untuk bicara empat mata. “Lepasin gak!” elak Ari. Gadis itu pun memberikan ponsel miliknya. “Nih!” Dokter itu pun menyipitkan matanya. “Apaan ini?” “Matamu buta? Ini handphone!” “Ck, tanpa Anda kasih tahu saya juga paham itu handphone. Maksudnya apa, Anda menyodorkan alat itu ke saya?” “Tulis nominal yang Anda mau dengan syarat harus pindah kerja dan membatalkan perjodohan ini!” pintanya dengan memaksa. Ari sampai berkacak pinggang yang menganggap gadis itu dengan remeh. “Uang dari orang tua aja bangga? Ingat ya, saya tidak akan membatalkan perjodohan ini. Jadi, simpan saja uang dari orang tuamu itu!” “Hai, gak ngaca? Kamu itu lelaki duda yang usianya di bawah saya yang masih gadis. Saya dan kamu itu tidak pantas bersatu di dalam ikatan pernikahan. Jadi, jangan mimpi jadi pendamping hidup saya kulkas tujuh pintu!” bentak Rheana. “Gadis? Yakin?” “Ck, Anda gak percaya dengan saya?” “Pergaulan kamu itu sudah bebas, jadi saya tidak percaya kalau kamu masih gadis,” elak Ari. “Hai, walaupun pergaulan saya bebas tapi saya itu perempuan terhormat!” “Oh iya? Akan saya buktikan nanti.” Ari pun meninggalkan gadis itu yang memasang wajah jengkel. Rheana menggenggam kedua tangannya dengan gemas. “Dasar, duda m***m!” “Duh, kenapa aku jadi takut gini ya? Apa jangan-jangan duda itu mau nikahin aku, karena ada maunya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN