Aku masih hidup. Aku masih hidup. Aku masih hidup.
Aku menatap ngeri pada pemandangan di hadapanku (atau mungkin di bawah). Kepalaku pusing dan perutku terasa perih, salah satunya karena aku kelaparan, tapi penyebab utamanya adalah tiga ikat pinggang kulit yang melilit tubuhku ini.
Aku menutup mataku, bernapas sepelan mungkin. Tidak berani bicara, tidak berani bergerak. Sedikit saja aku bergerak, maka sudah dipastikan Wynn, yang saat ini entah ada di mana, hanya akan menemukan mayatku saat dia kembali, hanya jika dia kembali.
Omong-omong soal Wynn, ke mana pria itu saat aku tergantung di pohon seperti ini?
Pagi ini aku bangun hanya untuk mendapati diriku terbalik dari posisi semula. Tergantung di atas pohon, menghadap gravitasi, hanya dengan ikat pinggang yang melilit badanku. Oh, jangan lupakan serigala-serigala kelaparan yang menatapku dengan liur berjatuhan di bawah sana.
Benar-benar pagi yang indah untuk mengawali hari yang berat.
Aku mendengar langkah terburu-buru. Sepertinya itu Wynn, karena suara langkahnya ganjil seperti menyeret sebelah kaki.
Suara itu semakin mendekat seiring dengan semakin mengendurnya lilitan ikat pinggang di badanku. Aku meringis kecil, menggigit bibirku agar tak berteriak keras.
Yang terdengar selanjutnya hanya lolongan serigala dan suara kaki mereka yang menjauh. Entah apa yang dilakukan Wynn sampai bisa mengusir hewan-hewan liar itu.
“Hei, Bocah! Sha-Shawn! Uh, Shuui! Kenapa kau menutup mata begitu, Bodoh?!”
Oh, perhatian sekali. Hal yang pertama dia lakukan adalah menanyakan kenapa si bodoh ini menutup matanya. Manisnya.
“Kaupikir apa? Semedi?! Aku ketakutan, Wynn. Cepat turunkan aku!” desisku, terlalu takut untuk berteriak.
Aku tak yakin dia mendengarnya, tapi dia malah tertawa keras-keras dengan nada yang sangat mengejek, membuatku semakin kesal.
“Oh, baik sekali kau lebih memilih menertawakanku daripada membantuku turun,” desisku sarkastis. Sepertinya aku tertular kebiasaan Mr. Sarkasme yang sedang berbahagia di bawah sana.
“Kau lucu sekali. Ya ampun, tunggu sampai senior melihat ini.”
Aku mendelik kesal. “Senang rasanya mengetahui penderitaanku membuat seseorang bahagia.”
Cih, dasar rambut pirang menyebalkan. Turunkan aku sekarang juga!
Mendadak terdengar suara berkeretak, ikat pinggang semakin mengendur dan aku merasakan gravitasi menarikku ke titik terendahnya.
Jatuh.
Aku jatuh.
“Aw.”
“Sakit—”
“Bangun! Aku ... tidak ... bisa ber ... napas.”
Oh. Aku jatuh di atas Wynn. Pantas saja rasanya tidak semenyakitkan seperti terakhir kali aku jatuh. Meskipun tetap saja sakit. Omong-omong, kenapa ini jadi seperti adegan dalam drama picisan?
“Hoi! Bangun!”
Aku menengadah, yang kulihat hanya dagu dan lehernya yang basah oleh keringat. Aku baru tahu dia punya leher yang—ehem—lumayan seksi. Grrr! Apa yang kupikirkan?!
“Aku tidak bisa bergerak. Seseorang yang sangat genius mengikat tanganku karena khawatir aku akan melarikan diri.”
“Uh, sial.” Dia mengumpat dalam kalimat yang sulit kumengerti, bergerak-gerak mencoba untuk bangun, tapi akhirnya menyerah karena berat tubuhku yang menimpanya. “Punggungku retak. Pinggangku patah. Kepalaku remuk. Leherku sakit. Badanku—”
“Berhenti mengabsen apa yang kaurasakan! Aku juga jatuh, aku tahu bagaimana rasanya.”
