Aku membutuhkan lebih banyak waktu dari yang bisa kuperkirakan untuk mengolah semua yang terjadi dalam kepalaku.
Selama beberapa saat instingku meneriakkan bahwa aku harus lari, meninggalkan Wynn dan tempat itu secepat yang kubisa. Mencari cara untuk kembali ke duniaku yang—setelah semua yang kualami di sini—rasanya jauh lebih aman. Tapi aku tak akan bisa ke mana-mana dengan tubuh serapuh ini dan makhluk aneh yang berkeliaran di luar sana.
Aku nyaris tidak memikirkan apa pun saat menerjang pria bertopeng yang berlari cepat ke arah Wynn. Dia jatuh telentang dengan aku di atas perutnya.
Busur silangnya terlempar entah ke mana, aku meninju wajahnya yang tersembunyi di balik topeng jelek itu. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Sampai tanganku berdarah dan mati rasa.
Kedua tangannya yang bebas berusaha menghentikanku, menutupi wajahnya yang berkali-kali kutinju. Tetapi emosi mengambil alih diriku sampai dia tak punya kesempatan bahkan hanya untuk mempertahankan diri.
Cairan bening di pelupuk mata memburamkan penglihatanku. Aku berteriak, menyalurkan kemarahanku padanya.
“Shawn—hentikan!” Dia bicara dalam kesesakan napasnya, tersengal, tergagap, teredam oleh topeng yang menutupi wajahnya.
“Elgan! Aku Elgan—tolong hentikan!”
Aku terenyak, melepaskan topeng itu dari wajahnya dan meninjunya kembali. Lebih menggila dari sebelumnya.
“k*****t!” Satu pukulan mendarat di pipinya.
“Berengsek!” Satu pukulan di rahangnya.
“Apa yang kaulakukan, i***t?!” Dan satu pukulan lagi meremukkan hidungnya.
Dia bangkit bersamaan dengan teriakan histerisku, aku meronta dalam kungkungannya.
“Aku tak sengaja. Aku sungguh tak bermaksud begitu. Tenang dulu, biarkan aku menyembuhkannya.”
Aku masih terengah dengan wajah memanas karena amarah. Tapi ketika pria yang wajah tegas dan berwibawanya kini lebam dan nyaris tak dapat kukenali lagi itu mendekati Wynn dan berlutut di samping tubuhnya, aku tidak berusaha mencegah.
Aku mendekati mereka, mengawasi kalau-kalau Elgan berniat melukai Wynn. Pria itu meletakkan telapak tangan kanannya di luka Wynn sementara tangan yang lain mencoba mencabut anak panah dati tubuhnya.
Aku segera menarik tangan Elgan, berusaha menjauhkannya dari Wynn. “Apa kau sedang berencana untuk membunuhnya?! Dia bisa mati kehabisan darah jika kau mencabut anak panah itu begitu saja!”
“Aku tahu apa yang kulakukan, Shuui Shawn.” Dia masih menunjukkan ketenangannya meskipun luka yang kubuat pasti sakit sekali.
“Kau tidak tahu!” pekikku, “kau bahkan tidak tahu apa yang kaulakukan saat melepaskan anak panah itu dari busur silang-mu!”
“Shuu—biarkan ... dia—” Aku berbalik menatap Wynn, wajahnya yang pucat kentara sekali menampakkan kesakitan. “Aku sangat mengenalnya. Aku akan mempertaruhkan seluruh hidupku padanya.”
Melihat Wynn yang hampir sekarat membuatku mau tak mau membiarkan Elgan menyembuhkannya. Sebelah tangannya yang diletakkan di atas luka Wynn menguarkan bulir cahaya kejinggaan, secepat bulir cahaya itu menguar secepat itu pula darah Wynn—yang anehnya lebih kental dan pekat—hilang.
Anak panah sudah tercabut dari tubuh Wynn. Aku bisa melihat darah Wynn yang memang lebih kental dan gelap melumuri bagian ujungnya yang tajam.
Wynn tampak sedikit lebih baik setelahnya, sementara Elgan segera mengubur anak panah berlumur darah itu.
“Melihat apa yang bisa kaulakukan padaku,”—Elgan menunjuk wajahnya dan aku menyipitkan mata—”aku yakin bisa memercayakan Wynn padamu selama berjam-jam, bisakah aku?”
Aku mengangguk kaku.
Dia tersenyum hangat. “Tapi aku hanya akan pergi selama beberapa menit. Jadi tolong jaga dia sebentar.”
