Aku mungkin pernah merasa muak dengan hidupku ini. Hidup membosankan yang dipenuhi para penjilat munafik bermuka dua yang menyebut diri mereka teman.
Terkadang aku membenci pemahamanku yang terlalu berlebih terhadap seseorang. Aku benci bagaimana aku dengan mudahnya membaca semua hinaan di mata mereka untukku.
Seringkali aku mempertanyakan pentingnya keberadaanku di dunia. Di tempat di mana orang baik yang memilih diam dianggap penjahat dan si jahat yang bersuara diagungkan sebagai pahlawan.
Ketika aku sampai pada titik di mana aku lelah menjadi orang baik, aku mulai muak terus melakukan apa yang orang lain inginkan dan mengesampingkan keinginanku sendiri yang mereka abaikan, aku berpikir apakah menjadi jahat akan lebih menyenangkan?
Aku merasa begitu muak akan segala hal hingga aku mengeluh dan bertanya pada Tuhan tentang penderitaan apalagi yang telah Dia siapkan untukku. Dan mungkin ini adalah hukuman yang Tuhan berikan karena aku telah begitu lancang menantang-Nya.
Aku bersumpah tidak akan pernah lagi meragukan kuasa-Nya, tidak jika yang kudapat adalah hal yang bahkan lebih buruk dari penderitaan. Ini teror. Dan jika ada kata yang bisa menjelaskan sesuatu yang lebih buruk dari teror, maka inilah saat yang tepat untuk meneriakkan kata itu.
Kumohon siapa pun tolong aku dari makhluk apa pun yang menginginkan entah apa dariku yang bukan siapa-siapa ini!
Aku memekik dalam hati, mengabaikan kenyataan bahwa tidak akan ada yang mendengar jeritanku kecuali bagian diriku sendiri.
Napasku memburu seiring dengan kedua kakiku yang sudah sekaku balok kayu, yakin sebentar lagi keduanya akan gemetar hebat. Tapi tidak, aku tidak boleh berhenti. Tidak sampai makhluk-makhluk di belakangku pergi. Aku mengerahkan sisa tenaga yang kupunya untuk berlari, terus berlari seakan aku tidak akan pernah berhenti.
Tiga makhluk yang entah apa di belakangku masih mengejarku. Aku tak tahu mereka siapa atau menginginkan apa, tapi aku cukup tahu mereka bukan manusia dan apa pun yang mereka inginkan dariku pasti bukan sesuatu yang baik.
Mereka tiga sosok yang seluruh tubuhnya berkobar terbakar api, atau mungkin memang merekalah api itu sendiri. Dilihat dari warnanya yang merah menyala dan sesekali memercik kebiruan, aku yakin sekali mereka amat panas hingga mampu melelehkan besi.
Bagian bawah sosok mereka terlihat bagai untaian yang berumbai-rumbai. Rumbaiannya berkobar dalam warna merah pekat, kadang merah kehitaman seperti bara dalam arang. Samar dapat kucium bau busuk mayat dan besi berkarat yang terembus angin dari arah mereka.
Alih-alih berlari dengan kaki, mereka malah melayang beberapa senti dari tanah.
Entakan napas mereka menggema di udara, menyebarkan bau busuk yang menusuk lubang penciumanku tanpa ampun. Mereka menggeram putus-putus yang kuartikan sebagai tawa ketika kakiku tak sengaja tersandung sulur pohon. Sialan, untung tak sampai membuatku jatuh tersungkur.
Mereka mempermainkanku. Mereka bisa saja menyusul dan menangkapku dengan mudah, tapi mereka tidak melakukannya. Hal yang sama sejak mereka mengejarku untuk pertama kalinya.
Aku sungguh tidak tahu dari mana mereka berasal, tapi aku harus menemukan seseorang agar mereka berhenti mengejarku seperti sebelumnya, setidaknya aku harus menemukan jalanan.
Aku tak sanggup lagi berlari, seluruh tubuhku lemas dan tak lagi bertenaga. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, seberat tarikan napasku yang makin melemah.
Aku mengumpati kakakku, Martin, yang telah mengajakku berkemah di hutan dan malah meninggalkanku menunggu tenda sendirian. Kami mungkin tidak pernah akur atau berada dalam satu pendapat yang sama. Aku bahkan yakin dia akan senang sekali jika saja sakit parahku sewaktu masih bayi tidak tertolong sehingga dia akan menjadi satu-satunya putra ibu (yang omong-omong tidak akan mengubah apa pun karena Ibu hanya mencintainya).
Tapi aku tidak menyangka dia akan setega itu meninggalkanku sendirian di tengah hutan, dengan risiko diterkam binatang buas dan mati. Sekarang pemikiran kematian seperti itu malah terasa lebih menyenangkan daripada yang saat ini kualami.
Aku benar-benar lelah. Aku tidak sanggup lagi berlari, kakiku sudah gemetaran saking letihnya. Tidak apa-apa jika aku mati di sini. Tidak masalah jika ini adalah akhir hidupku.