“Kaujatuh di atas tubuhku, rasanya tidak akan sesakit apa yang kurasakan.”
“Aku jatuh dari lubang hitam dua hari yang lalu, aku masih ingat bagaimana rasanya. Seharusnya tengkorakku pecah atau paling tidak mengalami gegar otak parah.”
“Ya, kau beruntung saat itu ada senior yang menyembuhkanmu.”
“Elgan menyembuhkanku?” tanyaku heran.
“Hmm,” gumam Wynn, “kau tidak sadarkan diri dua hari penuh.”
Sejujurnya, itu kenyataan yang terasa menggelikan, aku yakin betul seperti habis bangun dari tidur singkat.
Kali selanjutnya, Wynn hanya geming, masih telentang dengan aku di atasnya. Jangan berpikir macam-macam! Posisi dan suasananya tidak seromantis yang kalian bayangkan.
Dalam keheningan yang menyenangkan, aku bisa mendengar irama jantung Wynn yang sedikit aneh. Suara dan tempo detaknya berbeda dengan manusia pada umumnya, membuatku mengernyit bingung dan keheranan.
Aroma hutan dan rumput basah berpadu dengan aroma tubuh Wynn, bercampur menjadi wangi yang sejuk dan memabukkan. Sesuatu yang lain tercium seperti aroma rumput setelah terguyur hujan. Menjadi candu dan memaksaku untuk terus menghirupnya. Desahan napas Wynn yang teratur membuatku berpikir dia tertidur.
“Aku tidak tidur,” katanya pelan.
Aku beringsut bangun, susah payah sampai terjatuh di sampingnya. Aku menatap wajahnya, matanya tertutup, aku akan berpikir dia benar-benar tidur kalau saja dia tidak mengatakan apa pun tadi.
Aku ingat ingin bertanya apa dia bisa baca pikiran atau tidak, rasanya mengerikan saat dia menjawab pikiranku.
“Pikiran tidak bisa dibaca, jadi tidak. Aku tidak bisa membaca pikiranmu.”
Tidak bisa katamu? Lalu yang tadi itu apa?
“Kau itu ekspresif dan mudah ditebak, segala hal terbaca dengan jelas dari mata dan wajahmu.”
Kau benar-benar mengerikan. Padahal kau kan tidak sedang melihat mataku.
“....”
Hening.
Dia tak mengatakan apa pun. Jadi yang tadi itu hanya bualannya, 'kan?
Masih hening.
Hei, Wynn! Kau kehilangan kemampuanmu membaca mataku?
Hen—
“Ayo mulai bergerak.”
Wynn berusaha bangun, sedikit terhuyung ketika ia berdiri. Berdecak pelan, ia kembali berjongkok untuk melepaskan sisa ikat pinggang dan daun yang masih menempel di badanku.
“Bagus sekali, bocah. Kau merusak ikat pinggang yang kubeli dengan harga mahal tahun lalu. Sekarang di mana aku bisa menyampirkan senjataku?” Dia menggerutu.
Aku bangkit berdiri, menatapnya yang sedang berkacak pinggang sembari melihat entah apa di kejauhan sana.
“Aku tidak minta kau melilitkan ikat pinggang itu padaku. Dan bicara soal 'menyampirkan senjata', kau sama sekali tidak punya senjata yang bisa disampirkan. Atau kau berencana untuk membuat pedang-pedangan dari ranting pohon, hah?”
“cerewet.” Dia melengos pergi, menjauh ke arah timur. Berkali-kali kulihat ia terhuyung tapi kembali berjalan dengan mimik tubuh menahan sakit. Langkahnya semakin terlihat kaku dan aneh.
Mengabaikan rasa sakit, aku berlari menyejajari langkahnya, menatapnya yang masih memandang lurus ke depan dan meniti jalan. “Kakimu, kenapa dengan kakimu?”
Aku melihat Wynn memutar matanya, lantas menggerutu pelan.”Jangan bilang kaulupa kejadian beberapa menit yang lalu,” tukasnya sebal.
“Tidak, pasti bukan hanya karena itu,” bantahku. “Kakimu sudah terlihat pincang sejak pertama aku melihatmu di kabin. Apa itu karena terlalu lama menggendongku? Apa aku seberat itu sampai bisa membuatmu pincang?”