Aku mengangguk lagi, bersamaan dengan itu dia segera berjalan menuju lereng.
Aku tidak pernah melihat seseorang terluka separah ini dengan kedua mataku secara langsung. Miris rasanya melihat Wynn yang hampir sekarat terbaring di atas rumput, tanpa alas, penampilan berantakan dengan darah di sisi kiri tubuhnya dan wajah yang kehilangan warna.
“Kau mengkhawatirkanku?” Wynn bertanya pelan, iris ruby-nya tersembunyi di balik kelopak mata.
“Uh? Huh?”
“Kau mengkhawatirkanku,” ulangnya, kali ini sebuah pernyataan.
“Aku tidak—”
“Ya, kau mengkhawatirkanku,” selanya dan dia menyeringai.
Aku memutar bola mata, duduk di sampingnya. Memerhatikan lukanya yang tak lagi mengeluarkan darah. “Percaya diri sekali! Aku mengkhawatirkan diriku. Jika kau mati, siapa yang akan melindungiku?”
“Ada Elgan.” Matanya terbuka, dan ia lebih tertarik memandang langit daripada membalas tatapanku.
Rahangku mengeras, masih merasa kesal atas apa yang—tak sengaja—pria itu lakukan. “Saat itu aku tidak tahu akan bertemu dengannya lagi atau tidak.”
“Kau tetap menghajarnya saat tahu dia adalah Elgan.” Tanpa memberiku kesempatan membela diri, dia melanjutkan, “Pikiran dan emosimu saat marah sangat mengerikan, tapi tindakanmu justru lebih mengerikan lagi. Mengetahui aku adalah alasanmu kehilangan kendali benar-benar membuatku merasa terganggu.”
Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kukatakan, melihatnya yang tampak sangat menderita membuatku tak tega bahkan hanya sekadar untuk mengejeknya.
“Aku marah bukan karenamu, aku hanya merasa terkhianati olehnya. Aku kecewa karena dia bahkan tidak bisa mengenali kita. Jadi kuharap kau tidak menyalahartikan kemarahanku,” ucapku, berusaha memakai intonasi sedatar mungkin.
Aku berdiri dan berlalu pergi bersamaan dengan Elgan yang kembali dengan sekantung air dan daun-daun hijau yang kuyakini tanaman obat. Dia menaikkan alisnya, bertanya secara tidak langsung.
Mengedikkan bahu, aku kembali berlalu tanpa menghiraukannya yang kini menatap bingung.
***
Wynn sudah duduk bersama Elgan ketika aku kembali. Mereka tampak sedang berbincang serius dalam suara pelan. Tapi mereka menghentikan apa pun itu topik yang sedang dibicarakan setelah menyadari kehadiranku.
“Kau habis dari mana?” tanya Elgan.
“Meratapi nasib dan bertanya-tanya kesalahan besar apa yang pernah kulakukan di masa lalu sampai harus terjebak di tempat ini, dan dengan segala kemustahilan yang begitu nyata ini.” Aku menjawab asal, meski tidak sepenuhnya bohong.
Aku memang pergi untuk merenung. Hanya saja, beberapa menit sejak aku tenggelam dalam pikiran, suara makhluk lain tertangkap telingaku dan aku merasa takut tidak berada di dekat kedua orang yang mengaku sebagai pelindungku itu.
“Suara apa?” Wynn bertanya dan aku segera merutuki pikiranku. Seharusnya aku tidak usah memikirkan hal itu di dekatnya.
Aku mengambil posisi di depan mereka, mencomot buah berry yang ada dalam genggaman Elgan tanpa permisi dan melahapnya ketika Elgan memelototiku. “Seperti suara pria, nadanya dingin sekali. Lumayan mengerikan sebenarnya, meskipun aku tidak mengerti maksudnya apa.”
Kedua Lyeam-ku saling berpandangan, aku menatap mereka bergantian seraya memasukkan beberapa butir berry lagi ke dalam mulutku.
“Bukankah itu—”
“Ya.” Perkataan Wynn terpotong oleh jawaban singkat Elgan, seolah pria beriris jelaga itu sudah tahu apa yang akan ditanyakan si pirang dan tidak ingin aku mendengar keseluruhan pertanyaannya. Dan dengan bodohnya, aku mulai bertanya-tanya apakah bisa mendengar isi kepala orang lain itu merupakan kemampuan umum penduduk Terra.
Mungkin pertanyaanku tidak akan terjawab dalam waktu dekat karena fokusku teralihkan pada sesuatu yang lain.