Sementara aku sibuk bergulat dengan pikiran, salah satu dari makhluk terkutuk itu telah berada di belakang punggungku, menebarkan bau busuknya di sekitar tubuhku. Hawa panas menguar dari sosoknya, aku yakin punggungku akan melepuh jika dia mendekat selangkah lagi.
Aku meringis dalam hati, mengabaikan rasa sakit yang menjalari kakiku. Sesaat kukira aku akan mati, tapi mendadak, entah dari mana atau bagaimana, sebuah lubang dengan angin hitam berputar membentuk spiral di sekitarnya muncul di hadapanku.
Diameternya hanya sepanjang tanganku dan lubang itu muncul di kekosongan udara, bentuknya terlihat seperti lubang hitam di luar angkasa. Aku berteriak tanpa sadar ketika merasa terisap ke dalamnya.
Kepalaku masuk lebih dulu ke dalam lubang hingga refleks membuatku memejamkan mata. Seketika rasa mual hebat menyerangku, perutku seperti sedang dililit ular raksasa dan kepalaku rasanya terbelah jadi dua.
Dalam gelombang rasa sakit itu, bayangan sosok pria berjubah muncul dalam kepalaku, aku tak dapat melihat wajahnya yang tersembunyi di balik tudung, tetapi mataku masih dapat menangkap seringainya yang kejam dan mengerikan, seolah mampu membuat siapa pun yang melihatnya membatu bagai terkutuk mata ular Medusa.
Aku membuka mataku ketakutan dan yang kulihat hanyalah kegelapan total, aku masih melayang jatuh tanpa akhir. Apa pun dasar dari lubang ini kuharap cukup empuk untuk alasku jatuh, dan nyatanya doaku tidak terkabul.
“Aw....” Aku meringis tertahan.
Suara berdebam keras terdengar seiring dengan leherku yang rasanya patah. Aku jatuh dengan kepala mendarat lebih dulu di atas sesuatu yang keras dan basah. Tanah, kukira.
Aku bertanya-tanya apa aku akan mati, sebab kepalaku pastilah sudah tidak berbentuk saking mengerikannya rasa sakit yang kualami. Lalu aku sadar kalau kepalaku tidak berbentuk lagi, aku sudah pasti hilang kesadaran.
“Heh, Dasar pemula.”
Dan apa itu? Saraf pendengaran di otakku sepertinya putus.
“U-uh....” Aku mengerang, mencoba bangkit dari posisi telentangku yang err ... kutebak benar-benar tidak layak dipandang, tapi kakiku juga sepertinya sudah jadi balok kayu secara harfiah.
“Ya ampun, sungguh berantakan dan menyedihkan.”
Suara itu lagi, suara yang terdengar sinis dan menyebalkan. Aku harus melakukan pemeriksaan menyeluruh—terutama pada bagian kepalaku—ketika aku kembali. Oh, memangnya di mana aku sekarang?
Aku mencoba membuka mata, nyaris gagal karena kepalaku yang berdenyut-denyut dan seluruh tubuhku yang rasanya remuk redam.
Saat akhirnya dengan susah payah kelopak mataku terbuka, sinar remang matahari menusuk penglihatanku. Terdiam sebentar, aku mencoba beradaptasi dengan cahaya, sampai mataku menangkap kanopi daun yang rimbun menutupi langit siang.
Tunggu, siang?
Rasanya hari sudah malam saat aku terlibat adegan kejar-kejaran di hutan.
Aku tertawa ketika sadar sepertinya penglihatanku juga bermasalah.
“Dia itu gila atau apa?”
Aku menutup mata, aku lelah dan seluruh tubuhku yang nyaris terasa seperti termutilasi mendukungku untuk tetap terpejam.
“Senior, apa kaupikir dia mati?”
“Aaarghh!”
Aku tak tahan, aku bisa gila jika suara itu terus berdengung di kepalaku.
Aku bangun dalam satu sentakan cepat, membuat tubuhku semakin terasa seperti habis dijatuhkan dari ketinggian dan kejatuhan gunung.
“Woah, bangkit dari kematian!” teriak suara itu, terdengar kaget dan takjub dalam kepura-puraan.
“Jangan mengada-ada! Dia belum mati tadi,” ucap suara yang lain. Bagus. Sekarang aku benar-benar semakin sinting. Aku mengacak kepalaku frustrasi.
“Hei, kau baik-baik saja?” tanya suara kedua.
“Tidak, aku tidak baik. Aku baru saja dikejar makhluk aneh lalu jatuh ke dalam lubang hitam, tergeletak entah di mana dengan suara-suara menyebalkan dalam kepalaku. Sekarang aku sudah gila karena bicara pada suara-suara itu.” Aku meringis meratapi nasibku yang kian menyedihkan.
"Lancang benar menyebut suara kami menyebalkan!"
“Ya, yang itu, cuma suara itu yang benar-benar terdengar menyebalkan.”
“Bocah lancang ini!” Seseorang menarik pundakku. Aku berbalik, hanya untuk berteriak dan terjengkang. []