“Ya, kau berat. Sangat berat, rasanya seperti sedang menggendong troll,” jawabnya, masih menolak menatapku.
Menyesal aku bertanya, aku merasa terhina sekarang. “Aku serius ingin tahu!”
“Kaupikir aku tidak serius memberitahumu?”
Aku menyipitkan mata, memandangnya curiga bercampur sebal. “Aku tahu aku tidak seberat itu,” mataku bergerak menyelisik sosok Wynn dari atas sampai bawah, “dan aku yakin kau tidak selemah itu.”
Dia menatapku sebentar sebelum membuang muka sembari mendengus. “Perjalanan menuju kabin tidak semulus yang Senior perkirakan.”
Oh, jadi mereka sempat bertemu sesuatu yang menghambat perjalanan. Dan sepertinya sesuatu itulah yang membuat kaki Wynn pincang. Ya ampun, aku merasa bersalah sekarang. Meskipun aku tidak yakin mengapa harus merasa bersalah atas sesuatu yang bahkan tidak kuketahui.
“Kau lapar?” tanyanya kemudian.
Aku mengangguk, dia merogoh saku bajunya, mengeluarkan beberapa butir buah berry dan menyodorkannya ke hadapanku. Aku menatap semua berry itu ragu.
“Apa itu beracun?”
Wynn menatapku sekilas, desahan lelah lolos dari bibirnya. Dia mengambil sebutir berry dan memasukkan buah itu ke dalam mulutnya, mengunyahnya. Lantas sepasang irisnya menatapku tersinggung. “Apa aku terlihat seperti orang yang sedang keracunan?”
Aku mengangkat bahu, mengambil beberapa buah dan melahapnya. Rasa manis dan menyegarkan meleleh begitu berry itu masuk ke mulutku. Rasanya berbeda dengan berry yang pernah kumakan di rumah, yang ini lebih manis, segar dan ada rasa lain yang membuatku ingin terus memakannya.
Dan itulah yang kulakukan, memakan beberapa buah lagi, memberengut ketika tak ada yang tersisa. Begitu semua berry itu berhasil kutelan, rasa lapar dan hausku menguap begitu saja. Aku berhenti berjalan dan menatap Wynn yang balik menatapku dengan ekspresi bertanya. Sedetik kemudian dia memutar matanya dan kembali berjalan.
“Aku tidak memantrainya atau membuatnya dengan sihir apa pun,” katanya.
Dia sungguh-sungguh saat berkata bisa tahu apa yang kupikirkan hanya dengan menatap mataku. Mengerikan. Mungkin setelah ini aku tidak usah memikirkan apa pun lagi.
Wynn terkekeh, sedikit mendengus ketika ia berkata, “Jangan konyol! Banyak berpikir saja kau masih bodoh, apalagi kalau tidak memikirkan apa pun.”
Oh, Tuhan. Bolehkah aku memukul kepalanya?
Wynn harus bersyukur aku masih mengingat sopan santun pada orang yang lebih tua jadi aku hanya memukul lengannya saja. Meskipun begitu, dia mengaduh kesakitan (yang kuyakini pura-pura) hanya untuk mengejekku. Pih!
“Itu buah yang hanya bisa kautemukan di Terra,” ucapnya.
“Terra?”
Wynn berdecak. “Apa saja yang kaupelajari di tempat yang kalian sebut sekolah itu sampai Terra saja kau tidak tahu?”
“Aku tahu apa itu Terra, yang aku tanyakan adalah tempat mana yang kausebut Terra!?”
“Lihat sekelilingmu!”
Aku menurut, yang kulihat hanya pepohonan dan dedaunan yang berserakan di atas tanah.
“Aku pernah bilang tempat ini mirip dengan Bumi, dan Terra adalah nama Latin dari Bumi. Karena kami masih melakukan penelitian untuk tahu nama dari tempat yang kami tinggali ini, jadi untuk sementara mari kita panggil dunia ini dengan sebutan Terra.”
Aku mengangguk setuju, sedikit heran saat dia bilang 'kami masih tidak tahu nama tempat yang kami tinggali'. Aneh, 'kan? Tinggal di tempat yang mereka tidak tahu namanya.