Pria berjubah merah padam dengan seringai mengerikan yang sering muncul setiap aku terpejam. Bahkan ketika aku mengedip sepersekian detik sekalipun. Aku sudah sangat sering mendapat kilasan seseorang jika sedang menutup mata. Tapi intensitasnya tidak sebanyak ini dan yang muncul pun selalu berbeda pada setiap kasusnya.
Semakin lama, yang muncul malah semakin banyak dan berganti. Terkadang pria itu, terkadang sebuah lukisan yang saking samarnya sampai kesulitan untuk kuamati. Atau bayangan tinggi berjubah hitam yang membuat tubuhku merasakan dingin tidak wajar ketika melihatnya.
Aku tidak menceritakan ini pada Wynn ataupun Elgan. Gabungan antara terlalu malas bicara dan terlalu konyol untuk dibicarakan. Namun aku amat kesulitan menyembunyikan pikiranku dari Wynn. Untung saja pria itu tidak mencurigai apa pun, dan kalau dia mencurigai sesuatu, dia tidak menunjukkannya.
“Dia sudah mulai bergerak,” bisik Elgan dalam suara sangat pelan sampai aku ragu aku benar-benar mendengarnya.
“Bukankah pergerakannya memang sudah kita perkirakan?” Wynn bertanya.
Aku menatap kedua pelindungku bergantian (ketahuilah, menyebut mereka sebagai pelindung dan memberi embel-embel kepemilikanku di belakangnya sungguh aneh bahkan untuk pikiranku sendiri), tampaknya mereka tidak sadar aku, yang omong-omong duduk tidak kurang dari satu uluran tangan di hadapan mereka, dapat mendengarnya.
Dahi Elgan mengerut dalam, sorot matanya menunjukkan kegelisahan. “Aku tidak tahu akan secepat ini.”
“Dan aku tidak mengerti kenapa harus anak ini.” Wynn mendelik sekilas padaku saat menyebut anak. Aku menyipitkan mata sambil mengunyah pelan.
“Kautahu dia anak yang itu,” sahut Elgan.
Wynn menghela napas, jeda cukup panjang diisi oleh kerutan-kerutan di dahinya yang semakin banyak. “Kau yakin dia benar-benar yang itu, Senior? Bisa jadi dia ini Shuui yang lain.”
Heh! Aku mulai jengkel sekarang, apa maksudnya memperdebatkan aku Shuui yang mana di hadapanku dan bertingkah seolah aku ini tidak terlihat.
“Positif,” sahut Elgan, “marganya sama dan dia persis seperti apa yang diceritakan.”
“Berbanding terbalik dengannya, eh?” Kedua orang itu saling melempar senyum. “Sepertinya dulu kita melakukan kesalahan, anak ini jadi sangat cerewet dan menyebalkan.”
Aku mendapat dorongan yang sangat kuat untuk menggigit kepala Wynn sekarang. Sialan sekali dia, mengata-ngataiku di depan wajahku sendiri.
“Oh, Wynn. Sudahlah, itu memang sifatnya.” Elgan menghela napas. “Seperti kau tidak seperti itu saja.”
Ha. Serangan bagus, Elgan.
Wynn kini mendelik kesal pada seniornya, memberengut dan menyumpah-nyumpah pelan. Aku tertawa, merasa sedikit terhibur dengan percakapan terakhir mereka. Dan aku menghentikan tawaku ketika dua orang itu menatapku seolah aku baru saja menumbuhkan ekor. “Apa?” tanyaku.
“Apa yang kau tertawakan?” Wynn balik bertanya.
“Tentu saja perkataan Elgan barusan.”
Mereka berdua terenyak, kali ini melihatku seolah aku berubah jadi zombie dengan dua kepala. Kenapa, sih, orang-orang aneh ini?
“Kau mengerti?” tanya Elgan dengan mimik wajah kagetnya yang kentara.
“Tolong, deh, aku belum jadi i***t sampai tidak mengerti kau bicara apa, tapi aku memang tidak paham intinya, sih. Setidaknya aku tahu kalian membawa-bawa namaku dan mengata-ngataiku.”
“Ya ampun,” desah Wynn berlebihan, “kenapa kita harus repot-repot mempelajari bahasanya kalau begitu?”
“Diam, Wynn,” tegur Elgan. Aku menatap bingung pada mereka, yang dibalas tatapan menyelidik dari kedua orang itu. Sungguh, sekarang aku yakin mereka memang tidak begitu waras. []