“Mm, masuk akal,” ucapku. “Omong-omong, dari mana kau belajar bahasa Latin?”
“Aku harus tahu beberapa hal dari duniamu agar tidak tampak sebodoh dirimu, bukan?”
Pria sialan.
Perjalanan selanjutnya kami lalui dalam keheningan. Sibuk dengan pikiran masing-masing, aku bahkan tidak tahu sudah berapa kilometer jarak yang kami tempuh.
Aku hanya tahu hari menjelang sore ketika kami mulai kepayahan, kakiku mati rasa dan paru-paruku terasa sesak sampai bernapas saja rasanya seperti menghirup racun.
Langkahku mulai gontai, oleng kanan, oleng kiri. Kakiku lemas dan pandanganku berkunang-kunang ketika tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang keras dan kasar menabrakku dari arah depan. Aku terhuyung, jatuh ke belakang dengan p****t lebih dulu mencium tanah.
Aku mendengar Wynn tertawa lemah, gabungan antara merasa terhibur dan tidak punya cukup tenaga untuk mengekspresikannya.
“Kau buta, Shuui? Tolong perhatikan langkahmu dan jangan menabrak pohon itu! Aku takut dia terluka karenamu.”
Siapa pun, tolong beri aku golok agar aku bisa menggorok leher pria yang sedang tergelak itu!
Sekali lagi, Wynn harus bersyukur aku tidak punya cukup tenaga untuk memukulnya. Aku bahkan tidak bisa bangun dan malah menjatuhkan kepalaku di atas dedaunan kering.
Pada detik selanjutnya, aku mendengar suara gemeresik. Kukira Wynn ikut merebahkan diri karena kelelahan, tapi ketika Wynn berteriak panik menyuruhku untuk bangun, aku tahu sesuatu yang buruk sedang terjadi.
Refleksku cukup bagus. Saat aku berhasil berdiri, Wynn segera menarik tanganku untuk menjauh dari situ. Aku bisa merasakan desingan belati membelah udara dan menancap di tempat di mana sebelumnya aku telentang.
Wynn tidak mengatakan apa pun, matanya menatap nyalang ke depan dan genggaman tangannya yang terlampau kuat membuatku kesakitan.
Aku memaksakan kakiku untuk tetap bergerak, meski setiap gerakan membuat urat sarafnya berdenyut ngilu.
Wynn tidak jauh berbeda denganku, bahkan bisa dibilang dia jauh lebih parah dariku, jadi aku mengambil alih untuk menuntunnya tetap berlari. Dia mengambil beberapa batu ataupun dahan pohon yang sudah jatuh ke tanah. Melemparnya pada apa pun itu di belakang sana.
Keadaan tubuh yang tidak menguntungkan membuat Wynn terjatuh, aku ikut jatuh bersamanya. Berbalik, aku akhirnya melihat apa—atau mungkin siapa—yang mengejar kami. Seorang pria dengan jubah hitam menutupi hampir keseluruhan tubuhnya bergerak cepat ke arah kami.
“Shadeez.” Wynn berbisik dengan tatapan murka dan rahang yang mengatup keras.
Makhluk itu yang, kurasa, Wynn sebut Shadeez hanya berjarak satu meter ketika aku mengambil dahan yang Wynn pegang untuk menyerangnya. Satu pukulan mengenai lengannya sementara sisanya mencabik kekosongan udara.
Dia menyerang dengan membabi buta, melancarkan pukulan dan tendangan yang kutangkis dengan mudah.
Terima kasih pada Martin yang melihatku sebagai samsak hidup untuk mempraktikkan jurus silat yang dipelajarinya sehingga aku menjadi sangat terlatih dalam bertahan menahan serangan.
Jadi, apakah Shadeez adalah nama yang mereka gunakan untuk menyebut pesilat? Oh! Ayolah Shuui, pikiran itu sungguh tidak penting dalam keadaan seperti ini.
Aku terlatih mempertahankan diri dari serangan fisik. Namun saat Shadeez mulai menggunakan sihir untuk menyerang, aku bukan hanya kewalahan tapi benar-benar kalah telak hingga terlempar jauh menubruk pohon yang entah berapa ratus tahun usianya. Aku tidak akan heran jika mendapati memar parah di punggungku.
Saat aku melihat ke depan, Wynn telah mengambil alih pertempuran. Seluruh tubuhnya bergerak membuat serangan-serangan mematikan.
Dia sama sekali tidak terlihat seperti pria kelelahan yang menahan sakit di seluruh tubuhnya. Dia mengerikan. Secara harfiah, betul-betul mengerikan. Bahkan Shadeez mulai kewalahan menghadapi tiap serangannya.
Wynn bersalto di udara, menyerang dengan tangan kosong ataupun dengan sihir. Aku terlalu terpana untuk menyadari Wynn bertindak dengan emosinya.
Saat Shadeez terlempar jauh ke belakang setelah dihantam sihir Wynn, pria pirang itu berlari maju dan sekawanan centaurus—makhluk setengah kuda setengah manusia—menatapku dengan busur terangkat tinggi, siap meluncurkan anak panah.
Aku tidak tahu jumlah mereka, aku terlalu panik untuk mengingat cara menghitung, bahkan dengan pikiran yang kacau aku perlu mengingatkan diriku sendiri untuk tidak lupa caranya bernapas.
“Wynn!” Aku berteriak dan segera bangkit ketika nyaris saja hujan anak panah menembus tubuhku.
Aku berlari ke arah Wynn, menerobos centaurus paling depan yang sukses mendaratkan pukulan di punggungku.
Kulihat Wynn berhenti, pria itu menampakkan raut wajah yang tak bisa dijelaskan, telapak tangannya mengepal sampai buku-buku jarinya memutih. Matanya menyorot tajam dan dia berlari untuk menghampiriku.
Aku mengambil ranting pohon dari atas tanah. Sang centaurus mengerang ketika kaki kudanya kupukul, Wynn tiba tepat sebelum centaurus yang lain menyabetkan busurnya padaku.
“Lari! Ke selatan! Arah jam enam!” Dia memerintah.
Kebingungan, aku mencoba untuk menjawab, tapi tiga anak panah yang meluncur cepat ke arahku menginterupsinya.
Refleks yang tidak terlalu cepat membuat salah satu anak panah berhasil mencabik celanaku, meninggalkan luka dan darah yang mengucur dari bekas serempetan itu.
Salahkan Wynn yang menganggapku terlampau pintar untuk tahu arah mata angin dalam keadaan seperti ini.
Wynn mengumpat dalam perlawanannya, aku bangkit berdiri dan menarik Wynn untuk berlari menjauh. “Shu—ke selatan!” teriaknya.
Kami berhenti berlari, Wynn lagi-lagi mengumpat kesal saat berbalik dan melihat kawanan centaurus mengejar. Dia akhirnya menarik tanganku untuk berlari ke arah sebelumnya, yang sepertinya arah utara.
Kami terus berlari, sesekali menunduk untuk menghindari anak panah atau tersandung sulur pohon di atas tanah.
Ini benar-benar tidak adil. Kami hanya berdua, mereka sekawanan. Kami kelelahan dengan tubuh penuh luka sedangkan mereka sehat bugar dan terlihat tangguh.
Yang paling kubenci adalah kami hanya punya dua kaki sementara mereka punya empat kaki dan menggunakan senjata. Tapi sekali lagi, prinsip keadilan tidak berlaku dalam pertempuran.
Hari yang semakin gelap dan rimbunnya hutan yang mencegah cahaya menerobos melewati daun membuatku kesulitan melihat jalan. Tapi Wynn sepertinya tidak terpengaruh, dia terus menuntunku berlari menembus hutan hingga keluar menuju kelebatan cahaya.
Aku mengerjap, seketika menghentikan langkah ketika sesuatu yang basah merayapi kakiku.
Di depan kami, sungai yang terlihat dalam membelah daratan. Ketika aku menoleh ke samping, yang kulihat hanya dedaunan pohon di samping air terjun. Tidak perlu memastikan apa yang ada di belakang dan sisi samping lainnya.
Para centaurus membentuk setengah lingkaran. Kami terkepung. []